No : 13

7.7K 859 79
                                    

Karena Nathan pulang lebih dulu, Thalia jadi harus ikut pulang dengan ayah kandungnya. Ya tidak masalah, sekalian menunjukan jalan. Thalia tanya pada ayahnya, dimana mereka tinggal selama di kota ini, jawabnya, menginap di hotel. Respon Thalia hanya senyuman, lalu mengajak mereka datang lagi lain kali.

Begitu sampai pun, Thalia yang sudah dekat dengan adik-adiknya, ia langsung mengajak ketiganya untuk jalan-jalan ke taman komplek, sekadar bermain, kurang puas mungkin, atau sebenarnya Thalia juga ingin mendekatkan diri.

Hari dan istrinya tetap tinggal di rumah, disuguhkan minuman dan camilan lagi. Austin ikut bergabung mengobrol dengan Hari juga istrinya sementara Nathalia masih membuat camilan lain di dapur. Obrolannya ringan, obrolan khas bapak-bapak, paling tidak jauh dengan pekerjaan, atau hobi mereka. Istrinya Hari sesekali menimpali, ikut membaur.

Suara pintu diketuk, ketiganya langsung menoleh ke arah yang sama. Austin bangkit dari sofa, mempersilakan Milan masuk. Milan juga hanya sekadar menyapa seadanya, lalu melenggang ke dapur, menyapa Nathalia dulu baru ke kamar Nathan. Yang memanggil Milan datang memang Austin dan Nathalia, sengaja, mereka memikirkan Nathan, karena anak itu hanya diam saja.

Beres dengan kesibukan di dapur, Nathalia ikut bergabung, menimbrung obrolan. Bahasannya jadi tentang rencana menikah Thalia lagi. Sekali lagi Nathalia menjelaskan kalau Thalia tidak mau acara yang besar, sederhana saja, mungkin hanya mengundang kerabat dekat. Itu pilihan Thalia dan mereka juga hanya menuruti. Bagimana pun, hari pernikahan adalah hari yang penting, harus sesuai dengan keinginan yang menikah. Karena kalau yang menikah merasa tidak nyaman karena tidak sesuai seperti yang mereka harapakan, nantinya malah akan jadi kenangan yang kurang nenyenangkan.

Semakin sore keadaan makin sepi, istri Hari menyusul anak-anak ke taman, sementara Austin juga kembali ke dalam karena menerima pekerjaan mendadak dari kantornya. Tersisa hanya Hari dan Nathalia, obrolannya masih perihal anak-anak, tapi kemudian berubah ketika Hari bertanya:

"Nathan bisu?"

"Nggak kok."

"Terus? Kenapa dia kayak tadi? Aku pikir dia diem aja dari awal ketemu itu ya karena dia gak mau sama aku, tapi ngeliat di restoran tadi, dia gak bisa ngomong."

"Adek bisa ngomong, cuma ya dia milih kayak gitu."

"Kenapa? Gak kamu ajarin? Kamu terlalu manjain dia kan?"

"Ya namanya anak pasti dimanja lah." senyum Nathalia mengembang lebar, di pikirannya lekas terbayang tawa Thalia dan Nathan. "Adek punya trauma, dia gak mau pake suaranya jadi kita ajarin isyarat, dia nyaman kayak gitu, ya udah. Seenggaknya Adek jadi dirinya sendiri."

"Kalo trauma tuh diobatin, jangan malah dibiarin. Sekarang udah sebesar ini lho. Udah 17 tahun kan? Mau sampe kapan dia dibiarin kayak gitu? Mau jadi apa nanti besarnya? Ngomong gak bisa, kelakuan masih kayak anak-anak. Itu pasti karena kamu manjain dia. Nathan tuh anak laki-laki, harusnya bisa lebih dewasa."

Nathalia diam, sebenarnya ia sudah menungga kalau akan ada percakapan seperti ini dengan mantan suaminya.

"Cowok yang tadi dateng itu juga bukan temennya kan?" suara Hari makin ditekan, ia lihat mantan istrinya ini hanya diam. "Mana ada temen peluk-peluk begitu. Sama-sama cowok lagi. Nathan homo?"

"Mas-"

"Kamu gak bisa ngurus anak atau gimana sih?"

DEG

Rasanya sesak bukan main, kalau bisa menangis, Nathalia sudah menangis saat itu juga. Tapi tidak, ia masih mau jadi ibu yang kuat demi anak-anaknya.

"Yang salah malah dibiarin. Harusnya dulu aku bawa aja Lia sama Nathan, gak usah sama kamu. Dibesarin kamu hasilnya malah begini. Nathan tuh homo, kamu malah ngebiarin gitu?"

No Voice (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang