Sebenarnya, alasan kenapa Dazel jarang menyinggung soal Hardian, tidak peduli seberapapun menyebalkannya pemuda itu, adalah karena Savana pernah menangis di hadapannya pada malam gadis itu mengatakan bahwa dia baru saja menolak Hardian untuk dekat dengannya. Lebih tepatnya, Savana meminta maaf padanya untuk masalah itu.Pernyataan itu menyentak Dazel dengan rasa bersalah karena dirinya lah yang membawa mereka berkenalan dan sedikit banyak dia memiliki andil menjadi mak comblang di antara mereka. Pun meski Dazel sempat berharap mereka berhasil dekat, bukan berarti dia memaksa Savana untuk bersama Hardian, namun itulah kesan yang dia tangkap dari permintaan maaf Savana.
"Sa, it's okay kalo lo emang nggak nyaman buat deket sama Ian. Please jangan minta maaf cuma karena gue yang ngenalin Ian ke lo," ujarnya kala itu, dengan diselimuti perasaan sedikit panik ikut mengusap lelehan air mata di pipi Savana.
Dalam kesehariannya, Savana yang dia tahu selalu melempar senyum setiap mereka bertemu pandang, dan dia sama sekali bukan gadis pemarah ataupun tipe yang akan meluapkan emosi sesuka hati. Karena itu melihat Savana menangis membuatnya panik.
"Lo keluar sama Sasa 'kan semalem?!" ujar Luki saat mereka bertemu di spot favorit untuk melepas lelah seusai car free day, meski hari itu masing-masing dari mereka datang dengan motor alih-alih sepeda karena baik Luki maupun Dazel masih terlalu payah untuk mengikuti kegiatan akhir pekan warga ibukota itu.
"Kampret lo, pantesan mangkir pas gue ajakin ke tempat Mas Jo," decak Yasa sambil melepas helm kuning kesayangannya.
"Siapa bilang—"
"Gue telepon ke rumah, Yangti bilang ke gue lo keluar sama Sasa," sahut Luki, bersiap untuk melayangkan tinju ke lengan Dazel tapi ditepisnya gesit seraya berjingkat menghindar.
"Zel, Zel ... segitunya boong ke kita demi jalan berdua sama Sasa," Yasa menimpali sembari menjatuhkan diri di satu bangku kosong di dekat jajaran gerobak pedagang makanan.
"Bukannya gitu,"
"Gue bilang juga apa, dia udah lengket aja sama Sasa. Cuma nggak tau dia sendiri sadar apa enggak."
Sejak beberapa waktu belakangan memang ketiga teman dekatnya itu senang sekali membahas soal dirinya dan Savana. Yang rasanya aneh karena hubungan antara dirinya dan Savana lebih terasa seperti platonic relationship.
"Sadar apaan?"
"Sadar kalo nggak tau dari kapan, Sasa itu ada di daftar atas prioritas lo dan kita jadi nomor sekian aja."
"Tau nggak, balik dari gunung, Sasa yang dia kabarin duluan," Luki berkata pada Yasa. "Padahal udah gua setirin otw rumah ye, di jalan minta belok mampir ke tempat Sasa."
"Kalo lagi jomblo aja lo pada komplen soal prioritas, coba kalo lagi pada punya pacar," sanggah Dazel.
Yasa menarik sebelah alisnya. "... tapi kan itu pacar, Zel. Emang Sasa pacar lo?"
Luki tertawa.
In his case, Sasa memang bukan pacarnya. "Temen kan juga berhak dapet prioritas."
"Kita juga temen lo, tapi lo lebih loyal ke Sasa."
Jika sudah begitu, pembicaraan soal dirinya dan Sasa tidak akan ada ujungnya. Beruntung tidak ada si mulut pedas Randy bersama mereka.
Akhirnya Dazel beranjak mendekati penjual kue leker kesukaannya dan memesan beberapa lembar sementara Luki memilih membeli bubur ayam di penjual lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Star and Savannah
General Fiction"Dia suka savana. Denotatively, haha...bukan gue," monolog si gadis, Savana, yang selalu menyukai bintang dalam gelap langit malam dan si pemilik nama dengan makna yang sama: Alterio Dazel Wirendra. Empat tahun pertemanannya dengan Dazel, Savana ham...