16

161 17 0
                                    

"Jangan peluk-peluk saya!"

"Tapi, Mah aku—"

"Diam!"

Rasa takut membuat sekujur tubuhnya gemetar. Ditambah lagi, dada yang sesak atas perlakuan sang ibunda yang begitu sarkas. Menyaksikannya, membuat siapa pun iba. Sungguh kejam perlakuannya pada anak balita. Mengenangnya, membuat hati seakan teriris dan tercabik-cabik.

"Kamu tau kenapa nama kamu itu Bara?" Tatapan mata perempuan itu melotot, begitu lebar seolah kedua bola mata itu akan keluar dari tempatnya berdiam. "Ah, anak ingusan sepertimu pasti tidak akan mengetahuinya." Dia memegang lengan anaknya dengan cengkraman kasar. "Bara itu singkatan dari BAWA SENGSARA! KAMU ITU PEMBAWA KESENGSARAAN DI HIDUP SAYA!"

Pedih hati menyelami peristiwa kelam yang meninggalkan sakit tak berdarah di dalam relungnya. Luka yang menganga lebar. Membekas diingatan. Usia belia yang sudah mendapat perlakuan buruk. Pola asuh yang salah.

Memori pun mengingat apa yang diterima tatkala pertanyaan dari arti nama Bara terlontar, pada seseorang yang selalu menunjukkan sisi baik kepadanya.

"Ibu, apa arti nama Bara itu 'Pembawa Sengsara'?" tanyanya yang menginjak usia sepuluh tahun. Apa yang menggores di hatinya kala itu, pun menjadi sesuatu yang mengganjal di hatinya, baru terlontar di bibirnya setelah kejadian tersebut berlalu selama lima tahun lamanya.

"Apa yang kamu katakana, Sayang? Bara itu artinya 'tidak berdosa', jangan kayak gitu ah," balas Yona sambil mengusap kepala Bara dengan lembut. Jiwa keibuannya benar-benar besar.

Benar kata orang, kalau seorang ibu itu pastilah seorang perempuan. Namun, tidak semua perempuan memiliki sikap keibuan.

Andaikata dapat memilih dari rahim siapa Bara dilahirkan, tentu Bara tidak ingin memilih Hana. Namun, kata pengandaian hanya akan menambah perih di sanubarinya. Membayangkan sesuatu yang tidak mungkin, alias mustahil, tidak akan mengubah realita atau takdir mutlak yang sudah ditetapkan. Hanya menambah kerunyaman hati yang sedang gundah saja.

Di tengah malam yang gelap gulita, setelah mimpi-mimpi mengenai masa lalu buruknya, tentang pola asuh salah yang diberikan Hana, Bara hanya bisa terjaga di ruangan sepetak yang notabene milik perempuan bernama Hana itu. Matanya enggan untuk terpejam kembali. Sepertinya, tak ingin lagi terlelap dan merasakan mimpi-mimpi kelam dari luka-luka masa lalu.

Ah,kejadiantadi pagi benar-benar membuat pikirannya tambah acak-acakan, dan membuatdadanya semakin sesak. Ia kira, kedepannya akan baik-baik saja. Hana akan mulaihangat kepadanya, ia bisa dekat dengan Hana dan juga dengan keluarga Hana.

Namun, fakta itu tidak bisa ditoleransi hatinya. Ia enggan menoleh dan mencari klarifikasi setelah apa yang ia temukan. Nestapa yang dirasa masih berkuasa atas hatinya.

Ihsan.

Penderita autisme.

Anak dari istrinya Pak Budi yang sekarang.

Anak dari Nyonya Hana.

Hana.

Ibu kandung Bara?

"Maaf, kalau boleh tahu ... umur Ihsan berapa?" tanya Bara dengan perasaannya yang dipenuhi kecamuk.

"Sepertinya seumuran dengan kalian. Kalian 17 tahun kan?" jawab susternya tadi pagi.

"Ihsan ulang tahun Suster?" Ihsan berwajah semringah sambil bertepuk tangan. "Ulang tahunnya bulan depan, Juni."

Bara jelas semakin dibuat panik dengan apa yang baru saja ia dapatkan. Umur Ihsan. Dan, bulan kelahiran Ihsan.

Di malam ini, Bara mengusap rambutnya sembari menghela napas berat. Gusar mengingat semua itu.

Ia kira, Ihsan adalah kakak atau adiknya yang umurnya hanya berbeda 11 bulan dengannya. Namun, apa yang ia dapatkan pagi itu menunjukkan dengan jelas, bahwa Ihsan bukanlah kakak ataupun adiknya. Ihsan adalah seorang anak laki-laki, seusianya, yang bulan kelahirannya hanya berbeda satu bulan lebih muda dengan Bara.

"Ssh ... arrhh." Bara mengusap wajahnya kasar.

Ia tidak habis pikir dengan teka-teki baru yang muncul dalam kisah hidupnya yang sudah rumit.

Pagi tadi, sesampainya keluarga Budi di kediamannya. Jelas, menjadi kejutan tersendiri bagi Hana. Raut wajahnya terlihat begitu kaget melihat keberadaan Bara di sofa teras rumahnya, bersamaan dengan keberadaan Ihsan. Sontak Bara lihat, Hana terlihat pucat melihat hal tersebut.

"Kamu ...—" Budi pun seperti kehilangan kata-kata saat melihat keberadaan Bara di sana. Lekas saja, Bara menyambar sambil bangkit dari posisi duduknya.

"Ini," Bara menunjukkan keresek berisi ayam bakar itu ke hadapan keluarganya Budi, "anggap ini sebagai rasa terima kasih saya kepada keluarga Pak Budi." Meski begitu, ucapan Bara juga terdengar dingin, memendam rasa kecewa sekaligus rasa penasaran yang menumpuk di relung hatinya.

"Siapa itu Kak?" Anak perempuan Budi bertanya kepada kakaknya. Suaranya mampu Bara dengar, tetapi Bara tidak mau menggubris apa pun. Ia sudah malas bertahan di tempat itu. Bahkan, untuk meminta kejelasan sekalipun.

Kakak anak perempuan itu hanya mengidikkan bahunya.

"Permisi, assalamu'alaikum," pamit Bara. "Ayo Dil, kita pulang." Tak lupa, ia juga mengajak teman sejawatnya yang tak kalah kaget mendapat hal-hal aneh di pagi itu.

Spekulasi di malam hari ini, mulai hinggap di otaknya. Bara merasa menemukan jawaban dari apa yang hatinya pertanyakan dari tadi. Hmm ... sepertinya, alasan mamah Hana bersikap kasar kepadaku selama ini, karena aku adalah anak dari madunya atau anak dari selingkuhan Papah Salman.

Mata Bara mulai melirik ke bingkai kecil yang tertempel di dinding. Di bingkai tersebut terdapat foto seorang pria, yang Yona kata, bahwa dia itulah Salman, suami Hana yang sudah meninggal sejak Bara masih bayi.

Air mata pria yang selalu terlihat kuat dan baik-baik saja di hadapan orang lain, kini meluruh dari pelupuk matanya. Stereotip masyarakat, kalau pria itu tidak boleh meneteskan air mata, tidak ia pedulikan lagi saat ini. Ia tak peduli orang berkata dia lebay, atau bermental perempuan. Yang jelas, ia hanya ingin meluapkan rasa sesak di dadanya. Tidak semua orang bisa berempati dengan penderitaan yang ia alami.

Oh ... ya Allah, tunjukkan kebenaran-Mu. Jangan sampai hamba tenggelam dalam lautan prasangka buruk. Jika memang benar ibu kandung hamba bukanlah mamah Hana, pertemukanlah hamba segera dengan ibu kandung hamba.

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang