21

193 19 1
                                    

Tidur dirasa tak nyenyak. Terlebih, ketika cinta pertama seorang gadis kecil itu baru genap, empat hari, meninggalkannya dan ibunya di buana yang fana ini. Ayahandanya pergi tak terduga ke alam yang berbeda. Sudah tiga hari pula ia tak dapat tidur dengan nyenyak di punggung ranjangnya. Kualitas tidur anak usia empat tahun lebih lima bulan itu tidak seperti semestinya. Ia sering terbangun tengah malam, dan tidak bisa tidur lagi sampai ia selesai menunaikan salat subuh.

Beruntungnya, selama tiga hari kemarin, ibundanya dapat mengerti keadaan putrinya. Mungkin, karena sama-sama masih dirundung duka yang sama, sehingga mau tak mau, ibu itu ingin melakukan yang terbaik untuk putri semata wayangnya, harta berharga satu-satunya yang ia punya.

Namun, pada hari keempat, di saat gadis kecil itu terbangun di tengah malam, ia tidak menemukan ibunya di sebelahnya sama sekali. Alhasil, ia lekas bangkit dari tidurnya, khawatir hal yang sama menimpa ibunya, dan membuat dirinya yang mungil itu hidup sebatang kara.

"Ibu ...? Ibu di mana?" tanya gadis itu.

Hingga beberapa saat kemudian ia mendengar suara orang mengobrol yang bersumber dari halaman rumah majikannya. Karena tidak mau sendirian, ia pun melangkah mendekati sumber suara tersebut.

"Ibu ...," panggil gadis kecil itu.

Ibunya menoleh, kemudian tersenyum ke arahnya. "Sini, Sayang."

Gadis kecil itu pun berlari dan berhambur memeluk Yona. Matanya kemudian melirik ke arah perempuan yang sebaya dengan ibunya, ia tengah menggendong putranya yang terkesan 'aneh' di matanya. Sebab, bocah kecil itu seumuran dengannya, tetapi tingkahnya seperti bayi saja.

"Ibu ini sama San-San kenapa di luar rumah?"

"Ibu sama San-San mau pulang, ini lagi ngobrol sekalian mau pamitan sama Ibumu," balas ibunda dari bocah laki-laki bernama San-San itu. "Rupanya, putri Bu Yona ini masih sama seperti tiga malam kemarin, tidurnya gak nyenyak."

Yona tersenyum tipis. "Kehilangan sosok ayah di usia Ananda yang sangat belia ini, pastinya gak mudah Bu Hana."

Hana membelai puncak kepala Ananda yang saat itu belum mantap mengenakkan hijab, sehingga Hana bisa meraba rambutnya yang terurai. "Kamu yang sabar ya, Nak. Kamu ini anak hebat."

Ananda mengangguk pelan. "San-San gak akan main lagi sama Nanda, sama Bara juga dong Bu?"

"Iya, Sayang ... Ibu harus kembali ke Singapura untuk lanjut bekerja. San-San di sana ada temen kok, kamu yang akur ya sama anak yang kamu bilang punya tiga ibu itu," balas Hana sembari terkekeh, ia mengingatkan Ananda akan temannya yang bernama Bara, yang saat ini sedang tertidur pulas. Anak yang kadang-kadang membuat Ananda jengkel, karena dia memiliki tiga ibu. Lebih sebalnya, ibunya yang berstatus sebagai ART itu kadangkala lebih menyayangi Bara daripada dirinya yang jelas-jelas anak kandungnya sendiri.

Ananda hanya dapat termenung di tempat duduknya di kelas. Perasaannya berubah tak baik setelah Fadil mengatakan Hana pergi bersama Bara. Perempuan yang tidak ia sukai semenjak ia menentukan keputusannya lima tahun lalu.

"Ini untuk kebaikan Bara, kamu harus bersikap tidak suka kepada saya. Kamu harus tutup mulut tentang apa yang sebenarnya terjadi. Saya mohon ...." Begitu pintanya kala itu. Ananda sangat tidak menyenangi keputusan Hana yang rela dibenci. Namun, ia juga lemah untuk menolak pintanya yang terlihat begitu memelas.

...

"Jangan bercanda, Mah," ucap Bara sembari tertawa hambar. "Oh, mungkin emang gak bercanda ya? Aku anak dari madu atau selingkuhannya Papah, kan?"

Hana menggeleng. "Jangan pernah katakan itu, Salman bukan orang yang gila wanita. Dia orang yang setia. Kamu ini memang bukan anak dari kami."

"Okay, kalau emang begitu, kenapa aku diberitahu anak dari orang bernama Hana?" tanya Bara yang tak tanggung-tanggung menunjukkan ekspresi kesalnya.

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang