Dari tikungan, mata Milan lekas tertuju dengan mobil merah di depan rumah Nathan. Pikirnya, mungkin sedang ada tamu, bisa teman ayahnya Nathan atau malah teman-temannya Thalia, mengingat memang banyak dari teman Thalia yang ikut membantu mempersiapkan acara lamaran. Tapi ketika laju motor Milan makin dekat, wajah yang ia lihat tidak familiar, sangat asing, pun orang tersebut seperti kebingungan.
Motornya melaju makin lambat hingga akhirnya berhenti, Milan membuka kaca helmnya, agak tersenyum karena diperhatikan. "Cari siapa Pak?" tanya Milan kemudian.
"Emm, ini bener rumahnya Pak Austin?"
"Bener, Pak. Masuk aja silakan." lagaknya sudah seperti pemilik rumah, tapi memang Milan sudah biasa mondar-mandir datang kapan saja ke rumah Nathan. Bahkan tanpa perlu menunggu dibukakan pintu, Milan sudah membuka pintu pagar sendiri dan memarkir motornya di dalam.
Matanya agak curi-curi pandang, ternyata si tamu ini tidak sendiri, bersama keluarganya. Milan pikir mungkin kerabat jauh keluarga Nathan, habis aneh juga kalau sampai tidak tau rumah Nathan.
"Sini Pak, masuk aja, biar nanti saya panggil."
"Iya, makasih." senyumnya mengembang khas bapak-bapak. "Masnya ini.... calonnya Lia?"
Sontak Milan hampir terbahak, ia hanya mesam-mesem menengok ke belakang, "Bukan lah Pak, saya mah temennya Nathan." dalam hati; emang tampang gue kayak mas-mas 30 tahun apa? 18 aja belum.
"Ooh, kirain calonnya Lia." si bapak yang bertanya hanya terkekeh-kekeh malu.
Milan melenggang santai menuju pintu masuk, tapi baru mengetuk pintu dan belum selesai mengucap salam, telinganya lekas mendengar suara derap kaki yang sangat cepat. Ia tau itu Nathan, jadi Milan pasang senyumnya lebar-lebar siap menyambut yang mau menyambutnya.
Kekehannya terpecah, balas memeluk Nathan tapi lekas dilepas. Malu, ada tamu yang memperhatikan. Kadang kebiasaan Nathan ini agak buat repot juga. "Nath, panggilin ayah lo gih, ada tamu."
Nathan diam, memperharikan siapa tamu yang kata Milan tadi. Ada lima orang, Nathan tau itu keluarga. Senyumnya yang lebar tadi perlahan meredup, sekali ia mengangguk pada Milan dan langsung kembali ke dalam.
Milan tidak ikut masuk, menunggu pemilik rumah dulu, tidak enak dengan tamunya, padahal biasanya begitu selesai mengucap salam juga ia langsung masuk tanpa menunggu disambut atau dipersilakan masuk.
"Eh Milan, rajin jam segini udah dateng."
"Ya kan kemaren udah bilang mau pergi sama Nathan." Milan cekikikan, ayahnya Nathan juga. "Eh, Om. Ada tamu tuh."
Ayahbya Nathan masih menahan senyum, ia sendiri sudah diberitau Nathan, makanya ia yang pergi ke depan bukan ibunya Nathan. "Oh, Mas Hari. Masuk, Mas. Ayo silakan, silakan."
Milan hanya sekadar memperhatikan, ia sudah melenggang masuk menyusul Nathan yang mengintip dari ruang tengah ke ruang tamu. Tamu-tamunya sudah dipersilakan masuk, toh, Milan pikir, tugasnya sudah selesai dan ia bisa meninggalkan mereka.
Tapi salah.
Milan malah diminta untuk memanggil ibunya Nathan, Nathan, bahkan Thalia. Agak bingung, tapi tetap dilakukan. Ketiganya ikut bergabung di ruang tamu, hanya tinggal Milan sendiri di meja makan, mengemil kue kering sisa buatan ibunya Nathan.
Mungkin, acara pergi dengan Nathan juga harus diundur. Bukan masalah, sampai malam bioskop masih buka.
Bukan bermaksud untuk menguping, tapi memang terdengar jelas percakapan dari ruang tamu. Seketika Milan mendadak tidak berselara makan, padahal kue-kuenya enak. Pikirannya kosong dan hanya berulang kali terngiang soal kenyataan, kalau yang datang itu adalah ayah kandung Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Voice (BL 18+) [COMPLETE]
Teen FictionIa tidak bisa bicara, hanya itu yang kita tau. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ Ada beberapa part bersifat 𝗥𝟭𝟴+, harap bijak dalam memilih dan nembaca cerita. publikasi pertama : 1 Agustus 2020 publikasi terakhir : 1 Oktober 2020 𝓸𝓻𝓲𝓰𝓲...