31

169 13 1
                                    

Remang-remang pemandangan yang tampak di sekitarnya, ia mencoba untuk mengerjap beberapa kali, agar penglihatan di sekitarnya terlihat jelas. Seketika ia mengernyit ketika melihat keadaan yang ada di sekitarnya. Sebuah pabrik yang sepertinya sudah tidak terpakai lagi, karena tidak ada mesin-mesin, menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Meski tidak ada mesin, di area tersebut masih ada truk-truk—yang sepertinya sudah tidak terpakai—ada karung-karung, ban-ban bekas, dan potongan-potongan besi.

Ia merasa, bibirnya tak dapat digerakkan. Seketika itu pula, ia menyadari kalau ia tengah disekap di sana. Mulutnya dibekap, tangan dan kakinya diikat dikursi.

"Dil, ini obatnya!"

"Tunggu di situ, bentar lagi gue keluar."

Bara ingat kejadian yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri. Setelah ia mengambil obat untuk Fadil, ia lekas menuju toilet pria yang terletak dekat dengan area belakang sekolah. Kebetulan, area toilet tengah sepi. Bara menunggu Fadil keluar di depan kaca yang dekat wastafel. Lalu, setelah itu ....

"Hai, Bara."

Bara mendongak tatkala mendengar suara yang sudah familiar di telinganya. Bara menatap dengan perasaan marah dan kecewa kepada seorang laki-laki yang selama ini berkedok baik di depannya. Pria itu tak hanya datang sendiri, ia datang bersama para bedebah. Lalu, ada satu preman yang datang dengan mendorong kursi roda, yang mana di kursi tersebut terdapat seorang wanita berusia empat puluh tahunan.

Sontak saja, air mata Bara meleleh ketika melihat paras perempuan berwajah pucat dan tak berdaya sama sekali di kursi rodanya.

"Inilah ibu kandungmu, Glinda. Meski ia ingin, ia tidak akan bisa berkata apa-apa. Ia sudah sangat sakit-sakitan dan merepotkan!" Pria itu menjatuhkan Glinda dari kursi rodanya.

Glinda yang sedikit kesusahan untuk berbicara, hanya bisa menjatuhkan air matanya untuk mengatakan pada dunia, bahwa ia sangat menderita selama ini.

Bara sontak saja memberontak, menggoyang-goyangkan kursinya. Ia sangat tidak terima, ibu kandungnya diperlakukan seperti mainan. Didorong seenaknya tanpa belas kasihan!

Pria itu menghampiri dan memegang bahu Bara. Satu kakinya bertumpu pada lutut kanan Bara. Ia tersenyum, yang tentunya bermakna senyuman bahagia akan penderitaan orang lain. Tangannya pun perlahan membuka perekat yang menutup mulut Bara.

"Arh!" pekik Bara saat perekat itu dibuka, perih begitu menerjang kulit-kulit di sekitar area mulutnya. "Lo gila?! Lo digaji berapa sampai tega kayak gini sama sahabat lo sendiri, hah?!"

Pria itu menurunkan kakinya dan mengalihkan tangannya dari sana. Ia melempar perekat tadi ke sembarang tempat sembari memunggungi Bara. Raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan perasaan bersalah, justru ia tersenyum sedari tadi.

"Jawab Fadil!"

Fadil menghadap ke arah Bara kembali, ia tersenyum dan menggeleng. "No no no, nama asli saya bukan F A D I L," pria itu mengeja menggunakan Bahasa Inggris, "nama asli saya adalah Devan."

"Dasar penipu!" teriak Bara yang tengah membara itu. Seingatnya, ia tak pernah berteriak seperti itu kepada siapa pun selama ini, dan pria bernama Fadil, ah salah, pria bernama Devan itu adalah orang yang pertama kali mendapatkannya.

Terlihat, amarah Devan mendidih. Matanya berubah bak elang yang tengah melihat mangsanya. Ia beralih ke belakang bangku yang ditempati Bara dan mendorongnya, hingga jatuh ke lantai, ke dekat ibunya berada. "Mana etika Anda? Umur saya lebih tua daripada Anda!"

...

"Apa?!" Tidak ada yang tidak kaget di dalam mobil yang tengah dilajukan oleh sopir pribadi Hana itu. Mereka kaget bukan main setelah mengetahui identitas Fadil yang sebenarnya dari Dion dan juga Elma.

"Tapi, Nak Fadil itu orangnya baik. Kalian ngarang, ya?" Yona—yang baru dijemput—merasa semua yang sudah diceritakan Dion dan juga Elma adalah kemustahilan.

"Kita gak ngarang, Bu. Fadil, ah bukan Kak Devan itu berusia 24 tahun, hanya saja dia itu perawakan dan wajahnya memang seusia kita, 17 tahun," sanggah Elma mencoba meyakinkan.

"Dia memang sahabat kami sejak kecil, anak dari teman keluarga kami. Setelah kuliah, perusahaan keluarganya terancam bangkrut, lalu ayah memberikan penawaran yang entah apa detailnya, yang jelas sih dari kerja sama itu, Kak Devan menyamar menjadi Fadil dan sekolah di SMA Bina Pelajar. Aktingnya terlihat natural, karena dulu dia anak teater, dia seterlatih itu sampai kita gak bisa menyadari misinya yang sebenarnya."

"Terus kenapa Elma, kenapa kamu gak bilang soal ini?" tanya Ananda yang perasaannya terasa begitu tak karuan. Wajar memang, ia yang diam-diam menaruh rasa kepada pria itu, harus menelan kenyaatan pahit, jikalau Fadil itu adalah Devan yang merupakan anak buah dari Bagaskara.

"Aku kira Kak Devan gak bermaksud menyakiti Bara, jadinya aku tetep jaga rahasia seperti yang orang tua aku dan ayah Dion pesen. Aku kira misi yang dimaksud itu menjadikan Dion dewasa, karena Kak Devan jadi menjauh dari Dion ketika dia di SMA."

Setelah mendengar jawaban itu, mereka semua mendadak terdiam satu sama lain. Masing-masing fokus pada pikirannya masing-masing. Efek kaget yang baru saja diberikan benar-benar membuat pikiran dan hati mereka butuh waktu untuk mencerna ulang semuanya.

Mengenai Fadil. Sebelum mereka menjemput Yona, mereka berlima mencoba mencari keterangan dan petunjuk. Tempat yang dikunjungi Bara setelah bahunya bertabrakan dengan Dion, adalah UKS, tempat obat diare itu diambil. Kebetulan, di sana ada tiga orang siswi yang tengah piket di UKS.

"Permisi, apa kalian liat Bara tadi pagi minta obat diare ini?" tanya Ananda

Salah satunya menjawab, karena ia dari kelas yang sama dengan Ananda. "Iya, tadi aku liat Bara minta itu, katanya buat Fadil."

"Katanya Fadil datang ke sini juga ngambil obat, bener?" Dion lekas menanyakan hal tersebut setelah Elma menceritakan kejadian sebelumnya kepadanya. Di saat itu, Dion sudah merasakan firasat yang tidak enak. Hatinya terasa ada yang ganjal.

"Hah? Enggak tuh. Enggak liat."

Setelah mendengar jawaban tersebut, Dion langsung menarik lengan Aldo untuk menghampiri toilet pria. Siapa tahu, Dion bisa mendapatkan bukti-bukti lagi untuk menguatkan argumennya.

Sementara itu, Hana mendatangi ruang guru dan meminta keadilan atas kelalaian pihak sekolah dalam menjaga muridnya. Lalu, mereka menemukan hal yang tidak disangka-sangka di sana.

"Tadi kami mendapat pemberitahuan dari Devan, kalau perusahaan Bagaskara akan mengadakan acara di sekolah ini, katanya harus segera dirapatkan karena acaranya tidak lebih dari seminggu lagi. Kami tidak bisa menolak, karena perusahaan Bagaskara merupakan donatur sekolah ini."

Mulai saat itu, mereka yakin kubu lawan sudah mempersiapkan rencananya dengan matang sebelum ini. Sampai pada rekayasa rapat untuk acara perusahaan itu. Sedang Elma yang mengetahui Devan itu siapa, langsung mengajak Dion dan yang lainnya untuk segera naik mobil dan menjemput Yona juga.

"Lokasi Kak Devan, Bara, atau Om Dirga udah ketemu belum, Yon?" tanya Elma memecah keheningan di antara mereka.

"Gue masih usaha, gue usahain bisa dapet lokasinya."

Hana gelisah. Sejak tadi ia menghubungi Budi tak kunjung dijawab. "Astagfirullah, saya lupa ... Pak Budi ada urusan kantor yang sangat penting dengan klien-nya. Mungkin dia di pesawat, karena katanya urusannya di luar negeri. Aduh, gimana ini?"

"Jangan takut, Allah yang Maha Pelindung pasti bantu kita," nasehat Aldo.

Hana pun menghela napasnya dan mengangguk.

"Eh, Devan menjadi Fadil sejak kelas sepuluh, kan? Apa jangan-jangan sebenarnya selama ini mereka tahu mengenai Bara? Tapi, mereka bisa tahu darimana kalau memang begitu?" tanya Yona yang baru saja angkat suara setelah sekian lama.

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang