PROLOG

1.3K 64 13
                                    

Pagi begitu cerah, membuat suasana terasa begitu membahagiakan. Cicitan burung ikut menemani pagi, memberikan hiasan yang membuat kesannya terasa lebih indah. Oksigen pun tidaklah membuat sesak. Segar terasa. Jauh dari kata polusi dari hiruk-pikuknya kendaraan di Kota Metropolitan ini.

Di sebuah kampung—yang padat penduduknya—ada seorang anak kecil yang tengah memakan nasi uduk di rumah tetangganya. Ya, tetangga. Kecil-kecil dia memang sudah terbiasa hidup dengan tetangganya itu. Bahkan, saking terbiasanya, keluarga tetangganya tersebut sangat menyayangi bocah laki-laki tersebut. Sejak bayi, anak tersebut sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Asi ibu yang tinggal di sana, sudah mengalir di dalam darahnya. Sehingga, ibu dan anak perempuannya sudah menjadi mahramnya.

"Bara, di rumah kamu ada mamahmu lho," ucap Yona yang baru saja datang dari luar.

"Bu Yona serius? Mamah aku pulang?" tanya Bara dengan mata yang memancarkan kebahagiaan. Mata yang begitu sarat dengan rasa rindu dan juga penasaran. Ya, penasaran. Sebab, ibunya tidak pernah mengunjunginya semenjak tiga tahun terakhir ini, yang artinya semenjak ia sadar akan lingkungannya, ia belum pernah melihat sosok ibunya secara langsung.

Kedatangannya memberikan nuansa bunga-bunga bermekaran di dalam hati anak tersebut. Yona selalu menceritakan kebaikan-kebaikan ibu kandungnya yang biasa digambarkannya sebagai peri baik hati. Anak kecil yang mana, yang tidak akan bahagia jika bertemu dengan sosok peri baik hati yang selalu diceritakan itu? Apalagi, peri baik itu miliknya, dia ibunya. Tentu, kebahagiaannya akan sangat-sangat besar.

"Beneran, kamu samperin gih," suruh Yona sambil mengelus rambut Bara. "Tapi ... kamu abisin sarapannya dulu, abis itu cuci tangannya, dan ...."

"Boleh temuin ibu," sambung Bara yang paham betul arah pembicaraan Yona.

"Pinter. Ayo, cepet abisin."

Bara tersenyum lebar. "Iya, Bu."

Seusai melakukan apa yang Yona pinta, Bara, anak kecil berusia lima tahun itu pun berjalan ke arah rumahnya yang tak jauh dari rumah Yona. Cukup lima langkah ia berjalan dari rumah Yona menuju rumahnya. Dekat sekali.

Bocah tersebut begitu lucu, apalagi jika ia sudah menunjukkan senyuman hangat nan mengembang, lucunya bertambah-tambah. Siapa pun yang melihat parasnya pasti akan merasa gemas dan ingin mencubit pipinya yang agak gembul.

Kini, ia berdiri di depan pintu rumahnya sembari menatap sosok perempuan yang sangat ia rindukan kehadirannya. Ia menatap perempuan berpakaian elegan dan berhijab fesyen itu dengan perasaan yang sangat berbunga-bunga. Rindu yang sudah lama tertanam, akhirnya akan segera sirna setelah Bu Yona yang mengasuhnya selama ini mengatakan, bahwa ibunya telah pulang.

Setelah perempuan itu menyudahi aktivitas komunikasi lewat ponselnya itu, Bara lekas berlari memeluk peri baik yang selama ini diceritakan Yona. Merasakan kehangatan tubuhnya yang selama ini jauh dari raga Bara yang mungil itu. "Mamah ... aku kangen!"

"IH!"

Perempuan itu membentak sambil mendorong tubuh ringan balita itu hingga terjatuh ke teras rumah.

Anak kecil yang diperlakukan kasar itu, langsung kaget melihat sikap ibunya yang temperamental seperti itu. Matanya terbelalak diikuti air mata yang membendung di pelupuk mata.

Ia tidak habis pikir, Bu Yona bilang, kalau ibunya baik sekali. Katanya, ibunya ini berhati malaikat dan dia itu peri yang baik hati. Namun, mengapa kenyataannya terbalik? Kenapa kenyataannya malah seperti—Ah, tidak! Dia tidak boleh menghina ibu kandungnya sendiri.

"Jangan peluk-peluk saya!"

"Tapi, Mah aku—"

"Diam!"

Bocah itu terperanjat karena ibunya membentak dengan nada suara yang naik satu oktaf.

"Kamu tau kenapa nama kamu itu Bara?"

Bocah itu hanya bisa menatap perempuan kejam itu dengan air mata berlinang. Dalam hatinya, ia heran mengapa ibunya malah menanyakan itu? Dia sendiri tidak tahu-menahu mengenai arti namanya.

"Ah, anak ingusan sepertimu pasti tidak akan mengetahuinya."

Dia memegang lengan anaknya dengan cengkraman kasar, dan membawa mata si anak terpaksa menatap matanya yang melotot.

Ingin rasanya anak itu berteriak, "Tolong! Ini sungguh menyeramkan!" Raut wajah ibunya itu seperti vampir yang mau menghisap darah! Namun, ia urung untuk berteriak. Semua kata-katanya seakan tersekat di kerongkongan.

"Bara itu singkatan dari BAWA SENGSARA! KAMU ITU PEMBAWA KESENGSARAAN DI HIDUP SAYA!"

Jleb!

Apa yang ibunya katakan?

Mengapa perkataannya begitu tajam seperti pedang?

Inikah yang namanya berhati malaikat?

Tidak.

Pasti wanita bernama Yona itu sudah berbohong! Ibunya jahat! Sungguh, jahat!

Isak tangis anak itu mengencang, derai air mata juga mengalir deras. Sungguh, malang anak sekecil dia harus mendapat perlakuan keji seperti ini dari ibunya. Rasanya ia tidak kuat dengan semua ini. Langit seakan runtuh menimpanya. Hatinya seolah dihujami ribuan pedang yang sangat menyakiti.

"SAYA BENCI KAMU!"

Ibunya mendorong tubuh bocah itu dengan sangat kasar.

Dug!!

"Aaaaaa!!"

Ia terperenjat dan lekas duduk di punggung ranjang. Napasnya terengah-engah, segera ia usap wajahnya yang berkeringat karena memimpikan masa lalu suramnya. Masa lalu yang sama sekali tidak ingin ia ingat, tetapi selalu hadir dalam mimpi-mimpinya.#

Ia mengontrol deru napasnya yang terasa sesak sembari melafalkan istighfar.

"Mamah ... yang kau tanamkan di memori anak kecil berumur lima tahun itu, masih membekas sampai saat ini. Sudah tiga belas tahun berlalu ... sadarlah Mah," monolognya.

***

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh semuanyaaa👋😅

Kembali lagi dengan aku, dengan cerita Bara versi revisi. Oo tentunya versi revisi (insyaallah) lebih baik daripada yang sebelumnya, ya;).  Dijamin lebih seru :D

Semoga suka ya ...

Btw, ini aku revisi, soalnya versi sebelumnya ada plot holenya gitu, ganjel di hati author wkwk :D. Semoga kalian suka dengan versi revisi ini ... thank you udah mampir 

😍♡

Tertanda,
[Revisi] Garut, 28 Februari-1 Maret 2021
Nur Aida Hasanah

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang