Bukan hal aneh kalau kencan Nathan dan Milan hanya berakhir di toko buku. Milan hobi membaca, toko buku merupakan surga dunianya. Sementara Nathan, selema ada Milan, Nathan senang-senang saja. Walaupun di akhir ia sama sekali tidak membeli apapun atau bahkan di sepanjang waktu saat di toko buku itu, Nathan hanya mengekori Milan saja.
Biasanya Milan ke toko buku untuk mencari novel baru, yaa bahan baca baru, tapi kali ini berbeda, Milan mencari buku yang menunjang kuliahnya, seperti buku berbahasa isyarat dan semacamnya. Yang satu itu, Nathan sangat bingung. Selama ini Nathan selalu menemukan Milan memahami semua perkataan isyaratnya, bahkan rasanya Nathan pikir, Milan tidak perlu buku-buku semacam itu lagi, sudah sejak kecil Milan bersama Nathan yang tidak bersuara ini. Tapi tetap, Milan membeli buku-buku itu.
Waktu ditanya, “Kenapa beli buku itu?”
Milan melirik dengan senyuman yang menyungging tidak begitu ketara, ia meletakan bukunya dulu ke dalam tas belanja, lalu berbalik badan menghadap Nathan, “Nath, lo sadar gak sih, kalo selama ini gue tuh kayaknya sekali pun gak penah ngomong ke elo pake isyarat. Kan? Nah, gue paham lo ngmong apa Nath, semua bisa gue baca, tapi gimana sama gue sendiri? Gua gak pernah ngomong pake isyarat, gerakan tangannya gue tau tapi gua gagap dalam mempraktikannya. Kan?”
Sejenak Nathan hanya diam, mengingat-ingat, Milan benar juga, selama ini tiap mengobrol, hanya Nathan yang menggunakan bahasa isyarat Milan tetap bicara dengan suaranya, Nathan mendengar dengan baik dan membalas dengan isyarat. Milan, selama ini hanya hanya membaca isyarat, tidak pernah mengatakannya.
“Jadi gue beli buku-buku ini, sekalian gue belajar. Lumayan kan? Gue juga udah nonton video gitu sih, sedikit-sedikit gue juga merhatiin elo tiap lo ngomong- Eh tunggu, tunggu.” Milan menjeda, ditatapnya Nathan dengan saksama, “Kenapa elo gak ngajarin gue. Kan? Lebih gampang.”
Nathan menggeleng cepat, “Aku gak bisa.”
“Bisa, pasti bisa. Nanti di rumah ajarin. Oke? Sip.” Milan berlalu dengan senyuman yang lebar dan sedikit tertawa bangga. Jauh bebeda dengan Nathan yang menlengos menjulurkan lidah malas. Belum menjawab apa-apa, Milan sudah memutuskan lebih dulu.
Mungkin memang bisa saja Nathan mengjari Milan gerakan dalam berbehasa isyarat, atau Thalia juga suaminya yang mengajari Milan, tapi rasanya tetap harus ada teori dari buku. Teori dan praktik harus seimbang, agar hasilnya baik. Yang selama ini Milan hadapi hanya Nathan, orang yang sama sekali tidak bisu atau tuli tapi memilih bicara dengan isyarat, di masa depan Milan akan benar-benar menghadapi orang yang benar-benar tidak bisa mendengar dan bicara, Milan perlu memperdalam berbahasa isyarat, juga yang lainnya.
“Abis ini mau kemana Nath?”
Nathan menggeleng, matanya masih tertuju pada komik dalam genggamannya. Membaca gratis selagi Milan masih memlih-milih novel.
“Di bioskop gak ada film yang seru. Masih jam segini masa mau pulang? Pagi banget.”
Matanya melirik, menemukan Milan juga sama, sedang membaca sinopsis novel. Tangannya menarik lengan kemeja Milan, menunggu Milan menoleh dulu baru ia bicara, “Makan.”
“Mau makan? Dimana?”
“Aku laper.”
“Mau makan dimana?”
“Milan?”
Bukan hanya Milan yang menoleh mendengar namanya dipanggil, tapi juga Nathan. Dua perempuan dan tiga laki-laki seumuran Milan datang mendekat, Nathan mengambil langkah mundur ke belakang Milan. Ia tidak mengenal teman-teman Milan ini, mungkin teman waktu SMA dulu, atau malah teman kuliah. Bisa yang mana saja, tapi tetap tidak kenal.
“Lah? Kalian disini juga?” Milan cengar-cengir sembari menyalami satu-satu temannya. “Kenapa gak bilang, tau gitu kan bisa bareng.”
“Kita juga dadakan, gabut banget di kosan, ya udah jalan aja. Malah ketemu elo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
No Voice (BL 18+) [COMPLETE]
Teen FictionIa tidak bisa bicara, hanya itu yang kita tau. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ Ada beberapa part bersifat 𝗥𝟭𝟴+, harap bijak dalam memilih dan nembaca cerita. publikasi pertama : 1 Agustus 2020 publikasi terakhir : 1 Oktober 2020 𝓸𝓻𝓲𝓰𝓲...