19. She Actually Could(n't)

2.3K 154 7
                                    

Dua orang saling duduk terdiam di ruang tamu rumah Naomi. Setelah menangis seharian karena gagal membawa pulang Belinda kemarin, kini Naomi harus menjamu tamunya dengan mata sembab. Dihadapannya kini duduk seorang yang pernah berjanji untuk membantu Naomi belajar. Arjuna.

"Berapa jam lagi kita hanya diam seperti ini? Jangan buang-buang waktu, Naomi," ucap Arjuna mengakhiri keterdiaman mereka.

"Lah, Om juga jangan buang-buang waktu dengan disini. Sana pulang!"

"Ck! Harus berapa kali lagi saya ingatkan kamu bahwa, pantang bagi seorang Arjuna untuk mengingkari janjinya. Sekarang ambil bukumu, kita mulai belajar,"

"Gak mau! Gak mood!" ketus Naomi.

"Gak mood aja terus sampai hari ulangan tiba, kamu belum belajar apa-apa. Akhirnya menyesal, terus menghakimi diri sendiri," sindir Arjuna seolah tahu kebiasaan Naomi.

Gadis itu hanya menatap acuh.

"Lagian, mood kok diturutin. Harusnya kamu yang mengendalikan mood, bukan mood yang mengendalikan kamu. Belajar menghargai diri sendiri. Aku berpikir, maka aku ada. Coba jadikan itu sebagai acuan, biar—

"Halah, iya-iya, cerewet amat. Bentar aku ambil buku dulu," potong Naomi yang sudah sumpek dengan ocehan Arjuna.

Arjuna menghela napas, ia harus sabar menghadapi tetangganya itu. Ia hanya tidak ingin merasa bersalah karena membuat nilai ulangan gadis itu jelek. Setidaknya, perlahan ia mulai membantu meringankan beban gadis itu.

Tak lama, Naomi datang dengan beberapa buku dalam pelukannya. Selain buku, Naomi juga menjinjing laptopnya. Namun, ada sesuatu yang lebih mencuri perhatian Arjuna, Naomi mencepol rambutnya yang tadi tergerai, sehingga membuat gadis itu terlihat lebih fresh.

"Materi mana yang masih tidak paham?" tanya Arjuna mulai memilah buku Naomi.

"Semuanya. Satu bab penuh!"

"Begitu, ya.... Mana saya baca dulu," Arjuna membalik buku catatan Naomi yang hanya ada satu kalimat definisi, itupun belum selesai, "Kamu coba kerjakan, nomor satu sampai lima dulu," putus Arjuna memberikan buku paket pada Naomi.

Tanpa berbicara, Naomi mengambil buku paket itu mencoba mengerjakan tugasnya. Ia membaca dengan teliti setiap kalimat soal. Ballpoint menjadi sasaran gigitan Naomi karena ia tak kunjung menemukan jawaban satupun dari kelima soal itu.

Hingga 15 menit berlalu, lembar jawaban Naomi masih kosong. Arjuna melihat Naomi yang mengerutkan keningnya seolah itu adalah soal paling sulit. Padahal, soal yang diberikan Arjuna adalah soal dasar, jauh dari kata sulit.

"Kalau kamu soal semudah ini saja tidak bisa, bagaimana menjawab soal ulangan nanti? Ini baru ulangan Naomi, kamu masih mempunyai tanggungan beberapa ujian, karena kamu sekarang sudah kelas 12. Ayo, sekarang jawab soal itu sebisa kamu,"

Mendengar kata-kata 'ujian akhir' membuat Naomi menegang. Dalam hatinya ia membenarkan pernyataan Arjuna yang secara tidak langsung menyindirnya karena tidak memiliki persiapan untuk ujian-ujian yang akan ia hadapi nanti. Perlahan ketakutan itu mulai mengisi otaknya.

Ayo Naomi! Jawab saja soal itu, soal semudah inipun kamu gak bisa! Jawab sebisamu!

Tidak bisa menjawab, eh? Bodoh! Begini saja tidak bisa! Jawab! Gunakan otakmu!

Ini belum seberapa sama soal-soal di ujian nanti! Kamu ternyata sebodoh ini! Lihat! Bahkan soal-soal didepanmu itu tertawa melihatmu bergetar ketakutan!

Deru napas Naomi semakin tidak teratur, hingga Arjuna dapat mendengar deruan itu. Bulir keringat sedari tadi mengalir dari pelipis Naomi. Matanya tak berkedip menatap soal didepannya.

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang