No : 12

8K 910 50
                                    

Austin, ayah sambung Nathan harus memohon pamit pulang lebih dulu, Nathalia ikut bersama mereka, sementara Thalia tetap tinggal, menghabiskan dessert bersama adik-adiknya sekalian menunjukan jalan pulang. Ia tidak masalah dengan itu, toh memang status Hari masih ayah kandungnya.

Di sepanjang jalan pulang, Nathan jadi benar-benar. Sama sekali tidak merespon apapun yang ditanyakan orangtuanya. Pandngannya terus diedarkan ke luar jendela mobil. Matanya terasa panas, ingin menangis tapi entah karena apa.

Waktu ditanya, "Adek mau ke rumah Milan?"

Nathan hanya menggeleng pelan. Ia menolak, ibu dan ayahnya jelas bingung, tapi untuk Nathan, ke rumah Milan saat ini adalah pilihan yang salah. Terbayang jelas ekspresi apa yang akan Milan berikan saat lihat Nathan datang hasil dari melarikan diri.

Milan pasti tidak suka.

Nathan yakin itu.

Sebab, ia ingat kata-kata Milan untuk mencoba tidak memikirkan hal-hal yang mungkin saja tidak akan terjadi, tapi Nathan selalu kalah, ia berakhir terus memikirkan macam-macam hingga buat diri sendiri tidak nyaman. Milan pasti kecewa. Nathan ingin Milan mengerti dirinya tapi Milan juga ingin Nathan mengerti kalau semuanya baik-baik saja. Nathan tidak bisa, bahkan kini mulai bermunculan bayangan Milan yang akan protes karena tingkahnya hari ini.

Lagipula, siapa yang tidak akan protes? Nathan sudah 17 tahun, ia harusnya bisa lebih dewasa, punya pemikiran yang lebih terbuka, tidak seperti ini, tidak kekanakan seperti ini.

Semakin lama dipikirkan, kepalanya semakin sakit, bayangan Milan juga makin jelas di pikiran. Nathan takut, tapi muak juga. Karena kini orang-orang jadi menyalahinya.

"Dia kan ayah lo juga Nath, bukan siapa-siapa. Liat tuh Lia, dia bisa akrab banget kan? Ibu lo juga meski udah pisah tetep ramah kok ke ayah lo itu, nah ayah lo sekarang, dia malah bisa akur gitu Nath, akrab kayak temen sendiri. Lah elo malah begini."

"Ya aku kan bukan mereka-"

"Gue tau, tapi kalo mereka aja bisa kenapa elo nggak?"

"Ya soalnya aku bukan Lia! Aku bukan Mama, bukan Papa. Aku ya aku! Aku gak bisa kayak mereka karena aku bukan mereka. Kamu gak bisa maksa aku untuk kayak gitu."

"Lho? Gue gak maksa, gue cuma nanya aja Nath. Kan udah gue bilang juga, lo tuh harusnya gak usah mikir macem-macem, lo terlalu kebanyakan mikir aneh makanya lo kadi kayak gini."

"Terus aku harus mikir apa?! Kamu juga pasti mikir, kalo seandainya Mama aku gak cerai, aku gak bakal kayak gini. Mama gak bakal bawa aku ke rumah Eyang, dia gak bakal marahin aku dan buat aku jadi kayak gini. Kamu juga pasti mikir itu kan?"

"Nath-"

"Kamu gak ngerti!"

"Ya masalahnya gimana gue mau ngerti Nath?! Gue coba ngertiin lo selama ini, gak pernah gue ngeluh elo yang begini-begitu. Gue coba ngertiin lo tapi elo yang gak ngertiin gue! Lo bisa ngomong, teriak ke gue, tapi kenapa ke yang lain gak bisa? Lama-lama elo malah kayak... kayak lo tuh emang sengaja gak mau ngomong biar dimanjain terus."

"H-hah?"

"Lo pikir Nath, kita juga lama-lama capek ngadepin lo yang kayak gini. Lo maksa kita ngertiin lo tapi lo gak pernah mau ngertiin kita. Kayak gitu tuh capek Nath."

"Milan?"

"Udah lah. Gak ada untungnya kita kayak gini."

"Milan, tunggu."

"Gue beneran capek sama lo."

"Milan..?" tangannya meremas kuat, dadanya sesak, telinganya penuh dengan kalimat Milan. Pipinya yang basah dibiarkan makin basah oleh air mata. Nathan harus tersadar sekali lagi, kalau mimpi bisa terlihat sangat nyata, dan berakhir sesakit itu. "Milan maafin aku... maafin aku... Milan..." hanya itu dan itu saja isak Nathan dalam hatinya.

No Voice (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang