[Savana]Satu hal yang gue baru sadar; ternyata gue adalah pembohong besar yang pernah gue kenal.
Berpura-pura kuat, nyatanya enggak. Berpura-pura happy about myself, nyatanya gue masih gampang ngerasa insecure tiap ngelihat diri sendiri di depan kaca. Berpura-pura ngeyakinin Dazel bahwa gue bakal ngelupain perasaan gue ke dia, nyatanya gue justru berharap bisa ngelupain orangnya sekaligus.
"Sa, lagi apa? Kalo senggang keluar yuk?"
"Sorry, Daz, gue mulai magang minggu depan."
Beberapa kali gue ngehindar buat ketemu Dazel dengan berbagai alasan. Gue sendiri nggak ngerti tapi gue nggak pengen ketemu dia. Nyali gue udah habis setelah kejadian itu, dan gue nggak yakin gue masih ada nyali buat ngadepin Dazel. Paling kalau gue pengen tahu kabar dia, gue buka Instagram atau Twitter. Itu pun dia sendiri jarang nge-post apa-apa sekarang. Sigh.
Gue hitung udah hampir 3 minggu gue cuekin Dazel dan cuma jawab chat dia seperlunya. Pun dia belakangan nggak pernah chat yang nggak penting atau sekedar gerecokin gue. Enggak sama sekali.
Dan sore itu, waktu gue keluar sendiri buat beli kopi, gue nggak sengaja ketemu sama Luki.
"Sendirian, Sa?"
"Iya nih. Lo juga?"
"He eh. Tadi niatnya mau sekalian nungguin Dazel, tapi bilangnya dia bakal pulang telat."
Okay, gue nggak paham pulang telat yang dimaksud Luki itu pulang darimana. Akhirnya gue cuma bisa nge-iya-in kata-kata Luki.
"... jadi ya udah, gue janjian sama Yasa."
"Ohh ...."
"Lo mau duduk dulu, Sa?"
"Hehe, lain kali aja, Ki. Ini tadi cuma sekalian jemput adek gue balik les deket sini."
"Oh, okay."
"Cabut dulu ya, Ki!"
"Yoi!"
Gue bukannya bohong. Adek gue, Segara, memang ngambil les nggak jauh dari gerai kopi itu. Tapi sebenernya gue bukan mau jemput dia les karena dia biasa pulang sendiri.
Akhirnya, gara-gara alasan itu, gue pun pergi ke tempat les Ega. Sesekali jemput dia pulang kayaknya bukan ide buruk. Cuma Ega jelas kaget karena dia sendiri ngerasa udah cukup gede buat dijemput ke tempat les.
"Tumben, Kak? Kan Ega nggak minta jemput?" tanya bocah 14 tahun itu, heran ngelihatin gue yang nunggu dia di depan gerbang tempat les sambil bawain minum yang tadi gue beli.
"Sekalian tadi Kakak baru beli minum, nih."
"Oh," jawab Ega pendek sembari ngucapin makasih buat segelas ice choco yang gue kasih. Bocah baik.
Berarti, kalau dari apa yang Luki bilang, Dazel udah kerja. Gue nggak tau karena dia nggak pernah bilang apa-apa ke gue. Mungkin dia tau gue nggak pengen dengerin apa-apa juga.
Malem itu, waktu gue masih asik nonton drama di kamar, tiba-tiba gue dapet notifikasi post update dari Dazel di story Instagram. Kaget, gue buka akun punya dia buat lihat apa yang dia posting di sana.
Oh, ternyata cuma lagu. Nggak ada caption, cuma terpampang jelas lagu yang dia dengerin: Summer milik The Volunteers.
Haha ... gue nggak pernah tau Dazel dengerin band ini. Sekali lagi secara nggak langsung nyadarin gue bahwa banyak hal tentang Dazel yang gue tau. Banyak hal yang udah Dazel bagi sama gue. Musisi yang dia suka, film yang dia suka, buku yang dia suka, makanan yang dia suka, minuman favorit dia, cemilan kesukaan dia, alergi apa yang dia punya. Juga kekhawatiran dia tentang masa depan, dan tentang rindu yang dia simpan buat kedua orang tuanya.
"Ini beliin kue ultah buat Tante Ira?" tanya gue suatu hari pas Dazel minta gue nemenin dia ngambil pesenan kue ulang tahun di satu cake shop nggak jauh dari kampus.
Dazel cuma nyengir. "Besok ulang tahun Mama, Sa. Ini kue buat dia."
Ternyata itu adalah kebiasaan yang dia lakuin setiap hari ulang tahun mendiang mama atau papanya. Waktu gue ragu-ragu bilang ke Dazel, "Besok ... boleh nggak gue ikut lo ke makam?"
Sesaat Dazel keliatan agak kaget, tapi kemudian dia senyum sambil ngejawab, "Thanks buat niat baik lo, Sa ... tapi gue nggak pengen lo lihat gue nangis." Dazel pun ngusak puncak kepala gue sekilas.
Ingatan gue melayang sementara gue memutar lagu yang dibagi Dazel di story Instagramnya.
"Rasanya? Hehe ... lo nggak akan ngerti meski gue jelasin. Tapi yang jelas, gue kangen mereka, Sa. Selalu."
Jari gue ngebuka chatroom gue sama Dazel. Gue sentuh kolom pesan tapi kemudian jari gue cuma diem di atas keyboard.
"Sa ... gue sayang sama lo."
Gue akhirnya desahin tawa singkat. Ngetawain diri sendiri. Lupain, Sa.
Our eyes are closed
but we know when the sun is near us
We'll be in love forever
My doors were ripped it out somehow
But now it's constantly fixed by you
I hate to admit itDon't you let me sleep away
when I fight for silly things
Don't show your back to me
when we fall down together
Don't you let me get away
when I pretend to be okay
Promise I'll be true to you[The Volunteers - Summer]
***
Gue baru balik dari butik tempat gue pesen kebaya yang bakal gue pakai buat wisuda, waktu ngelihat Dazel berdiri di depan rumah. Bawa motor kayak biasanya, dia pakai setelan putih dan celana bahan yang dia tutupi jaket denim. Dari situ gue tau dia baru pulang kerja.
"Daz? Udah dari tadi?"
Dia natap gue agak lama lalu ngejawab, "Barusan kok. Gue lihat rumah lo sepi."
"Iya, kebetulan lagi keluar semua," kata gue, beranjak ke arah pagar dan ngebuka kuncinya. "Masuk, Daz. Lo baru pulang kerja?"
Saat itu udah jam 5 lewat. Gue noleh ke Dazel yang masih bergeming di tempat.
"Gue cuma pengen lihat lo, Sa."
Rasanya ngilu denger jawaban itu. Karena demi apa pun gue juga kangen banget ngelihat dia. Di depan gue. Tapi Dazel cuma ngulas senyumnya sembari ngeraih helm yang dia taruh di atas jok.
"Lo nggak masuk dulu?"
"Makasih, Sa, Ibu Ira udah nungguin di rumah," jawab Dazel, memakai helmnya cepat dan sekali lagi mengulas senyum.
"Lo nggak bilang mau kesini." Entah gimana tapi tiba-tiba gue nggak pengen Dazel pergi gitu aja.
"... Gue takut lo ngehindar kalo gue bilang gue pengen ketemu lo, Sa."
Sejujur itu jawaban Dazel nampar ego gue.
"Kalo gitu sampai ketemu ... minggu depan, hari wisuda kita," lanjutnya.
Rasanya jadi seasing ini bicara sama Dazel. Gue cuma diam di tempat ngelihatin dia akhirnya pergi. Ngelihatin punggung dia yang biasanya selalu berbalik di setiap kehadiran gue dan diikuti senyum dia yang lebar.
Gue tarik napas dalam-dalam dan gue embusin pelan. And that warmth blurred my vision as well.
☆★

KAMU SEDANG MEMBACA
Star and Savannah
Ficción General"Dia suka savana. Denotatively, haha...bukan gue," monolog si gadis, Savana, yang selalu menyukai bintang dalam gelap langit malam dan si pemilik nama dengan makna yang sama: Alterio Dazel Wirendra. Empat tahun pertemanannya dengan Dazel, Savana ham...