2

475 28 6
                                    

Bruk!

Bahu-bahu kokoh kedua adam secara tak sengaja bertabrakan ketika langkah kakinya berjalan di koridor sekolah. Lekas mata kedua pria itu bertukar satu sama lain, melihat siapa yang mengusik raganya.

"Lo punya mata gak sih?!" bentak laki-laki most wanted di sekolah itu, yang terkenal akan ketampanannya dan ketajirannya. Tak lupa, terkenal pula dengan keangkuhannya yang selangit itu.

Lawan bicaranya mendengkus. Pagi-pagi begini, setelah terhindar dari saudarinya yang seperti harimau, kini ia malah berhadapan dengan orang yang bertingkah seperti langit. Orang yang tidak pernah ia sukai sejak ia duduk di bangku kelas sepuluh SMA Bina Pelajar tersebut. Gayanya yang sok meraja, yang tidak pernah mau disalahkan, bangga akan harta orang tuanya, sulit mengucap maaf dan terima kasih, membuat Bara ingin membara.

Inget Ibu Yona, Ra. Kasian dia kalau lo sampe bikin masalah di sekolah, batin Bara mengingatkan. Ia yang ingin membara, tak jadi membarakan amarahnya. Ia menghela napasnya panjang dan menahan tangannya agar tak terkepal dengan amarah.

"Maaf, gue gak sengaja, gue salah."

"Apa? Maaf?" Pria sombong bernama Dion itu tertawa meledek. Bahkan, kedua rekannya yang bernama Lintang dan Evan pun ikut tertawa karenanya.

Bara menghela napas kasar. "Gak usah gede-gedein masalah yang sepele. Minggir, gue mau ke kelas," tegur Bara sembari berjalan maju dan menggeser tubuh Dion serta Evan yang ada di hadapannya, agar ada lahan untuknya lewat dan pergi ke kelas. Kemudian, ia pun lanjut berjalan dengan santai meninggalkan Dion dan kedua anteknya itu.

"Woy!" seru Dion ketika melihat Bara berani-beraninya pergi tanpa mau mendengarkan apa maunya. Dion merasa seperti tidak dihargai.

Bara hanya tersenyum miris dan lanjut berjalan meninggalkan mereka.

"Gue tahu harus apa biar dia gak pergi," ucap Evan.

"Apa tuh?" tanya Dion dan Lintang kompak.

"Ekhm," Evan menyiapkan suaranya terlebih dahulu dengan berdehem, "Anak tukang bakso mari-mari sini ... hahaha," Evan bersuara lantang mengatakan kalimat tersebut dengan nada lagu 'Abang tukang bakso mari-mari sini'.

Bara menghentikan langkahnya. Mereka mau ngeledek usaha ibu peri gue?!

"Ooh anak tukang bakso!" seru Dion diakhiri tawa yang terkesan merendahkan.

Suasana pagi jadi terasa menegangkan sekarang ini. Orang-orang yang mendengar ucapan-ucapan mereka langsung mengarahkan matanya menatap ke arah mereka, menjadikan Bara serta Dion dan rekan-rekannya itu sebagai pusat perhatian.

"Iya Bro! Ituloh yang dikantin ada bakso-baksonya ... hahaha," tambah Lintang.

"Sok-sok-an banget sih, berani banget sama orang setajir dan setampan Dion Bagaskara!" sindir Dion.

Bara, inget Bu Yona, Bara, batin Bara berulang kali mengingatkannya agar tak mengecewakan ibunya itu. Ibunya ingin ia sekolah untuk menuntut ilmu, bukan berkelahi. Ia harus bisa menahan amarahnya yang kian ke sini terasa kian membara.

"Sok banget lo, Yon! Dasar anak manja."

Tiba-tiba suara itu membuat mereka semua yang berada di sekitar sana tercengang. Ucapannya begitu menantang jiwa Dion. Orang tersebut seakan memancing di air yang keruh. Suasana Bara dan Dion tengah memanas, dia malah menambahi. Ternyata, ada lagi yang berani menghadapi kesombongan Dion di sana. Entah, siapa lagi dia? Apa dia mencari mati atau sedang uji nyali?

Orang tersebut pun turun dari tangga yang terletak di antara kubu Dion dan kubu Bara. Melihatnya, orang-orang sudah tidak perlu mencemaskan nasib orang tersebut, yang baru saja menantang. Mereka bisa bernapas dengan lega, dan merasakan hawa-hawa ketegangan akan segera sirna. Sebab, pria itu juga tajir, bedanya dia baik dan suka membela orang-orang yang tertindas. Bukan seperti Dion yang menindas.

"Fadil?" gumam Bara ketika ia memfokuskan pandangannya ke sumber suara tadi.

"Hai, Bar! Alhamdulillah gue udah selesai urusan keluarganya, jadi setelah enam hari di Singapore gue bisa ke sini," sapa Fadil yang merupakan sahabat baik Bara, jadi wajar jika ia langsung sehangat itu kepada Bara.

"Hem ... pahlawan kesiangan," gerutu Dion.

"Tapi sayangnya, lo Yon," Fadil menunjuk ke arah Dion, "Gak ada perubahan. Padahal, sebelum gue izin, kita ada acara pengarahan di sekolah ini, terus kemarin upacara bendera juga ada wejangan. Gak ngerti-ngerti lo ah. Ckckck. Astagfirullah." Fadil mengusap dadanya.

"Maaf, Dil ... Dion and the geng kan bolos pas pengarahan, upacara pun selalu bolos," timpal Bara diiringi dengan senyum lebarnya.

"Oh iya gue lupa. Udahlah kita bubar aja, gak jelas ngeladenin dia," ajak Fadil yang kemudian berjalan beriringan bersama Bara meninggalkan tempat kejadian perkara tersebut.

"Nyebelin tuh si Fadil. Dia jadi gak asik, semenjak kenal anak tukang bakso itu!" Dion mengungkapkan kekesalannya setelah Bara dan Fadil menjauh dari tatapan matanya, pun ketika orang-orang sudah mulai pergi meninggalkan tempat di mana mereka menyaksikan peristiwa tadi.

Dion mengatakan hal tersebut, karena dulunya Fadil adalah karibnya. Mereka berteman akrab sejak sekolah dasar, bersama dengan Evan dan Lintang juga, sampai sebelum Fadil mengenal Bara. Ya, meskipun dulunya mereka berteman akrab, tetapi gaya hidup Dion sedari dulu tidak berubah, pun dengan gaya hidup Fadil yang sederhana, tidak berubah.

Apa yang disangka Dion, bahwa Fadil berubah ... mungkin saja karena Fadil menemukan pertemanan nyamannya. Tidak perlu memandang teman dari status perekonomiannya. Hanya saja ... Dion tidak bisa menerima itu, sehingga ia menyangka seolah-olah Fadil yang menjauh, padahal ia yang tidak mau berteman dengan orang yang status perekonomiannya berbeda dengannya.

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang