14. After

834 162 26
                                    






[Dazel]


"Orang itu elo, Daz ...."

Sorot mata Sasa waktu kasih jawaban itu bikin gue hilang kata. Gue bahkan sempat mikir dia bercanda, tapi tatapan dia jujur.

Detak dalam dada gue seketika keras dan lambat. Dan mulai terasa nyeri waktu Sasa bilang dia nggak pengen ngerusak hubungan kita dan nyuruh gue buat ngelupain itu.

Waktu akhirnya tangan gue nerima tangan dia dan Sasa genggam sekilas tangan gue sebelum dia lepasin, ada kosong yang gue rasain ngelihat dia kemudian melangkah lebih dulu.

Bodohnya, gue bahkan nggak bisa ngomong apa-apa. Gue nggak bisa ngomong apa-apa dan gue cuma bisa ngelihatin Sasa bersikap seolah dia nggak baru aja jungkir balikin dunia gue. Dunia kita.

Semalaman itu gue praktis nggak bisa tidur. Kepala gue rasanya penuh.

"She loves you, right?" Kata-kata Tara waktu itu tiba-tiba muncul lagi dalam memori gue. "Lies ... or that you are stupid."

Dada gue berdebar makin keras.

"Dan menurut lo Sasa nolak gue cuma karena dia personally nggak suka sama gue?" Hardian pernah ngomong gitu juga sebelumnya, gue tiba-tiba ingat.

"Emang selain karena gue nggak nyaman dan nggak ada perasaan apa-apa ke Ian, apalagi yang buat gue nolak dia? Hm?"

"Karena lo cintanya sama gue?"

Napas gue makin berat. Gue nggak tahu mesti gimana. Yang jelas, perasaan gue nggak karuan. Dan makin gue pikirin, dada gue rasanya makin sakit.

Akhirnya gue ketiduran sebentar menjelang pagi. Waktu gue bangun dan keluar tenda, gue lihat Hardian bantuin Sasa sama Nola ngebongkar tenda yang mereka pakai semalam.

"Minum dulu, Daz," kata Yasa yang baru nyeduh cokelat panas dan nyerahin satu cangkir penuh ke gue.

"Guys! Sa! Minum dulu nih, mumpung masih panas!" panggil Yasa, duduk di kursi di sebelah Joanna.

Sasa menoleh dan melihat gue. Dia lalu beranjak dari kesibukannya dan jalan ke arah kita buat ngambil secangkir cokelat panas seduhan Yasa.

"Bangun jam berapa, Sa?" tanya gue sebelum Sasa ngejauh.

"Jam 6 tadi," jawab Sasa.

"Tendanya udah dibongkar?"

"Iya, mumpung ada yang bantuin, jadi ya udah," jawab dia lagi. "Kita juga bukannya mau stay sampai siang kan?"

"Hm," gumam gue, ngelihatin pipi dia yang agak merah karena dingin.

"Oh iya, Daz, ntar gue balik sama Nola," katanya.

     "Kenapa?"

     "Gue mau mampir ketemu ortunya Nola. Jadi lo balik duluan aja sama Luki."

     Alasan Sasa terlalu masuk akal buat gue mikir bahwa dia cuma mau ngehindarin gue. Sigh ....

     "Kan kita bisa anter lo ke tempat Nola dulu. Ntar balik ke Jakarta-nya gimana?" Gue masih coba cari alasan biar tetep bisa bareng sama dia.

     "Tenang aja. Bisa dianter Nola kok. Lagian kasian Luki pasti capek kalo mesti mampir-mampir, belum lagi nganterin kita satu-satu ke rumah, ya kan?"

     Gue benci semua alasan masuk akal itu. Dan gue benci sikap Sasa yang ternyata masih bisa secuek ini. Apa yang semalem dia ucapin ke gue cuma bohong? Atau dia emang bener-bener nggak pengen lihat gue lebih dari ini?

Star and SavannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang