Di jaman sekarang, orang tidak lagi mempermasalahkan dengan siapa seseorang menjalin suatu hubungan. Seseorang bebas mencintai dan dicintai. Meski tetap, kadang ada saja yang tidak setuju.
Seperti orangtua Nathan dulu, terutama ibunya. Sebagai orangtua, jelas mereka khawatir kalau Nathan harus menjalin hubungan lebih dari sekadar sahabat, ditambah dengan kondisi Nathan yang seperti itu. Tapi sebenarnya, justru karena kondisi Nathan, orangtuanya jadi diperlihatkan sebagaimana baiknya seorang Milan.
Milan tetap di samping Nathan, sabar menghadapi Nathan yang agaknya jauh dari kata dewasa. Waktu orang lain menganggap Nathan aneh dan lalu pergi, Milan tetap ada untuk Nathan. Setidaknya, begitu yang orangtua Nathan pikir tentang Milan, sampai akhirnya bisa mempercayakan Nathan pada Milan.
Kalau orangtua Milan, mereka tidak terlalu memusingkan, asal Milan menjadi dirinya sendiri, asal Milan tidak pernah lupa dari mana ia berasal, mereka mempercayakan Milan, pada Milan. Mendukung Milan sebagai anak satu-satunya.
Dan, hubungan baik antar dua keluarga ini yang buat semuanya jadi baik-baik saja. Saling percaya dan komunikasi yang baik adalah kunci utamanya.
Yang para orangtua tau, kalau hubungan Milan dan Nathan memang sudah lebih dari sekadar sahabat, tapi yang sebenarnya, keduamya sudah lebih jauh lagi.
Masih jelas di ingatan Milan dan Nathan saat keduanya melakukan ciuman pertama. Ragu, malu, canggung, merasa aneh, tapi lama kelamaan terbiasa juga.
Milan sedang sakit waktu itu, mungkin sekitar setahun yang lalu. Milan sakit karena kehujanan setelah futsal dengan teman-temannya. Waktu yang lain memilih mengundur waktu pulang sampai hujan reda, Milan menerobos hujan. Padahal sudah malam, besoknya demam.
Nathan lekas datang waktu tau Milan sakit, ia minta diantar ayahnya sebelum pergi kerja. Iya, masih pagi, masih sekitar jam 8 pagi. Waktu datang pun orangtua Milan belum pergi kerja. Nathan sekadar salim tangan, lalu langsung melenggang ke kamar Milan.
"Nath? Pagi banget."
Nathan hanya mengangguk sebagai jawaban, ia melangkah cepat ke kasur, duduk di samping Milan dan seketika bereskpresi sedih saat panasnya tubuh Milan bisa Nathan rasakan.
"Gue cuma demam aja Nath, besok juga udah sehat lagi. Semalem gue keujanan abis futsal itu. Ya jadi gini deh."
"Sakit ya?" tanya Nathan cepat dengan gerak tangannya.
Milan tersenyum, "Nggak, cuma pusing aja dikit. Istirahat bentar juga udah baikan." lalu mengusap pipi Nathan. "Lo gak sekolah?"
Nathan menggeleng, ia ambil tangan Milan di pipinya, meremas kuat, menahan segalanya.
"Nath-"
Kepala Nathan malah makin menunduk, "Jangan sakit.." dan kemudian bersuara sangat pelan.
Milan jelas terbengong-bengong. Seperti mimpi bisa mendengar suara Nathan. Dengan tangan satunya yang tidak digenggam Nathan, Milan mengangkat kepala Nathan, membuat mata Nathan menatap tepat pada matanya.
"Gue gak papa. Nanti sembuh. Percaya sama gue. Oke? Sorry buat lo khawatir. Lain kali gue bakal lebih jaga diri. Okay?"
Nathan mengangguk, mengembalikan tangan Milan yang ia remas tadi ke pipinya.
"Lo nih Nath." tapi Milan tiba-tiba cekikikan, "Bolos sekolah cuma karena mau kesini. Lo tau kakak lo sensi banget ke gue. Kalo dia tau soal ini, apa gue gak kena ceramah dia? Ha?" dan kemudian mencubit pipi Nathan dengan gemas.
"Aku mau ketemu." katanya, tanpa gerak tangan, hanya gerakan mulut tanpa suara.
Yang malah buat Milan makin cekikikan. "Iya gue tau, gue juga mau ketemu elo, tapi kan bisa setelah lo beres sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Voice (BL 18+) [COMPLETE]
Teen FictionIa tidak bisa bicara, hanya itu yang kita tau. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ Ada beberapa part bersifat 𝗥𝟭𝟴+, harap bijak dalam memilih dan nembaca cerita. publikasi pertama : 1 Agustus 2020 publikasi terakhir : 1 Oktober 2020 𝓸𝓻𝓲𝓰𝓲...