[Savana]Kadang, gue suka iri sama orang - orang yang has a crush on someone dan bisa ngerasain sensasinya naruh harapan ke orang yang mereka suka sampai waktu yang cukup lama, entah nantinya berakhir seperti yang mereka mau atau enggak.
I'm totally can't relate.
Gue baru pertama dateng ke kampus waktu itu, kebetulan gue sendirian karena gue bahkan nggak tahu kalau Nola bakal satu kampus sama gue. My introvert ass cuek aja dateng sendiri, berbaur sama ratusan calon mahasiswa baru di kampus itu dan di sana gue ketemu Dazel untuk pertama kali.
Cowok berkemeja flanel merah itu papasan sama gue di antara kerumunan dan untuk sedetik gue sampai lupa napas setelah pandangan dia sempat ngarah ke gue. Gue bukannya exaggerating, tapi seingat gue belum pernah ada cowok yang bener - bener bikin gue speechless sampai gue bingung sendiri tapi itulah yang gue rasain waktu lihat sosok Dazel.
Tatapannya tajam di bawah teduh bulu mata yang hitam dan panjang. Hidungnya tinggi. Rahangnya sempurna. Sedikit nggak realistis, atau cuma gue yang emang belum pernah melihat cowok seganteng itu. Kecuali di TV.Gue sempat menoleh sekali lagi buat mastiin kalau gue bukannya ngelindur dan gue lihat punggung si cowok berkemeja flanel merah itu memang lagi jalan di belakang. Tanpa sadar gue senyum sendiri.
Dia calon mahasiswa baru juga kan? Fakultas apa ya? Jurusan apa ya? Jiwa naif delapan belas tahun gue ngerasain warna pink hinggap di benak yang masih jelas kebayang wajah cowok tadi. Is he even real?
Bahkan saking nggak percayanya, gue sampai coba buat inget-inget, jangan-jangan dia selebriti yang biasa muncul di TV tapi karena aslinya jauh lebih ganteng, gue jadi nggak sadar? Ah tapi enggak. Dia bener-bener asing.
Tapi gue penasaran. Dan mungkin gue masih bakal penasaran sampai kemudian perut gue rasanya mulai kram. Ini memang udah masuk tanggal dateng bulan sih. Tapi semoga aja gue nggak dapet sekarang. Karena setelah gue cek dalem tas, gue lupa nggak naruh pads di sana saking fokus gue pecah sepagian ini.
Gue was-was tapi gue berusaha buat stay calm.
"Ehm—sorry ..."
Seseorang nyamperin gue dari belakang, mencolek sekilas pundak gue.
Waktu gue memutar pandangan, jantung gue berasa anjlok ke perut karena ternyata cowok berkemeja flanel merah itu yang nyamperin gue. Demi?
Gue udah nggak bisa ngerasain muka gue sendiri, beberapa detik cuma berdiri goblok natap cowok itu mengulas senyum dia canggung dan nunduk sedikit lalu bilang, "Sorry ya, tapi ada noda merah di celana lo."
Tuhan ... rasanya gue pengen mati saat itu juga. Sama sekali nggak lucu ya, interaksi pertama sama cowok yang bikin gue kesengsem adalah dia ngasih tau gue soal noda di celana yang demi apa pun gue baru sadar celana denim yang gue pakai warnanya biru cerah.
Dan seolah nggak bisa lebih goblok lagi, reaksi pertama gue setelah itu adalah bilang, "Mampus!"
Cowok itu mengatupkan bibir dan kelihatan ikut panik ngelihat gue. "Oh, are you okay?"
Please lah, gimana gue bisa oke kalau situasinya kayak gini? Yang jelas gue panik, nggak bahkan kepikir buat coba mastiin apa bener ada noda di pantat gue atau enggak. Gue cuma langsung spontan merapat ke tembok sementara cowok tadi masih ngelihatin gue dan sekali lagi bilang, "Em— lo bawa pads nggak?"
Dia lalu buka tasnya, ngeluarin pouch bag kecil warna kuning cerah dan nyerahin kantong itu ke gue. "Nih, pake aja."
Hah? Seketika gue berasa tolol.
"E—oh, please jangan kaget, gue biasa bawain ini buat jaga - jaga kalo cewek gue juga lupa bawa pas tanggalnya. It's normal, so ... take it."
Untungnya waktu itu gue pakai cardigan yang akhirnya bisa gue lepas dan gue lingkarin ke pinggang buat nutupin bagian belakang celana gue. Tapi sebelum itu, setelah gue menerima pads pemberian cowok berkemeja flanel merah itu, gue masih kebayang kata-kata dia. Somehow, it breaks me a bit."... gue biasa bawain ini buat jaga-jaga kalo cewek gue juga lupa bawa pas tanggalnya ..."
Cewek gue.
Gue biasa bawain.
Like God ... seperlu itu gue diguncang kenyataan bahwa cowok itu memang one of a kind, dan sekaligus udah ada yang punya entah siapa yang jelas cewek itu beruntung. Banget.
Sialan.
Gue harap gue nggak pernah ketemu cowok berkemeja flanel merah itu lagi. Karena gue nggak mau ada kelanjutan rasa malu setelah kejadian itu, dan karena gue masih tertampar kenyataan soal dia punya cewek.
Tapi mungkin karena doa gue serabutan, atau emang nasib gue aja yang lagi apes, ternyata cowok itu masuk di fakultas, jurusan, dan beberapa kelas yang gue ambil barengan sama dia. Alias kita temen satu kelas di beberapa mata kuliah. Satu. Kelas.
"Loh—hei?"
Dia dengan santainya nyapa gue pas gue udah berusaha 'sembunyi' biar nggak sampai kelihatan tapi tau-tau dia muncul gitu aja di sebelah gue.
"Yang waktu itu 'kan?"
Gue cuma ngulas senyum bego.
"Ternyata kita sekelas ya," ujar dia lagi, kali ini sambil nyodorin tangan. "Gue Dazel."
Tuhan ... ada nggak sih pilihan selain mati aja ini? Gue jabat tangan dia, akhirnya, dan jawab, "Savana."
Pada poin itu, rasanya gue pengen pindah jurusan atau pindah fakultas sekalian.
★☆(Things about Dazel by Savana)
KAMU SEDANG MEMBACA
Star and Savannah
General Fiction"Dia suka savana. Denotatively, haha...bukan gue," monolog si gadis, Savana, yang selalu menyukai bintang dalam gelap langit malam dan si pemilik nama dengan makna yang sama: Alterio Dazel Wirendra. Empat tahun pertemanannya dengan Dazel, Savana ham...