15

161 17 1
                                    

Bergemerincik air yang didesain menjadi pancuran di sebuah kolam ikan yang tersedia di muka restoran, menimbulkan aksen alami yang menyejukkan hati pengunjung yang menghampirinya. Kaki pun melangkah memasuki pintu restoran yang bernuansa klasik, dengan bambu dan tempat makan lesehan. Kendatipun begitu, soal rasa dan kualitas restoran tersebut sekelas dengan restoran bintang lima yang terletak di hotel berbintang lima. Makanya, tak heran jika Budi dan keluarganya mau diajak makan di sana, menikmati makanan tradisional khas Indonesia yang kaya akan cita rasa rempah dari alam.

Segera setelah mereka duduk di atas alas duduk, mereka pun membuka daftar menu yang terdapat di sana. Hingga akhirnya, keputusan mereka pun jatuh memilih paket bebek goreng untuk empat orang.

Sementara, mereka menunggu terlebih dahulu makanan yang mereka pesan tersaji di depan mata, pegawai restoran menghidangkan teh manis hangat di depan mereka.

"Untung dikasih minum, seret rasanya tenggorokan Sella," ucap Sella yang langsung mengambil gelas dan meneguk teh manis tersebut.

"Ayo, kalian juga minum, pasti cape udah perjalanan jauh," imbau Hana kepada suaminya dan juga Arsel. Tampak rautnya yang berseri dan nada bicaranya yang hangat kepada keluarga itu, berbeda jauh dengan sikapnya kepada Bara.

"Iya, Mih," balas Budi diiringi dengan senyumnya yang manis.

Berbeda dengan Budi, Arsel sama sekali tidak menunjukkan senyuman, bahkan yang tipis sekali pun. Ia hanya memasang wajahnya yang selalu datar, tak bersuara sama sekali. Ia lantas saja meneguk teh manisnya.

Tringg

Gawai pipih milik Arsel yang terletak di atas meja, berdering. Membuat pusat perhatian keluarga Budi tertuju kepada benda pipih itu. Mereka sama-sama melihat ada telepon dari sekretarisnya Arsen. Pasti hal penting tengah menunggu pikiran-pikiran Arsen mengisi pekerjaan kembali dengan tanda telepon itu.

Tangan Hana perlahan bergerak, menggapai gawainya Arsel. Ia menatap layar tersebut sejenak, lalu melihat ke arah Arsel yang masih meneguk air teh itu dengan sudut bibirnya yang terangkat. "Ini, kamu angkat ya. Pasti sekretaris kamu nelepon karena ada hal yang penting."

Arsel menurunkan gelasnya dan menyimpannya di atas meja. Ia melirik ibu sambungnya dengan tatapan yang seperti biasa, datar. Setelah itu, tangannya pun mengambil gawai yang ada di tangan Hana. "Seharusnya Anda tidak perlu repot-repot mengambilkan handphone saya, saya mendiamkannya sejenak karena saya masih ingin melegakan rasa haus saya, bukan karena saya malas. Perlu Anda ingat, saya masih punya tangan."

Nadanya yang dingin dan perkataannya yang tajam, spontan saja membuat hati Hana tergores. Sikap Arsel yang belum kunjung mencair kepadanya, pun dengan sebutan ibu atau mimih yang belum keluar dari mulutnya, membuatnya merasakan kepiluan.

"Kakak jangan gitu dong sama Mimih," protes Sella yang bisa merasakan apa yang tengah dirasakan Hana atas perlakuan Arsel.

Arsel sama sekali tidak menggubrisnya, ia langsung beranjak dari sana untuk mengangkat teleponnya.

Budi menghela napasnya. Ia tak habis pikir, putranya masih saja belum menerima Hana dalam hidupnya. "Hana, kamu harus selalu sabar ya."

Hana tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

...

"Dil, lo yakin nih, cuma modal makanan ayam bakar ini, Pak Budi bakal nerima?" Bara masih merasa pesimis. Ia belum pernah memberi hadiah kepada seorang yang kaya raya sekali pun, termasuk kepada Fadil. Ia jadi merasa gugup dan ragu untuk memberikan makanan yang harganya tidak lebih dari 100 ribu itu.

"Udah, lo percaya aja sama gue, Pak Budi pasti nerima kok," balas Fadil.

Bara menghela napasnya sejenak untuk memantapkan hatinya. Seusainya, ia pun tersenyum dan mengangguk. "Ya udah, yo kita ke rumahnya sekarang."

"Ayo, Bar."

Mereka pun beranjak dari tempat ayam bakar tersebut, dan kemudian berangkat ke rumahnya Budi dengan menaiki kendaraan roda empat yang Fadil miliki. Mereka duduk bersama di bagian belakang, kemudian sopir pribadi Fadil pun melajukan mobilnya.

Tidak butuh waktu terlalu lama untuk sampai ke rumah Budi, seorang pemilik PT. Budi Cahaya itu. Dalam kurun waktu 15 menit, mereka sudah bisa melihat keberadaan rumah Budi yang mewah, luas, dan megah. Sehingga, mobil pun berhenti di depan rumahnya, dan satpam-satpam langsung menyambut kedatangan mereka.

"Selamat pagi menuju siang, Pak. Ada keperluan apa, ya?" tanya salah satu satpam yang diketahui bernama Jodi kepada sopir pribadi Fadil.

"Kami mau bertemu Pak Budi." Fadil langsung angkat suara untuk menjawab pertanyaan satpam tersebut.

"Ooh. Tapi, Bapak belum pulang, mau tunggu dulu di dalam atau mau menitipkan pesan atau juga barangnya?"

"Kita kasih langsung aja, Dil. Biar sopan," usul Bara pada temannya.

"Berarti kita nunggu, ya?" tanya Fadil yang lekas dibalasi anggukan oleh Bara. "Kita nunggu aja, Pak."

"Baiklah, kalian bisa segera masuk. Di halaman tersedia kursi, kalian bisa menunggu di sana."

Setelah mendapat intruksi seperti itu, mobil pun masuk ke area pekarangan rumah Budi dan parkir di sana. Kemudian, Fadil dan Bara pun turun dari mobil dan melangkah mendekati tempat yang dimaksud satpam tadi untuk mereka menunggu.

"Lho, itu siapa Dil?" tanya Bara ketika melihat seorang suster yang membawa makanan di tangannya, dan laki-laki yang keliatannya sebaya dengan mereka keluar dari rumah.

"Gak tau, gue gak terlalu kenal sama keluarganya Pak Budi."

Mereka pun semakin dekat dengan keberadaan dua orang tadi. Dari situ, mereka sedikit tercengang saat melihat pria yang diikuti suster tadi terlihat tidak biasa. Mereka dapat memperkirakan kalau pria yang dikira sebaya dengan mereka itu, menyandang penyakit autis. Dari pakaian, tingkah laku, gaya bicaranya sama persis seperti anak kecil.

"Ihsan, duduk ya. Tuh liat, ada tamu masa kayak gitu? Malu tauu," bujuk suster itu dengan sabarnya.

Ihsan pun lekas menuruti perintah suster tersebut, dan ia lanjut menyapa Fadil serta Bara dengan, "Hai."

Bara dan Fadil yang masih merasa bingung pun hanya bisa tersenyum kikuk. Dua detik kemudian, mereka baru membalas sapaan Ihsan.

"Sus, ini anaknya Pak Budi, ya?" tanya Fadil setelah ia dan Bara duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan sofa yang diduduki Ihsan dan suster itu.

Suster itu benar-benar ramah kepada tamunya Budi, ia tersenyum dengan hangatnya. "Hehe, iya, tapi anak tirinya dia tuh."

Hah? Anak tiri? Bara spontan saja merasa tersinggung dengan apa yang suster itu beritahukan. Jika Ihsan anak tirinya Budi, berarti anak penyandang autis itu adalah anak dari istrinya yang sekarang. Dan itu ... Hana?

"Ma-maaf, berarti Ihsan ini anak istrinya Pak Budi yang sekarang? Ibu Hana?" Bara pun memberanikan dirinya untuk bertanya.

"Iyalah, siapa lagi? Pak Budi kan menikahnya dua kali, istri pertamanya sudah meninggal sejak lama, dan yang satu lagi yang dua tahun sudah berumah tangga dengannya saat ini."

"Apa?" lirih Bara yang langsung seketika langsung bertukar pandangan dengan Fadil.

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang