20. Rolls of Second

788 159 56
                                    






[Savana]



"Tuh, Sa, ditungguin."

Temen kerja gue, Kak Nia, gerakin alisnya ke satu arah di sisi pintu masuk gedung kantor waktu kita jalan keluar bareng di jam makan siang itu.

"Oh—"

"Beruntung banget ya, yang kerjanya deketan sama cowoknya," goda Kak Nia lagi, bikin gue cuma bisa meringis menanggapi kata-katanya. "Tapi kok kayak belum lama lihat dia ya, Sa?"

"Iya, Kak, pindahan dari kantor cabang."

"Oh ... gitu. Ya udah gih, makan dulu. Bye!"

Kak Nia menepuk lengan gue sekilas sebelum dia jalan ke arah lain sementara gue pergi ke arah berlawanan.

"Sa!" Hardian menyapa gue waktu mendekat.

"Udah lama, Ian?"

"Belum kok. Ya udah, yuk, gue udah lumayan laper nih," kata Hardian, menepuk sekilas perut dia.

Kita berdua jalan ke kafetaria dan cari tempat duduk sebelum memesan menu masing-masing. Beberapa teman Hardian yang kebetulan baru datang sempat menyapa dan ngegodain kita sambil lalu. Dan sama kayak reaksi gue, Hardian cuma senyum ketawa menanggapi kata-kata temen dia yang nyebut gue pacarnya.

Padahal bukan.

Jadi, kebetulan tempat kerja gue sama Hardian itu deketan. Gue juga baru tau setelah ketemu dia pas dia baru pindah dari kantor cabang dua bulan lalu. Dan hari ini kita sengaja makan siang berdua karena memang Hardian biasanya ngajakin gue buat istirahat bareng. Nggak enak aja kalau misalkan gue selalu nolak.

    Toh, sekarang Ian lebih santai sama gue, jadi gue sendiri pun lebih nyaman buat ngobrol sama dia.

"Heran, kayaknya temen-temen gue gatel banget kalo lihat gue sama cewek," ujar Hardian ketika akhirnya kita mulai makan.

"Haha ... iya ya?"

"Padahal baru tiga kali ini kita makan bareng, ya nggak sih? Pada yakin banget kalo lo cewek gue, Sa." Hardian menggeleng dengan ekspresi heran.

"Cuekin aja kali, Ian."

Hardian berdecak pelan dan gue cuma bisa ketawa.

"Coba mereka tau gue pernah ditolak, makin dibecandain pasti."

"Haha ... ya cari aja kalo gitu, Ian. Lagian lo pasti banyak yang naksir napa betah jomblo sih?"

"Males, Sa."

"Males kenapa?"

"Ya ini kerja juga belum bener, mana berani gue macarin anak orang," jawab Hardian. "Kalo dulu sih masih bodo amat, status masih mahasiswa, mau kere juga orang nggak bakal nanya-nanya."

"Bener juga, haha ...."

Kadang gue menemukan sisi lucu Hardian lewat obrolan kita. Meski sekali dua dia masih menyinggung soal gimana gue dulu nolak dia, tapi gue nggak menangkap kesan apa-apa selain cuma bercanda.

Sambil makan, kita biasa ngomongin banyak hal. Dari mulai ngomongin kabar, kerjaan, isu-isu yang jadi topik di ibukota, sampai masa kuliah kita dulu. Dan Dazel.

     Dazel.

     Well, ini udah setahun lebih kita nggak saling ketemu. Iya, tanpa sadar selama itu kita nggak saling tahu gimana kabar satu sama lain. Tapi gue harap Dazel selalu baik.

     Dia ngirimin gue kado di hari ulang tahun gue. Juga sebuah surat pendek ucapan selamat yang diselipkan dalam kado. Kita nggak saling chat. Nggak tau kenapa tapi memang itulah yang terjadi setelah terakhir kita ketemu. Gue juga akhirnya ngirim balik sebuah kado di hari ulang tahun dia. Paling enggak kita bukannya benar-benar saling lupa satu sama lain.

Star and SavannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang