26

180 12 0
                                    

Kepala Elma menunduk, memandang surat-surat yang tidak tersimpan di meja Bara sejak sebulan lamanya—surat itu kini berada di telapak tangannya. Kertas-kertas yang terlipat rapi itu, Elma pandangi satu per-satu dengan perasaannya yang riuh. Riuh akan kerinduan yang membuat dadanya hampir sesak. Ia mendamba sosok yang ia kagumi itu hadir dan duduk di tempatnya, sehingga surat-surat itu bisa Bara baca.

Ya, semuanya.

Entah, akan bagaimana reaksi Bara saat melihat surat yang berjumlah lebih dari dua puluh lembar itu?

Bara melakukan perawatan untuk luka psikisnya. Itu alasan mengapa Bara tidak hadir selama itu. Pelajarannya dikirimkan oleh guru ke dalam surelnya, dan ada juga yang dikirim oleh guru atau Fadil ke WhatsAppnya. Untuk lebih memahami pelajarannya, Bara difasilitasi guru private oleh Hana.

Elma berharap semuanya akan segera baik-baik saja. Meskipun, ia tidak banyak tahu mengenai masalah yang tengah dipikul oleh Bara. Elma tidak mau banyak bertanya, terlebih kepada Ananda yang saat ini telah menjadi karibnya yang paling baik. Setiap orang punya privasinya masing-masing, bagi Elma, hak Bara dan pihak yang terlibat saja mau menceritakan kepadanya atau tidak.

Terlebih lagi, ada hal penting yang perlu Elma prioritaskan saat ini, yaitu ujian sekolah yang sebentar lagi akan segera menyapa masa mudanya.

Sementara itu, di depan gerbang sekolah ada Ananda yang baru saja turun dari mobil Hana, disusul dengan empunya. Ia mengelus puncak kepala Ananda yang tertutupi kain kerudung, dan Ananda mengecup punggung tangannya. Suasana yang selama ini Ananda inginkan ketika bertemu Hana, memperlakukannya dengan hangat, bukan bersandiwara membencinya atas dasar permintaan Hana yang ngotot kala itu.

"Insyaallah, Bara sudah membaik, Nan. Dokter udah ngasih lampu hijau kemarin malam. Nanti kalian bisa berangkat bareng sama Mamah Hana."

"Asiik! Akhirnya deh ... semuanya bisa membaik."

"Oh iya, ada satu hal yang perlu kamu ingat, Ananda," Hana mendekatkan bibirnya ke telinga Ananda, "Hati-hati dengan Dion."

Ananda mengangguk.

Selepas asisten Hana memberitahukan kecelakaan yang menimpa Bara dan Ananda kala itu, yang diketahui bahwa hal itu didalangi oleh Dion, putra dari Bagaskara. Pun, setelah Ananda menceritakan kronologi sebelum kecelakaan itu terjadi, serta membandingkan dengan kondisi hubungan mereka dengan Bara saat ini, mereka jadi lebih waspada kepada Dion. Sebab, tidak ada yang mustahil, kalau Bagaskara dan putranya itu bisa melakukan hal-hal berbahaya untuk mencelakakan Bara.

"Ekhm." Suara deheman yang dapat diprediksi berasal dari pita suara seorang pria, membuat Ananda dan Hana menoleh ke sumber suara yang berada tepat di samping kanan mereka. "Kalian punya hutang penjelasan."

Ananda memutar bola matanya jengah sambil menghela napas panjang. Tak letih-letih, Fadil meminta penjelasan dan penjelasan kepada Hana dan juga Ananda. Fadil se-care ­itu pada Bara sampai-sampai tak mau ketinggalan informasi mengenai sahabatnya itu.

Hana melihat Ananda dan mengangguk pelan. "Dari apa yang kamu ceritakan selama ini, saya juga tidak keberatan Elma mengetahuinya. Walaupun dia keponakan Dirga Bagaskara," Dirga Bagaskara akrab disapa Bagaskara, "tapi tidak mengapa, saya yakin dia baik."

"Baiklah, Bu."

...

Setelah Pak Kardi meninggal, bukan hanya Hana yang memutuskan untuk mencari mata pencaharian dengan gaji yang lebih daripada gaji yang diterimanya selama menekuni pekerjaan yang sudah empat tahun dijalaninya. Glinda pun ikut bekerja, hanya saja tempatnya di luar kota. Sehingga, tinggallah Ananda dan Bara yang masih usia belia bersama Yona.

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang