3

364 28 0
                                    

Masjid SMA Bina Pelajar merupakan tempat ternyaman bagi mereka yang hatinya tertaut dengan masjid. Arsitektur, luas bangunan, dan isinya selalu membuat mereka rindu dengan keadaan di dalamnya. Selain itu, orang-orang Rohis dan IPMA (Ikatan Pelajar Masjid Al-Halim) sangat hangat kepada jemaah masjid lainnya. Mereka mampu menarik orang-orang untuk bercengkrama hal-hal bermanfaat ketika berada di masjid. Gaya bahasanya yang tidak mengguruilah yang mampu membuat orang-orang nyaman.

Seusai asar, biasanya pembicaraan santai nan berfaedah terjadi di antara mereka. Mereka duduk melingkar di sana, dan mendengarkan ucapan Aldo—ketua IPMA. Ya, memang sulit percaya, kalau Aldo itu ketua IPMA, karena sikapnya yang mengejar-ngejar Ananda bisa membuat orang menggelengkan kepalanya. Tapi, itulah kenyataan yang tidak bisa ditolak. Kendatipun tingkah Aldo seperti itu, urusan ilmu agamanya memang tak bisa diremehkan. Dia itu lulusan tsanawiyah, dan semenjak SMA dia masih belajar agama di rumah tetangganya yang merupakan ustadz.

"Kita pahami ya filosofi sujud. Menurut Aa Aldo mah ya, sujud tuh merupakan bagian salat terindah ... seindah rasa cinta yang Aa Aldo rasakan ke Neng Ananda." Orang-orang sudah tidak aneh mendengar pembahasan yang Aldo bawakan selalu membawa-bawa hal tentang Ananda di dalamnya. Makanya, suasana orang-orang yang bersorak 'cie' sudah biasa juga didengar seperti sekarang. Sedangkan, Bara hanya bisa geleng-geleng.

"Sujud tuh indah, tempat kita bermuhasabah. Di sanalah terletak pengakuan, kalau kita nih hanyalah seorang hamba yang tidak berhak untuk sombong, karena Allah-lah yang Maha Tinggi kedudukannya," lanjut Aldo.

"Asikk."

"Mantaplah Pak Ketu."

"Nah—"

"Tunggu." Bara memotong ucapan Aldo sembari mengangkat tangannya.

"Gue—"

"Kita izin pulang duluan ya, ada urusan." Fadil langsung menyambar, sampai ucapan Bara pun terpotong.

"Oh iya silakan. Bara, jangan lupa salamin sama Ananda," balas Aldo yang tidak ada bosan-bosannya mencintai Ananda.

"Iya insyaallah," ucap Bara sambil mengangguk.

Fadil dan Bara pun beranjak dari tempat duduk mereka. Mereka meninggalkan perbincangan berfaedah itu karena ada suatu hal yang perlu mereka kerjakan. Eh, tunggu. Fadil izin dari perbincangan tadi untuk apa? Bara jelas alasannya, Ananda yang sedang datang bulan itu akan menunggu lama kalau Bara tetap di sana, nanti dia bisa marah-marah kalau sampai Bara membuatnya menunggu. Apalagi, hari ini Ananda bilang mau ke supermarket, gawat kalau sampai Ananda menunggu begitu.

"Lo ada urusan apa sampe ikutan izin?" tanya Bara setelah mereka berdua sama-sama selesai memakai sepatu dan berjalan di koridor sekolah.

"Gue mau ikut lo ke supermarket."

"Buat apa?"

"Mau beli kado buat nyokap gue, hari ini dia ulang tahun."

"Ooh."

Bara menunduk dan tersenyum miris untuk dirinya sendiri. Mendengar Fadil akan memberikan kado untuk ibunya tercinta, ibu kandung yang penuh kasih sayang menyayanginya, membuat Bara juga ingin merasakannya. Kado manis dari seorang anak kepada ibunya, menandakan keharmonisan hubungan di antara keduanya. Ah. Mamah ... kapan mamah mau menerimaku?

Bara jadi teringat peristiwa yang terjadi delapan tahun yang lalu, kejadian di mana hatinya tergores lagi oleh ibu kandung yang sangat ia rindukan kasih sayangnya.

Saat itu, Bara mendengar pembicaraan ibunya yang sedang menelepon, dan ia mendengar bahwa ibunya sedang ulang tahun. Sepertinya, temannya mengucapkan selamat ulang tahun kepada ibundanya, sampai ibunya berterima kasih dan menyebutkan umurnya yang saat itu berumur 28 tahun.

Kalo mamah ulang tahun, aku kasih kado aja deh kayak di tv-tv. Semoga aja, saat mamah nerima kado dari aku, aku bisa dapet kasih sayang mamah, batinnya kala itu.

Bara mengambil uang dari celengannya yang bisa dibuka dengan mudah, dan ia pun pergi ke toko kerudung yang berada di kampung itu. Setelah membelinya, Bara pun berdiri di hadapan ibunya dengan menyembunyikan tangan kanannya—yang memegang kain kerudung—tadi di belakang punggungnya. 

Ibunya Bara—Hana—hanya menatap sinis ketika Bara berdiri di hadapannya.

"Mamah ulang tahun ya? Ini mah, aku belikan kado," ucap Bara sambil menunjukkan kain kerudungnya ke hadapan Hana.

"Ih!"

Alih-alih menerima kado dari putranya secara baik-baik, Hana malah melempar kain kerudung itu secara kasar ke lantai. Ekspektasi anak kecil berumur 10 tahun yang menyangka ibunya akan luluh padanya, realitanya salah besar.

"Kamu itu gak usah peduli sama saya. Pergi dari hadapan saya!"

"Bara, kok bengong?"

Bara langsung tersadar dari lamunannya ketika Ananda menepuk bahunya dan menanyainya. "Eh-em, gak papa kok."

"Sepanjang jalan, gue liat, lo bengong aja, Bar," timpal Fadil yang tengah berjongkok, membenarkan tali sepatunya yang lepas.

"Gak papa, santai ajalah. I'm fine." Bara menunjukkan ekspresi ceria untuk menutupi rasa pilu di hatinya itu.

"Oh, okay deh," balas Ananda sembari menatap Bara dengan tatapan penuh selidik, yang artinya dia masih merasa curiga. "Gue udah bawa uang hasil penjualan baksonya Ibu, kita langsung cuss ke supermarket, yuk."

"Syiip," balas Bara sambil mengacungkan jempol.

"Yuk. Nanti gue traktir kebab di sana, mau gak?" tambah Fadil yang kini mulai melangkah di samping Bara.

"Beuh, mantep ... kalau maksa, gue mau-mau aja," balas Bara diringi kekehan.

"Ah, dipaksa atau nggak juga, lo tetep mau kali," sindir Ananda.

"Biarin aja kali. Lo juga mau kan? Gak usah pura-pura deh."

Ananda mengerucutkan bibirnya setelah ia menghela napas kasar.

"Aldo nitip salam, Nan."

"Ya, tinggal jawab, wa'alaikumussalam."

"Aciee." Bara mula menggoda Ananda.

"Diem lu!"

"Heh, udah-udah, nanti malah jadi perang saudara," lerai Fadil.

"Tenang aja, gue sayang sama saudari gue iniii," balas Bara sambil merangkul Ananda dan mencubit pipinya.

"Wei, pipi gue!" protes Ananda.

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang