Riing! Riiiiing!
Susah payah Milan menyadarkan diri untuk segera terbangun dan menjawab panggilan yang masuk di handphonenya. Milan sangat tau, ini masih terlalu pagi untuk dia bangun dan memulai hari. Tapi panggilan di handphonenya juga sama sekali tidak mau mengalah, malah rasanya makin kencang.
"Halo?"
Tidak ada jawaban sama sekali. Milan tidak dengar apa-apa, sepi. Matanya mengerjap, untuk menjernihkan pandangannya, agar tidak salah baca nama penelponnya.
Napas Milan ditarik panjang, matanya melirik, masih jam setengah tujuh, Milan harusnya bisa tidur lebih lama lagi. Tapi tidak. Milan harus menjawab.
"Nath.. masih pagi. Nanti gue kesana kok. Gue udah bilang kan? Gue pasti kesana. Gue mau tidur, bentar lagi. Oke?"
Jelas Milan tidak akan pernah mendapat sahutan apapun, yang Milan dapat hanya suara sunyi seperti biasanya, atau kadang suara tarikan napas.
"Gue janji jam sembilan udah kesana. Lo mau apa, chat aja, nanti gue bawain. Gue mau tidur, gue janji jam sembilan. Oke Nath?"
Masih tidak ada jawaban, tapi Milan dengar suara ketukan pelan dua kali. Artinya 'Oke'. Milan tenang. Telponnya mati dan ia bisa melanjutkan tidurnya lagi.
Hari libur memang cocok untuk bangun lebih siang. Setidaknya begitu untuk Milan, tapi tidak untuk Nathan. Libur panjabg weekend ini buat Nathan harus bangun pagi, saudara dari luar kota sedang datang untuk menginap, kamar Nathan yang dikorbankan sebagai kamar untuk sepupu-sepupunya, sedangkan Nathan sendiri harus mengungsi di kamar kakaknya.
Pagi-pagi sudah ramai, Nathan yang rencananya mau bangun siang juga tidak bisa kerena kakaknya sendiri pun bangun pagi. Waktu yang lain libur, kakaknya masih harus pergi kerja. Bukan kantor, hanya mengajar privat anak SD. Orangtua muridnya menawarkan pada kakaknya Nathan, kalau mau mengajar di hari ini, akan ada uang tambahan. Ia setuju. Karena memang semua kembali pada uang.
Akhirnya sejak bangun tidur dan selesai mandi, Nathan hanya di halaman belakang rumahnya, main game, kadang masih diganggu juga oleh sepupunya, belum lagi kalau om-tantenya mulai tanya ini-itu. Nathan bukannya malas meladeni, tapi Nathan lelah, kadang mereka tidak mengerti apa yang Nathan ucapkan.
Sesekali matanya melirik jam tangan. Hampir jam sembilan, tapi Milan belum juga datang. Nathan makin bosan, moodnya untuk main game juga sudah lenyap. Ingin segera bertemu Milan, setidaknya kalau ada Milan, Nathan ada teman mengobrol.
"Dek. Makan dulu sini."
Nathan menoleh, ibunya di ambang pintu belakang mengumbar senyum sumringah. Handphonenya disimpan, "Milan?" tanyanya kemudian.
"Belum dateng, bentar lagi mungkin. Adek makan dulu yuk. Ayoo, nanti juga Milan dateng."
Mau tidak mau, Nathan menurut. Habis ibunya juga sudah menarik Nathan untuk ikut gabung di meja makan.
Kalau sekilas melihat, keluarganya itu sudah selesai sarapan, hanya tetap di meja makan untuk mengobrol. Obrolannya juga macam-macam, tentang sekolah sepupu-sepupu Nathan, tentang pekerjaan Thalia, kakaknya Nathan. Banyak. Nathan hanya ikut mengangguk dan menggeleng sebagai jawaban tiap ditanya.
"Ngomong-ngomong, sekolah Nathan naik kelas juga kan ya?"
"Iya, Kak." jawab ibunya Nathan, "Kalo di sekolah, Nathan sama kayak anak kelas 11, Kak."
"Ooh gitu." kepala tantenya ini mengangguk, tersenyum lebar. "Kenapa sih Nathan gak lanjut sekolah di sekolah biasa aja. Kayak dulu."
"Ah, di rumah aja deh Kak. Sekalian temenin aku." ibunya Nathan terkekeh lucu. Iya, terlihatnya memang seperti itu, tapi Nathan tau kalau ibunya sedang menahan diri. Semua memang karena Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Voice (BL 18+) [COMPLETE]
Teen FictionIa tidak bisa bicara, hanya itu yang kita tau. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ Ada beberapa part bersifat 𝗥𝟭𝟴+, harap bijak dalam memilih dan nembaca cerita. publikasi pertama : 1 Agustus 2020 publikasi terakhir : 1 Oktober 2020 𝓸𝓻𝓲𝓰𝓲...