Semua orang punya alasan, begitu pun dengan rencana hidup.
°°°
Atmosfer di ruang tamu itu begitu terasa dingin. Malam menyapa dengan menyergap tanpa berbicara. Hingga keheningan yang menyelimuti berakhir, membuat semuanya terasa jelas dengan tujuannya sekarang.
"Ayolah, Yara. Abi mau kamu dijodohkan dengan pilihan Abi, umur kamu sudah 26 tahun." ujar Abinya mengingatkan.
Selalu, Abinya menyuruhnya menikah setiap tahunnya. Dari mulai ia akan kuliah, sedang kuliah, selesai kuliah, bahkan sesudah kuliah dan bekerja. Padahal ia mempunyai tujuan-tujuan yang telah terangkai dalam hidupnya.
Gadis dengan hijab bergo berwarna mocca itu menanggapi dengan santai raut wajah serius ayahnya itu. Ayah yang sudah tidak berumur muda lagi dengan kerutan yang sudah mulai terlihat, dan helaian rambut-rambut putih yang tertutup peci, menambah wibawa dari sosok yang ia sangat ia sayangi sebenarnya.
"atau kamu bisa menikah dengan Haffa." lanjutnya mengusulkan sesuatu yang benar-benar ia baru percayai. Pasalnya sebelum ini hanya guyonan, namun, kali ini terasa serius.
Gadis bernama Ayyara Adiba itu menyelidik, tatapannya menelisik sekarang. "Abi pengen jodohin Yara sama pilihan Abi yang lain? atau nyuruh Yara nikah sama kakak ipar sendiri?"
Uminya pindah duduk dengannya, lalu memegang bahu anak satu-satunya itu. "Kamu pilih salah satunya, Abi sama Umi pengen kamu nikah."
Ayyara menggeleng langsung, ia mempunyai sikap terbuka dan mengutarakan apa yang dipikirkan serta yang dirasakannya kepada kedua orang tuanya.
"Tidak keduanya, Abi, Umi. Untuk di jodohkan sedari awal Yara gak akan pernah setuju, apalagi nikah sama kakak ipar sendiri." sangkalnya sambil berdecak.
"Lagian Mbak Yuna sudah lama meninggal. Kamu tidak apa-apa kalau menikah dengan Arhaffa." ralat uminya.
Ayyara memandang umi tidak habis pikir. "Apa sampai segininya, menginginkan tali persaudaraan erat dengan keluarga dia? dengan Yara harus rela menikah dengan istilah turun ranjang?"
"Abi tidak ingin persaudaraan dengan Nak Arhaffa terputus. Kamu sangat pintar dan memahami itu." ujar Abinya lagi, terasa panas ditelinga Ayyara.
Ayyara menggeleng dan meneguk ludahnya, "Tapi tidak dengan turun ranjang juga Bi, kelihatannya Pak Haffa baik, dia nggak sungkan selalu bawa Alvin kesini, kan? Cukup persaudaraan kita tidak terputus."
Haffa, panggilan dari seorang Arhaffa. Sosok laki-laki yang entah kenapa kedua orang tuanya mengagung-agungkannya. Padahal, Ayyara pikir lelaki itu menyebalkan.
Alvin--cucu ayahnya, anak satu-satunya dari Mbak Ayyuna dan Arhaffa, sebelum krmbarannya itu meninggal karena melahirkannya.
"Kamu nggak ngerti. Abi pengen hubungan ini begitu sangat erat, dan tidak ingin jauh dari Alvin suatu saat nanti, Abi menginginkan hubungan ini seperti halnya Mbakmu masih hidup." sangkal Abinya.
Ayyara menghela tidak setuju. "Yara ngerti, Bi. Tapi Ayyara juga punya prinsip hidup. Bukan dengan perjodohan Ayyara memilih hidup, atau menikah dengan suami mbak sendiri." Ayyara menjeda, "jika persoalan tentang jodoh. Insha Allah Ayyara segera akan mengenalkan pada Umi dan Abi."
Ini persoalan karena ia belum menikah kan?
Anggaplah dirinya egois, tapi ia tidak bisa menikah dengan kakak iparnya sendiri. Apa dia mau? Bukan, bukan itu masalahnya. Tapi Ayyara mempunyai cita-cita dalam kehidupan cintanya sendiri. Tidak mungkin ia menikah tidak atas dasar cinta. Pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Langit Jingga | Jingga✔ (Repost)
Spiritual"Mencintai dalam diam, ketika kita tahu. Kita bukan pilihan sebenarnya hatinya, sekalipun kita terikat pernikahan ketidaksengajaan." Arhaffa "Kita sudah berkomitmen bersama. Merangkai masa depan dengan indah. Jadi kembalilah.." Azhandi "Tujuan prins...