9. She Loves You

775 156 37
                                    










Sudah lewat 15 menit. Savana yang terlarut dalam sinopsis buku-buku yang dia baca di toko sontak melihat ponselnya. Keningnya terkerut mendapati bahwa tidak ada satupun notifikasi dari kontak bernama Dazel.

"Gue bukannya telat ya?" gumamnya sambil membayar dua buku di bagian kasir, buru-buru mengucapkan terima kasih begitu pembayaran telah beres dan bergegas melangkah keluar dari sana.

Aneh. Dazel tidak menghubungi meski dia terlambat dari waktu yang dijanjikan. Mengetuk-ngetukkan jari pada handle satu sisi eskalator yang membawanya naik ke lantai di mana bioskop berada, Savana mencoba mengirim pesan pada pemuda temannya itu.

Terkirim. Tapi tidak terbaca. Dia lagi di jalan? Dari tadi?

Savana menggigit bibir sedikit was-was. Jarinya mengetuk tanda panggil. Tersambung. Bukan, tapi ditolak.

The hell? Dia lalu mengetik cepat, Masih di jalan? Telfon gue kalo udah nyampe.

Yang benar saja. Apa sesuatu terjadi? Khawatir yang dia rasakan semakin nyata, tapi Savana mencoba tenang sembari mencari tempat duduk. Mengarahkan pandangan pada jadwal tayang, film yang akan mereka tonton telah dimulai.

Masa motornya mogok sih?



Dazel setengah berlari setelah memarkirkan motornya tergesa di parkiran plaza, menelan ludahnya berat dalam tenggorokan. Ini sudah setengah jam lebih dia terlambat menemui Savana untuk menonton film.

Mana tiketnya gue yang bawa, lagi! Dazel mengumpati diri sendiri, mengabaikan tatapan heran padanya yang berjalan dengan terburu-buru di tengah pengunjung yang hanya berjalan santai di dalam plaza.

"Aku sendiri bukannya nggak pengen ngelupain kamu, Daz ... cuma ternyata lebih susah dari yang aku pikirin." Kata-kata Tara masih berisik bersarang dalam benak.

"Mungkin karena kamu belum ketemu orang lain buat gantiin kita," Dazel menjawab.

"But I don't think I want to."

Jawaban Tara membuatnya terdiam.

"Don't you miss me?"

Tara menatap dalam lalu meraih satu tangannya. Senyum yang tergambar dalam matanya menyentak Dazel pada semua ingatan yang menyadarkannya bahwa tidak banyak yang berubah dalam diri gadis itu. Kata-katanya yang tidak bisa dia bantah, keinginan-keinginannya yang harus dia penuhi, luapan-luapan amarah yang harus dia hadapi. Dadanya berdebar semakin keras, dan panggilan yang masuk ke ponselnya seolah menariknya dari kedalaman tatapan Tara.

     Menghindari kerlingan gadis itu, Dazel menolak panggilan dari Savana.

    "Kenapa nggak dijawab?" Tara bertanya.

    "Enggak. Cuma ... tadi ada janji sama temen."

    "O," gumam Tara. "Pacar kamu?"

     "I don't have one. It's just ... Sasa."

     Menatapnya, kali itu, dengan sedikit tanya, Tara berujar, "Savana?"

     "Iya."

     "... she loves you, right?"

     Dazel terhenyak. "No, no ... we're friends."

     "Lies," tukas Tara. "Or that you are stupid."

     "No, I'm—"

Star and SavannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang