No : 07

11.2K 1.1K 48
                                    

"Woi! Woi! Bawa ke rumah sakit, woi!"

Tangan Nathan makin erat meremas jaket Milan. Di telinganya terus terngiang teriakan orang-orang kemarin malam. Dadanya sesak, matanya bahkan tidak berani untuk dibuka, membuat banyangannya makin terlihat jelas, ketakutan Nathan belum juga sirna.

Terlalu banyak kejadian yang terputar di kepala Nathan, sampai ia sendiri tidak bisa menatanya dengan benar. Semua acak-acakan, menumpuk jadi satu. Padahal siangnya ia masih bersama Milan, masih senang-senang, mengobrol banyak sampai foto bersama. Tapi bayangan menyenangkan itu lenyap karena ingatan tentang Milan di saat malam.

Kemarin, Nathan hanya bisa diam, bahkam waktu orang-orang sudah berlarian keluar GOR membawa Milan pergi, Nathan hanya diam. Pandangannya kosong, pikirannya juga, tidak ada yang bisa Nathan dengar selain teriakan seseoang yang menyuruh membawa Milan ke rumah sakit.

Keadaan sangat ramai, tapi Nathan seperti tidak bisa mendengar apapun lagi. Ia tidak beranjak atau mengambil langkah untuk ikut mengantar Milan. Nathan benar-benar hanya diam. Saat ia jatuh terduduk kembali, ia baru sadar, keadaan sudah sepi, pipinya juga sudah basah.

Matanya melirik tas Milan di samping kakinya, airmatanya makin banjir. Dengan tangan gemetar Nathan membuka kunci handphonenya, mencari kontak bernama 'Papa' dan menelponnya.

"Pa.."

Nathan tidak begitu ingat gimana akhirnya ia bisa dijemput ayahnya dan pulang. Mungkin Nathan bicara ditelpon, mungkin hanya menangis. Nathan tidak ingat, tidak bisa memikirkan apapun selain keadaan Milan.

Begitu sampai di rumah pun semua diabaikan, termasuk ibunya yang khawatir setengah mati. Nathan melenggang lemas ke kamar, mengurung diri, menangis sejadi-jadinya karena merasa dirinya sangat bodoh.

Andai saja Nathan tidak takut menggunakan suaranya untuk memanggil Milan saat keadaan mulai panas, pasti Milan akan menoleh padanya, dan memilih berlari pada Nathan, dibanding berlari ke arah kerumunan. Nathan menyesal, hanya bisa menyesali kebodohannya. Ia yang penakut, ia yang terlalu ciut. Andai Nathan berani teriak memanggil Milan, saat ini, yang ada bersama Nathan pasti Milan, bukan hanya jaketnya saja.

Tok Tok Tok

"Dek?" dari luar ibunya memanggil, ia sama sekali tidak bisa masik karena Nathan mengunci pintu sejak semalam. "Makan dulu. Nanti kita ke rumah Milan, ya?" tapi sama sekali tidak ada jawaban, sampai ibunya harus mengetuk pintu lagi, dan masih sama. "Kalo Adek di kamar aja nanti kita malah gak bisa jenguk Milan. Adek keluar dulu, makan, nanti kita ke rumah Milan. Dek?"

Dan hasilnya selalu sama. Sudah dicoba dari siapa saja, ibunya, ayahnya, bahkan Thalia. Tidak ada yang berhasil membuat Nathan keluar kamar. Mereka ingin menyerah, tapi tidak tega juga, banyak cemasnya. Sejak semalam mengurung diri dan tidak makan apa-apa. Mereka paham Nathan khawatir dan takut akan Milan, tapi setidaknya, tidak sampai seperti ini.

Ibunya Nathan dapat kabar dari ibunya Milan pagi tadi, kalau Milan tidak perlu dirawat dan pingsan kemarin malam karena syok akibat hantaman. Niat Milan sebenarnya melerai temannya yang bertengkar saat pertandingan futsal berlangsung, tapi Milan malah kena tinju tepat di sisi hidungnya hingga mimisan dan berakhir pingsan seketika. Semua orang panik termasuk Nathan.

Saat yang lain sibuk dengan Milan, mereka lupa dengan Nathan. Pun, Oji teman Milan baru sadar akan Nathan ketika ayahnya Milan bertanya. Oji cepat-cepat melenggang lagi kembali ke GOR, tapi kosong, sudah tidak ada siapa-siapa. Pikirnya, mungkin sudah pulang, tapi tetap merasa tidak enak juga.

Ibunya Nathan sebenarnya sudah merasa lebih lega mendengar Milan baik-baik saja. Tapi tetap saja, Nathan masih tidak bisa dibujuk meski mereka sudah mengatakan kalau Milan baik-baik saja.

No Voice (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang