No : 15

8.3K 827 25
                                    

Padahal sudah dapat titah untuk lebih banyak istirahat, tapi Milan masih memaksakan diri mengantar Nathan pulang meski Nathan juga sudah mengatakan kalau ayahnya bisa datang menjemput. Milan menolak keras, ia tetap memutuskan ingin mengantar Nathan pulang, untuk sekalian menjelaskan tentang rencana kuliahnya.

Sebenarnya sejak sebulan lalu Milan sudah mendapat surat undangan untuk kuliah di salah satu PTN di luar kota. Sebenarnya bukan hanya Milan, beberapa teman seangkatannya, dan mereka dapat undangan karena prestasi mereka masing-masing. Awalnya Milan merasa bangga, tapi sesaat kemudian ia ingat akan semuanya.

Bukan hanya perihal enggan meninggalkan Nathan, tapi juga orangtuanya. Milan memang sudah bertekad tidak mau pergi jauh agar bisa terus bersama orangtuanya, terutama ibunya. Milan anak satu-satunya, bukan karena Milan anak mama, ia hanya tidak ingin orangtuanya itu malah khawatir berlebihan kalau Milan kuliah di luar kota. Saat itu, tekad Milan untuk tetap kuliah di kota tempat tinggalnya semakin bulat.

Malam di saat Milan memberitau soal surat pemberitahuannya, orangtuanya merasa bangga, jelas, orangtua mana yang tidak bangga? Mereka jelas mendukung Milan, membiarkan Milan kluliah di luar kota, tapi sekali lagi Milan menjelaskan tentang keinginannya untuk tetap kuliah bukan di luar kota. Orangtuanya mengerti, bahkan sebenarnya orangtua Milan juga paham kalau Milan memikirkan Nathan juga, meski dalam penjelasan Milan, ia sama sekali tidak menyebut nama Nathan.

Tidak ada yang membahas soal kuliah lagi. Milan rasa ia tidak perlu terlalu memusingkan hal itu lagi. Tapi kemudian ayahnya datang membawa kabar kalau, Milan bisa tetap kuliah di luar kota dan tetap tinggal bersama mereka, orangtuanya, dengan cara pindah rumah. Milan pikir, saat dulu ayahnya mengatakan itu pada Milan, hanya guyonan belaka, tapi kini rasanya sama sekali bukan candaan, bahkan ayahnya yang humoris pun terlihat serius.

Dari sana pikiran Milan mulai kemana-mana. Ia memikirkan Nathan, bukan lagi tentang orangtuanya. Ditambah menjelang lamaran Thalia, Nathan seperti jadi punya banyak masalah dengan dirinya sendiri. Milan ingin menolong Nathan tapi lupa untuk menolong dirinya sendiri. Milan terlalu jauh memikirkan hal yang semestinya bisa jadi hal mudah. Setres buat Milan tumbang juga.

Malam ini Milan ingin menjelaskan, soal kuliahnya, soal rencana keluarganya, juga soal hubungannya dengan Nathan. Dadanya berdegup cepat, telapak tangannya agak dingin, Milan pikir mungkin karena AC mobil, tapi bukan. Bayangan Nathan yang menangis lebih dulu datang dalam pikirannya dibanding bayangan Nathan yang tersenyum.

“Besok gue masih dapet ijin Nath, selesai belajar, ke rumah ya? Nanti gue jemput.”

Nathan sama sekali tidak menjawab, tapi matanya juga tidak terlepas dari Milan yang fokus mengemudi, ada senyuman tipis namun ragu di bibir Milan. Perlahan Nathan mengusap lengan atas Milan. Bukan maksud untuk menjawab tawaran Milan tadi, tapi hanya sebagai bentuk kalau Nathan ingin Milan lebih rileks. Nathan harap Milan mengerti dengan kodenya itu.

Tarikan napas Milan jadi agak lebih dalam, senyumnya memudar. Ia melirik lampu lalu lintas, masih hijau, ia bisa terus jalan dan tidak terjebak di lampu merah. Pandangannya di fokuskan pada jalan, genggaman tangan di kemudinya dieratkan. Milan siap mengatakan semuanya.

Sedikit-sedikit Milan cerita soal suratnya, lalu rencana orangtuanya. Berat Milan mengatakan itu semua, bahkan Milan sendiri sadar saat ia menceritkana hal itu, kerogkongannya sakit, dadanya juga sesak, bayangan Nathan yang menangis lebih sering menghantuinya.

“Tapi gue juga udah bilang ke mereka Nath, kalo gue masih mau kuliah di sini. Gue mau ngambil pendidikan kayak Lia. Mereka setuju, bahkan mereka juga ikut bantu-bantu cari informasi soal kampus Lia dulu. Gue rasa mereka juga udah nanya ke orangtua lo soal ini, soal rencana kuliah gue.” Kakinya menginjak rem perlahan, menghentikan mobil tepat di depan rumah Nathan. Kepalanya menoleh, menemukan Nathan masih setia memandanginya. “Jadi gue gak bakal kemana-mana.”

No Voice (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang