10. Promise

754 165 30
                                        




notes:
Dalam chapter ini terdapat penyebutan penyimpangan seksual yang mungkin sedikit tidak nyaman untuk sebagian pembaca.










[Savana]


     "Sa, gue personally mau bilang makasih ke elo," kata Luki ke gue, dulu. "Makasih karena lo sabar ngeladenin tingkah nggak jelas Dazel. Makasih lo ngerti dan maklumin dia yang kadang masih nggak stabil setelah semua yang terjadi antara dia sama Tara."

     Tanpa diberitahu pun, sedikit banyak gue bisa ngerti gimana Dazel saat itu. Tapi siang itu, Luki ngajak gue buat ngobrol berdua dan dia menceritakan apa yang selama ini gue nggak tahu. Dia melakukan itu setelah sebelumnya dia melihat sendiri gimana gue ngadepin paniknya Dazel waktu dia salah bawain materi buat tugas kita, atau salah pesenin minum yang padahal udah gue sebutin jelas variannya dan Dazel berkali-kali nanya apa gue marah atau enggak. Luki juga tahu gimana Dazel biasanya datang ke tempat gue dan tanpa sungkan numpang tidur siang barang satu atau dua jam pada hari-hari setelah dia putus sama Tara.

     "Nggak cuma sekedar abusive, Tara juga manipulatif. Dia sakit, Sa. Dan sialnya, Dazel keseret dalam kepala gila dia, ikut kejebak dalam semua pemikiran dia yang nggak waras," ujar Luki dengan raut frustasi.

Gue berpikir, sejauh ini gue udah cukup banyak ngerti apa yang terjadi. Dari mana Dazel dapetin luka dan memar-memar itu. Gue pikir gue udah ngerti bahwa hubungan dia sama Tara itu toxic banget.

Tapi dari apa yang Luki ceritakan kemudian, bikin gue shock. Gue pikir gue udah cukup dewasa buat nggak terlalu terkejut mendengar cerita dia; bahwa Tara bakal ngerasa senang buat tidur sama Dazel kalau melihat memar atau luka atau sedikit darah di muka dia.

"She tends to hurt him when she's mad before they ended up having sex after ... Dazel bilang that's a turn on buat Tara. Tapi, Sa ... menurut gue itu sinting. Sadisme," ujar Luki dengan kesal yang nggak bisa dia tutupi. Cowok itu hampir nggak pernah marah dan selalu receh. Jadi gue bisa melihat gimana sebenarnya kondisi Dazel membuat dia sangat khawatir. "Awalnya Dazel nggak cerita, Sa. Tapi ... sorry, mungkin ini kurang etis buat gue ceritain ke lo, nggak papa 'kan?"

     "It's okay, Ki, gue bakal dengerin semua yang pengen lo bagi ke gue," gue menyahut.

     Luki kelihatan menelan ludah gugup. "Sekali dua kali waktu gue tau dia baru balik dari tempat Tara, gue lihat pasti ada bonyok atau luka lebih banyak dari biasanya. Dan satu ketika gue nggak sengaja lihat bungkus kondom jatuh dari saku celana dia, nggak ngerti gimana tapi gue tiba-tiba kepikiran bahwa mungkin ada yang lebih buruk dari sekedar hubungan mereka yang kacau. Akhirnya gue tanyain bener-bener dan Dazel mau cerita ke gue. Dia nggak mungkin terus-terusan nutupin itu dari gue juga, karena tempat Dazel nyembunyiin luka fisik dia kalo nggak nginep di rumah gue ya nginep di rumah gue, Sa. Dia jelas nggak mungkin biarin Kakek, Nenek sama Tante Ira lihat itu."

     Lutut gue serasa nggak ada tulang setelah mendengar penuturan Luki. Perut gue juga mendadak nggak nyaman. Dan satu hal lain yang gue sadar, ada kosong dalam dada yang gue nggak ngerti kenapa. Gue nggak yakin itu cemburu. Gue juga nggak yakin kalau itu patah hati.

     Tapi yang jelas, detik itu gue berharap gue bisa mengenggam tangan Dazel erat. Gue harap gue bisa. Karena selama ini gue cuma bisa ngelihatin dia dan nggak bisa apa-apa buat sekadar nolongin atau apa pun itu setiap kali denger dia ngeluh, "Capek, Sa."

     Gue akui gue bahkan sejahat itu doain Dazel putus sama Tara. Soon or later. Gue bukan orang yang terlalu religius, tapi kekhawatiran soal Dazel membuat gue duduk lebih lama di gereja dan bicara lebih banyak ke Tuhan.

Star and SavannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang