[Savana]I can't take him seriously. I won't take him seriously. Though he never fails to blow my mind through small things he did. Through his words every time he assures me to love myself.
Sekali waktu Dazel pernah denger gue ngomong sendiri, "Orang-orang tuh kalo makan kayaknya makanannya masuk perut langsung nguap kali ya? Gue doang kayaknya yang nggak makan seminggu juga bentukannya tetep kayak lemper!", dan dia ketawa.
"Lo tuh cantik tau, Sa."
"Ngapain diet sih?"
Mungkin gue aja yang berlebihan soal itu. Atau mungkin gue cuma selalu ngukur diri gue sendiri sebagai orang yang nggak akan pantes buat berharap lebih tentang Dazel. Yang gue rasa itu wajar, karena dua mantan pacar Dazel sebelumnya, bicara soal fisik, bukan sembarangan. Baik Alia maupun Tara, dua-duanya super cantik, girlfriend materials yang mustahil bakal ditolak cowok manapun.
Meski dua-duanya nggak berakhir baik sama Dazel, well ... itu persoalan lain. Tapi yang pasti, gue tau diri. Dazel bisa deket sama gue kayak sekarang aja sebenernya bukan sesuatu yang pernah gue bayangin.
Gue cuma berani ngelihatin dia diem-diem di awal semester dulu. Ngelihatin dia ketawa-ketiwi sama tiga sohib deketnya: Lukas, Rendy, dan Yasa, dan selintas dengerin obrolan mereka kalau lagi nimbrung di kelas. Kita jarang saling negur, apalagi ngobrol. Lagian buat apa? Nggak lucu juga gue mesti nahan deg-degan ngobrol sama cowok yang jelas-jelas udah punya pacar. Pacar yang bahkan rela dia bawain pads. Damn it!
Tapi satu tugas yang suatu ketika randomly membuat kita jadi satu kelompok bareng sama Yasa, akhirnya bikin gue mau nggak mau punya interaksi lebih banyak sama mereka.
Dan satu hari gue nggak ada pilihan selain biarin mereka buat ngerjain tugas itu di tempat gue, setelah Yasa tiba-tiba aja ngide, "Ya udah, kerjain di rumah lo aja gimana, Sa?" dan gue cuma nggak ada alasan buat nolak. Di sela waktu istirahat kita ngerjain tugas, yang kebetulan Nola juga baru balik dari kampus dan belum makan, gue akhirnya masak dan ngajak mereka buat ikut makan. Besoknya, waktu kita ketemu di kelas yang sama, gue dengar Dazel dengan antusias bilang ke Rendy sama Luki, "Eh, Sasa tuh pinter masak tau!"
"Hah? Apaan deh lo tiba-tiba ngomongin Sasa masak?" sahut Rendy heran.
"Enggak, serius, kemaren pas nugas di tempat Sasa sama Yasa, dia masakin buat kita. Enak banget tau, jago masak dia," jawab Dazel antusias.
Gue lihat Luki ngerling ke arah gue, lalu senyum sambil bikin garis miring di kening pakai telunjuk lalu nunjuk ke Dazel. Isyarat itu cuma bisa diartikan bahwa Dazel sinting. Padahal gue sendiri juga udah nggak tahu kemana kewarasan gue setelah seharian sebelumnya nerima kedatangan Dazel di tempat gue, ngadepin celotehan Dazel soal masakan gue, bantuin gue cuci piring, dan bilang makasih sampai gue lupa berapa kali.
Haha ... gue benci harus mengingatkan diri gue sendiri berkali-kali kalau dia punya orang yang dia sayang. Kalau pun enggak, cewek-cewek cantik di kampus banyak yang ngantri dan cari-cari kesempatan buat bisa deket sama Dazel.
Tapi kemudian, dari obrolan casual Dazel sama Yasa, gue baru tahu kalau ternyata dia udah putus sama ceweknya.
"Bilangnya nggak bisa LDR, taunya punya cowok lain," kata Dazel waktu itu.
"Seriusan?"
"Ya udah sih, Yas. Heheh ... dia udah nggak cinta ke gue, mau diapain lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Star and Savannah
General Fiction"Dia suka savana. Denotatively, haha...bukan gue," monolog si gadis, Savana, yang selalu menyukai bintang dalam gelap langit malam dan si pemilik nama dengan makna yang sama: Alterio Dazel Wirendra. Empat tahun pertemanannya dengan Dazel, Savana ham...