5

329 23 1
                                    

Aksanya masih mengamat pada objek yang berdiri di pinggir jalan—seperti sedang menunggu kendaraan menjemput. Riuh hati penuh tanya akan gerangan yang terlihat beraut kepiluan ketika kaca mobil memantulkan bayangannya. Apakah yang sebenarnya terjadi? Anaknya berurusan dengannya ketika sedang bermasalah, sekarang orang tua berhadapan dengan orang tua? Mengapa pria mapan bernama Bagaskara itu terlihat seperti memberikan ancaman kepada ibu kandungnya?

Tangannya yang terkepal, tanpa sadar memukul meja, sehingga menimbulkan suara yang tidak terlalu kencang. Dahinya yang semula berkerut dengan beberapa lipatan, kini hilang. Mata yang tersirat penuh keheranan pun sudah enyah. Kini, matanya berubah menyiratkan sebuah keberanian. Baranya mungkin saja sedang menyala.

Bagian belakang tubuhnya yang duduk di atas kursi kedai kopi tersebut, kini terangkat. Ia bangkit dari tempatnya dan mulai berjalan dengan yakin menghampiri perempuan yang sama sekali tidak mau peduli dengan keadaannya. Ia menghampiri, tanpa peduli apa pun yang terjadi di masa lalunya. Tanpa peduli, luka apa saja yang sudah ditancapkan Hana.

 "Ada urusan apa Mamah sama ayahnya Dion?"

Tubuh Hana sedikit terperenjat setelah mendengar suara khas Bara yang tiga bulan lalu menyapa telinganya. Ia melirik Bara dengan matanya yang menyiratkan kekhawatiran, dan sekilas kemudian, matanya berubah sinis kepada Bara.

"Apa maksud kamu? Ayahnya Dion?" Suara khas Hana yang selalu terdengar risi didekat Bara, mulai membalas apa yang Bara tanyakan.

"Pak Bagaskara itu ayahnya Dion. Mamah ada urusan apa sama dia? Apa dia juga suka bikin masalah seperti anaknya? Buah jatuh benar-benar tidak jauh dari pohonnya." Masih dalam pengaruh rasa kesalnya pada Bagaskara yang bertindak tidak sopan pada Hana, ucapan yang keluar dari lisan Bara seakan tak menunjukkan rasa kecanggungan, segan, pun takut menghadapi Hana. Ia dengan lancarnya berkata, seakan-akan sudah lupa, kalau perlakuan Hana begitu buruk kepadanya.

"Kamu mengikuti saya? iya?!" Alih-alih menjawab apa yang Bara tanyakan, Hana malah menuduh Bara menguntit dirinya. Seperti biasa, sikap arogan sang ibu, yang tidak ingin dipedulikan Bara ditampakkannya.

Mendengar kata-kata luar biasa yang terurai dari mulut Hana, sepertinya Bara sudah mulai memasuki emosional normalnya kembali. Ia mulai ingat akan apa saja yang pernah Hana lakukan. Kenapa aku peduli gini? Batinnya mempertanyakan.

Bara hanya bisa menghela napasnya kasar. "Terserah. Aku ... memang selalu salah di mata ibu."

Hana memalingkan wajahnya, dari Bara yang memperlihatkan raut kecewa.

"Hm ... siapa yang mau peduli pada anak yang tidak diingankan ini?" keluh Bara yang mampu didengar oleh Hana yang tengah menghadapkan wajahnya ke arah lain. "Ayah entah ke mana, ibu gak peduli. Untung masih ada Bu Yona, kalau enggak ... Bara mungkin udah bunuh diri, Bu. Bunuh diri," pungkasnya. Ia pun kembali ke arah supermarket setelah mengatakan isi hatinya yang teramat pedih. 

Bukan berarti Bara lemah karena tidak menutupi rasa sakitnya dari ibunya. Bara kuat, buktinya ia masih bertahan sampai saat ini. Tapi ... tidak ada salahnya memohon kasih sayang ibu, bukan? Sekalipun, hal itu harus ia lakukan dengan menyuarakan sembilu yang temaram di lubuk hatinya.

Sampai kapan mamah mau memahamiku?

Seusai melaksanakan salat isya di masjid, Bara melangkahkan kakinya ke rumah peri baik hati. Bara tidak bisa memasak, kecuali mi instan dan olahan telur. Tidak mungkin ia akan memakan hal tersebut setiap hari. Oleh karena itulah, Yona berbaik hati mau memasakinya dengan makanan yang berbeda-beda. Kalau tidak salah, saat ia sampai di rumah, Yona berkata bahwa ia memasakinya ayam bumbu kuning, favoritnya. Baginya, makanan itu sangat-sangat enak, apalagi yang memasaknya Yona, cita rasanya nomor one.

"Kamu mengikuti saya? iya?!"

Napasnya terhela panjang sekali. Mengingat pertanyaan tajam Hana di sore hari yang masih berlangit biru, membuat dada Bara terasa sesak. Pasokan oksigen seolah-olah menyusut. Malang memang nasibnya, dari kecil sampai saat ini, Hana tak kunjung menunjukkan perubahan. Padahal, tiap hari langit yang berwarna kelam ini bisa berubah cerah. Hujan pun ada kalanya turun dan berhenti menghujami permukaan bumi. Musim ke musim, tahun demi tahun, hati Hana acap kali keras, entah kapan bisa melembut?

Sudah dapat dipastikan, muka Bara tak berekspresi ceria sama sekali. Tak ada pipi yang bersemu merah. Tak ada sudut bibir yang tertarik, mencetak ukiran indah. Raut wajahnya tertekuk. Kusut. Seakan perlu setrika untuk bisa merapikannya.

Orang lain di usianya memikirkan kisah kasih asmara yang bertaburan bunga-bunga kebahagiaan. Sedangkan dirinya? Masih menggalaukan hal yang sama selama bertahun-tahun. Kasih sayang mamah, kasih sayang mamah, dan kasih sayang mamah. Hatinya tak lepas dari hal itu, selalu terpaut kepada satu persoalan itu. Ya, hanya satu persoalan, 'kasih sayang mamah'.

Apa selama ini aku tidak terlalu berlebihan? Menutup hati pada cinta hanya karena mengharapkan kasih sayang satu wanita yang telah melahirkanku? Batin Bara.

Teringat, bahwa ada satu perempuan yang mengharapkan cintanya, tetapi berulang kali ia menggelengkan kepalanya karena menutup hati. Seorang gadis yang hanya menguntaikan katanya di dalam secarik kertas. Hanya menatapnya ketika berpapasan, lalu menunduk dan tersipu malu setelahnya. Sungguh, pemalu memang, berbeda jauh dengan sepupunya dan juga pamannya.

Elma si pemalu dan anggota IPMA ... sepupu Dion, dan keponakan Bagaskara ...

"Eh tunggu, gue barusan mikirin si Elma? Lho kok bisa?"

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang