19

152 12 0
                                    

Hana menghela napas panjang, ia pun berdiri tegap menghadap Bara. "Kamu terlalu banyak berprasangka buruk pada saya, Bara."

Spontan saja senyuman miris tercetak di bibir Bara. Dirinya meresapi hati yang mulai merasa lelah dengan permasalahan-permasalahan yang kerap menghampirinya akhir-akhir ini. Ditambah, ucapan Hana yang tidak bisa memahami kondisi hatinya. Terlebih lagi, tidak sadar diri atas perlakuannya selama ini kepada Bara itu seperti apa.

"Mah, cukup. Aku capek hidup kayak gini terus. Kalau Mamah emang gak mau peduli, gak usah datang di hidup aku lagi, kan? It's simple." Terlihat jelas raut wajah pasrah dan air mata yang terbendung di pelupuk mata Bara. "Mamah jadinya gak usah takut hal-hal tentang aku bocor ke keluarga Mamah itu."

Hana menutup matanya dengan telapak tangan kanannya. Sekaligus ia resapi pilu, sakit kepala, dan penyesalan. Kemudian, ia geleng-geleng dan mengalihkan telapak tangan kanannya ke arah lain. Sehingga, tampaklah tetesan yang sudah tak dapat lagi dibendung oleh empunya.

Sementara, Bara tidak bisa mencerna dengan baik apa yang ia lihat di hadapannya. Ia menggeleng pelan. Tak mengerti mengapa perempuan yang selama ini bersikap ganas, tak peduli akan nasib Bara yang memiliki keadaan hati mengenaskan, meneteskan bulir-bulir bening tanda kesedihan di depan matanya? Ia hanya bisa bergeming menatap perempuan itu, dan tak sanggung mempertanyakan maksud dari air matanya yang menetes.

"Apa kamu tidak mengingat sesuatu yang baik tentang aku?" tanya Hana dengan tatapan kosong dan nada bicaranya yang dingin.

Bara mengernyit. Bahkan, ia juga mencoba memutar ingatannya ke masa lalu untuk mencari jawaban dari apa yang ditanyakan Hana. Meski begitu, hatinya sudah pasti langsung meronta ingin segera membantah, bahwa tidak ada kebaikan sama sekali di dalam masa lalunya bersama Hana.

"Ada, kemarin ketika aku masuk rumah sakit," ungkap Bara meski berat mengatakannya.

Hana geleng-geleng dengan tangis yang diiringi dengan isak dari bibirnya. Perangainya seakan menunjukkan, kalau Bara salah memberikan jawaban itu. Maksudnya, jawaban Bara kurang sempurna. Sehingga, respon Hana terlihat seperti itu. Seolah-olah ada kebaikan lain yang tersembunyi.

Sementara itu, Dion masih betah menyaksikan pemandangan menyedihkan yang ada di depan matanya. Ia tak berniat untuk bergeser tempat sama sekali setelah ia mendengar pembicaraan di antara mereka berdua semakin terdengar seru. Selain karena hal itu, Dion juga penasaran dengan alasan ibunya Bara yang menitipkan Bara dalam pengasuhan ibu susunya—Yona.

"Apakah ada kebaikan lain? Sejak kecil, yang aku rasakan adalah ucapan-ucapan kasar dari Mamah."

"Ucapan kasar? Berarti perempuan itu orang yang toxic kepada anak di bawah umur. Wah, gak beres itu orang, pantesan bokap gue kemaren keliatannya kayak ngancem dia," gumam Dion sambil manggut-manggut dan mengintenskan matanya ke arah Hana.

"Bentakan dan juga siksaan. Semua itu bikin Bara terluka, Mah! Apa Mamah gak punya hati nurani sama sekali sampai Mamah tega melakukan semua itu kepada Bara sejak kecil?" Bara tidak dapat membendung air matanya lagi. Rasa sesak di dadanya begitu menyeruak, tak tertahankan. Hatinya mungkin sudah lelah, sudah berada di titik puncak. Selama ini yang ia tahan, satu per-satu keluar dari lisannya. "Mamah tolong cukup, jangan datang lagi di hidup Bara kalau hanya akan memberikan Bara luka terus-menerus."

Terlihat dengan jelas, Hana sangat sakit hati dengan apa yang Bara katakan. Ia ingin mengeluarkan isak yang kencang, tetapi ia juga ingat akan keberadaannya di tempat BK. Alhasil, ia menutup mulutnya agar isakan tidak ada yang lolos dari bibirnya.

Hati nurani Bara terusik melihat Hana begitu tersiksa dengan sembilu di hatinya seperti itu. Perasaan bersalah mendadak merasuk ke dalam dadanya. Ia tidak tega melihat perempuan menangis. Terlebih, ketika tetesan-tetesan air mata itu muncul karena ulahnya.

Meskipun jauh dari dalam lubuk hatinya yang terdalam, penyebab air mata Hana jatuh menjadi tanda tanya yang sangat besar baginya. Sepertinya, menenangkan Hana jauh lebih baik untuk saat ini.

"Mamah tolong jangan menangis seperti ini di depan Bara, Bara tidak kuat melihatnya," ucap Bara sembari memegang kedua bahu Hana dan menatap matanya dengan penuh harap.

Sejenak Hana bergeming melihat Bara. "Bara ...." Ia kemudian bersuara dan memeluk putranya dengan sangat erat. Air mata Hana terus berderai bersamaan dengan pelukan yang menghangat.

Begitu pun dengan Bara, air matanya semakin tidak bisa terkontrol. Mengalir deras membasahi pipinya.

"Gue gak ngerti kenapa mereka jadi pelukan?" Dion kembali bermonolog.

...

Ada siratan mata yang penuh akan tanda tanya tatkala ia menengok ke tempat duduk saudaranya yang kosong. Tidak ada tas ransel sama sekali di tempat duduk, di meja, atau bahkan di kolong meja. Pikirannya mulai terbang ke mana-mana. Prasangka demi prasangka seketika berbisik ke dalam hatinya.

"Nanda," Elma menepuk pundak Ananda, karena temannya itu sejak tadi hanya bergeming di ambang pintu kelas dan enggan berkutik sama sekali, "kamu kenapa?"

"Tas Bara kok gak ada ya? Dia gak mungkin bolos kan? Gue takutnya dia bolos sekolah gara-gara mood-nya lagi gak karuan," risau Ananda dengan cerewetnya.

"Ananda, tenang ... tenang. Bara bukan orang yang kayak gitu, aku yakin. Mungkin dia ada urusan?"

Ananda mengusap wajahnya secara kasar. "Gak, gak mungkin deh. Ada urusan apa? Gue kan dari pihak keluarganya."

"Urusan keluarga juga kok, Nan. Keluarga dia kan bukan cuma lo," timpal seseorang yang tengah membaca sebuah buku berjenis self-improvement. Ia yang semula membaca buku dengan posisi buku yang menutupi wajahnya, kini menurunkan bukunya sehingga wajahnya terlihat jelas.
"Maksud lo?" tanya Ananda tak mengerti sama sekali.

"Bara izin karena dia ikut sama Bu Hana."

"APA?!" teriak Ananda yang spontan saja membuat Elma, Fadil, dan orang yang ada di dalam kelas tercengang karenanya. Bahkan, sampai beristigfar saking kagetnya dengan pekikan itu.

"Woi woi, santai dong," komentar salah satu siswa yang sedang berdiskusi di salah satu sudut kelas.

Ananda tidak memikirkan orang lain, ia lekas melangkah mendekati Fadil dengan matanya yang melotot. "Terus lo gak cegah Bara pergi? Gimana kalau dia kenapa-kenapa?"

"Ananda ... tolong kamu sabar ya," nasihat Elma yang kurang suka dengan keributan.

"Jangan overthinking, Nan. Lagian ... gue yakin, lo juga sebenernya tahu jelas soal Ihsan," balas Fadil dengan matanya yang sinis dan raut wajahnya yang datar.

"Ihsan siapa lagi?"

"Anak Bu Hana yang mengidap autisme."

"Hah?! Itu kan ... San-San. Jadi, Bara tau soal San-San?"

Tidak ada gubrisan, Fadil hanya mendengkus dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

***

Gimana ini pemirsa setia cerita "Bara"? Pusing gak pusing gak?

Kalian bisa menebak apa yang terjadi gak? Atau justru mumet dan bertanya "Hah kenapa? Kok gini?" 

Penasaran? 

Beneran nih ... penasaran?

To be continue ...

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang