27

153 10 0
                                    

Elma melamun selama perjalanan pulang. Ia duduk di kursi belakang mobilnya seperti biasa dan ditemani sopir pribadinya yang duduk di depan. Ia tak bersuara di sana, hanya diam dan memandangi langit dari jendela mobilnya yang jika dari luar terlihat berkaca hitam.

Sebelum ia menaiki mobil, ia berbincang dahulu bersama Ananda dan juga Fadil di kafe dekat sekolah. Suatu hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya, kalau Ananda menceritakan kisah Bara kepadanya. Berarti, ia dipercaya dengan baik olehnya. Meskipun ... ia adalah bagian dari keluarga Bagaskara, keluarga yang memiliki hubungan kelam dengan masa lalu Bara.

Elma jadi merasakan angin kesedihan menerpa batinnya dengan kencang. Siapa yang akan senang jika mengetahui pamannya sendiri, bagian dari keluarganya sendiri melakukan hal keji kepada orang lain? Terlebih, kepada orang yang dicintai olehnya. Sungguh, berat sekali merasakannya. Elma jadi terbayang sesuatu. Tentunya ia ingin Bara menjadi pendamping hidupnya, jika suatu saat pamannya berhasil di tahan di balik jeruji, apakah keinginannya akan direstui untuk hidup bersama Bara?

Apalagi, orang tua Elma begitu sinis pada hal-hal berbau hijrah, istiqamah, dan memperbaiki diri. Akan bagaimana pula reaksi orang tuanya jika mengetahuinya?

Astagfirullah ... jangan khawatir pada sesuatu yang belum pasti, Elma. Elma mengelus dadanya sambil menghela napas panjang. Yang terpenting sekarang, Bara bisa lebih lega karena rasa penasarannya sudah terungkap. Ia juga sudah diobati. Tidak ada yang lebih baik daripada itu. Alhamdulillah 'ala kulli hal.

...

Bara berada di kawasan rumah Budi setelah ia dijemput oleh sopir pribadi Budi dari tempatnya diobati oleh seorang psikiater ternama. Semua orang—maksudnya keluarga Bara—berkumpul di sana, menyambut kedatangan Bara. Tentunya, orang-orang terdekat Bara sangat rindu kepadanya. Terlebih, bagi Yona dan Ananda yang sudah sering menghabiskan waktu bersama Bara, rasa rindunya tak dapat dinafikkan lagi di dalam sanubari mereka.

"Halo, Bara. Sudah lebih baik sekarang? Ayo kita ke ruang tamu," ajak Arsel yang menghampiri Bara ke halaman rumahnya.

Bara tersenyum lebar ketika melihat Arsel. Kakak tirinya, yang sejauh ini ia dapati perilakunya begitu baik kepadanya yang hanya anak susu dari Hana. "Kak Arsel .... Iya, ayo, Kak."

"Hai." Ketika mereka hendak melangkah ke dalam rumah, putri dari keluarga Budi menyapa sembari melambaikan tangannya. "Kayaknya kita belum kenalan, ya? Kenalin aku Arsella, panggil aja Sella." Sella mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Jika ia tidak diberitahu Hana bagaimana putranya bernama Bara itu, pasti Sella akan langsung mendekat ke arah Bara dan menjabat tangannya tanpa meminta izin empunya.

"Bara," balas Bara yang juga mengatupkan tangannya. Ia tersenyum kepada saudari tirinya yang memiliki paras cantik, dan memiliki rambut bergelombang yang panjangnya sampai dada.

"Ekhm." Arsel berdehem melihat kelakuan adiknya. Sebagai kakaknya yang sangat mengenal betul watak adik kandung satu-satunya itu, ia sudah menduga hal-hal seperti ini akan terjadi. Apalagi, setalah Hana menjelaskan kepada Sella mengenai batasannya dengan Bara yang notabene bukan mahramnya. Anak gadis keluarga Budi yang terkesan masih childish itu pasti ingin memikat hati Bara. Parasnya juga tampan, wajar jika ia tertarik begitu.

"Apa sih Kak?" Sella langsung mengerucutkan bibirnya, pipinya jadi terlihat menggembung karena raut wajahnya yang kecut setelah Arsel berdehem. "Orang bukan mahram juga," geruru Sella dengan suara pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Bara dan juga Arsel.

Arsel pun mendekat kepada adiknya. Ia mencubit hidung adiknya. "Justru itu, karena bukan mahram harus jaga batesan."

"Aaaa Kakak!" protes Elma, tak terima hidungnya dicubit.

"Udah ah, yuk masuk. Yang lain pada nungguin Bara di ruang tamu," ucap Arsel setelah melepas cubitannya.

Bara mengangguk dengan wajah berseri. Selain berseri karena akan melepas rindunya, ia juga jadi berseri setelah melihat kelucuan tingkah adik-kakak itu—Arsel dan Sella. Cukup seru melihat adik-kakak bergaduh seperti itu. Ah, ia jadi rindu pada Ananda. Ia juga sering bergaduh dengan Ananda, apalagi ketika Bara memboncengnya. Kadang-kadang, mereka berdebat sampai teriak-teriak, membuat pengguna jalan yang lain tercengang karena kelakuan mereka.

Sesampainya di dalam, ia langsung menyalami orang-orang yang umurnya lebih tua terlebih dahulu, mulai dari Budi, Hana, dan juga Yona. Sembari bersalaman, Bara mengucap rasa terima kasihnya, dan juga permintaan maafnya. Bahkan, saat berhadapan dengan Hana, Bara menitikkan air mata sembari berucap, "Maafkan Abang, Bunda."

Ia ingat sedikit hal mengenai Hana di masa kecilnya, Bara dipanggil Abang oleh Hana karena lahir lebih dulu daripada Ihsan. Sementara, Bara memanggil Hana dengan sebutan Bunda. Ia juga ingat panggilan yang ia ucapkan kepada ketiga ibunya. Kepada Glinda ia memanggil mamah, dan kepada Yona ia memanggilnya ibu. Sebuah panggilan yang memang sengaja dibedakan.

"Maafkan Bunda juga, karena udah nutupin semuanya," balas Hana sambil mengelus puncak kepala Bara.

"Gak papa, Bunda. Ini sudah jalannya."

Bara pun beralih kepada Yona. Yona tak segan-segan memeluk Bara, putranya yang sangat ia sayangi, yang sudah ia jaga sejak bayi hingga saat ini. "Ibu rindu banget sama Abang."

"Abang lebih rindu daripada Ibu hehehe. Ibu jadi kurusan ya sekarang?"

Yona melepas pelukannya dan mendorong pelan tubuh Bara. "Ah, kamu ini bercanda aja, orang badan ibu masih sama-sama aja. Walau ibu rindu kamu, ibu gak sampai mogok makan segala, tau!"

"Hehe ... makasih ya Bu buat semuanya."

"Gak usah makasih, Sayang."

Mereka saling pandang dan tersenyum dengan senyuman yang begitu mengembang. Hingga akhirnya, tatapan Bara pun beralih menatap Ananda yang sedang melipat tangannya di depan dada diiringi ekspresi ketus dari raut wajanya.

"Eh, ada Nanda ... ngapain lo di sini? Gue tau, lo gak akan bilang kangen sama gue. Lo tuh suka pura-pura. Gue tau itu kok."

"Iiihh," Ananda mencubit lengan Bara dengan sangat kencang, membuat orang-orang merasa kasihan pada Bara dan berucap, bahwa Ananda harus segera melepasnya, "Dasar anak kesayangan, anak manja! Gue kan gak akan pura-pura tau! Sebulan itu gak sebentar, lama tau, nggak?! Gue kangen berantem sama lo lagi." Raut kesal yang semula terlukis di wajah Ananda, kini berubah cerah. Ananda tersenyum lebar ke arah Bara.

"Gue juga kangen berantem sama lo! Hahahaha ...."

"Bu Hana, harap dimaklum, Bara sama Ananda suka kayak gitu," bisik Yona setelah melihat anak-anaknya berlaku receh.

"Ah, gak papa Bu Yona, wajar kok. Seru juga liatnya."

Yona pun tersenyum mendengarnya.

"Oh iya, Bund. Ihsan di mana?"

"Lagi main sama bibi di kamarnya."

"Aku mau ketemu San-San, boleh?"

"Oh, tentu, Sayang."

...

"Halo, Pak Bagaskara. Saya mau bilang, Bara sudah pulang dari perawatannya hari ini," ucap seorang pria yang masih berusia muda. Ia datang ke hadapan Dirga Bagaskara dengan pakaian formal, berjas rapi.

"Bagus," Bagaskara tersenyum licik, "Siapkan hal-hal untuk aksi besok."

"Siap, laksanakan!"

*** 

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang