36

279 16 3
                                    

Mulut pistol mengarah lurus kepada sasaran yang empunya inginkan. Tepat dua meter di depannya, terdapat seorang gadis muda yang selalu tampak ceria, tetapi semuanya akan segera sirna oleh peluru yang akan keluar dari pistolnya. Empunya benar-benar memendam perasaan kesal kepada perempuan muda itu, karenanyalah dalang dari permainan ini menjadi lemah dan tak berdaya untuk menuntaskan apa yang telah direncanakan. Tadi saja, dalang dari permainan ini seketika bergeming ketika memandangi wajah putrinya yang biasa penuh cinta ketika menatapnya, berubah menjadi sebuah rasa benci.

Di samping itu, Budi yang tengah berkelahi dengan anak buah dari putranya sendiri, tak sengaja menangkap Bagaskara tengah memegang pistolnya. Budi tak langsung memukul rivalnya yang bajunya sudah ia cengkram dengan kuat. Ia justru fokus melihat ke arah mana mulut pistol itu akan melepaskan pelurunya.

Rivalnya yang tak lain adalah Rey, merasa bingung, seharusnya di posisinya ia sudah kena tonjokkan. Namun, Budi malah teralihkan fokusnya. Tentu saja itu kesempatan emas untuk meninju Budi yang sedang lengah, tapi Rey juga penasaran dengan apa yang dilihat Budi sampai fokusnya teralihkan seperti itu.

Seketika mata Rey membulat.

Budi yang sudah menyadari hal itu lebih dulu daripada Rey, langsung melepas cengkraman baju Rey dengan kasar, sehingga membuat Rey terjatuh. Langkah Budi tak gentar, ia bergegas secepat mungkin. Sebab, Bagaskara sudah mulai menarik pelatuknya. Dan itu artinya, putri bungsu yang sangat ia sayangi akan terkena peluru itu!

Dor!

Ada dua suara tembakan yang berasal dari dua pistol yang berbeda.

"Jangan bergerak!" Suara yang dapat dikenali oleh semuanya, itu adalah suara polisi. Mereka datang ke gudang sebagai bala bantuan, mereka berjumlah tiga puluh orang. Riolah yang memanggilnya.

Yap, satu suara tembakan itu adalah suara peringatan yang dilontarkan oleh polisi. Dan ... satu laginya tak kalah membuat orang-orang tercengang melihatnya.

"Papiiihh!" Sella memekik setelah ia berbalik badan. Ia lekas merengkuh tubuh ayahnya sembari menangisi keadaannya.

Meski ia tahu ayahnya sudah melakukan banyak kejahatan, baginya ayah tetaplah ayah. Dia adalah cinta pertamanya, pria yang paling menyayanginya di muka bumi ini. Sungguh, sembilu yang amat berat terasa di sanubarinya ketika melihat dada ayahnya bercucuran darah akibat perbuatan Bagaskara.

Bagaskara terbelalak melihat Budi yang tertembak. Tubuhnya mendadak gemetar dan pistol yang dipegangnya pun perlahan jatuh. Setelah itu, polisi lekas meringkus Bagaskara dan juga penjahat-penjahat lainnya.

"Kamu selamat, Sayang," ucap Budi dengan suaranya yang lemah sembari meringis, meresapi rasa sakit yang meradang di dadanya.

"Papiiiih ... hiks," Sella memeluknya sangat erat, "Sella sayang Papih, Papih tolong jangan pergi, Pih."

Bara dan Glinda juga tak kalah kaget melihat semua itu, apalagi kejadian itu terjadi di dekat mereka. Bara langsung mendekat ke hadapan Budi, dan Glinda ada di belakang Bara sembari memandang wajah Budi.

Arsel, Rio, dan juga orang-orang yang tadi disandra oleh Budi dan rekannya langsung menghampiri ke tempat kejadian.

"Sella cuma mau Papih berhenti berbuat jahat, meski Papih harus dipenjara." Sella terus terisak, sebagai anak perempuan ia sangat sakit hati menyaksikan semua ini. Sebelumnya, ia menerima kenyataan pahit tentang bagaimana ayahnya, dan sekarang harus menerima kenyataan pahit lagi kalau ayahnya tertembak.

"Ba ... ra," Budi menunjuk Bara dengan kelima jarinya, "Sa-ya mungkin tak ... arh, tak pantas menda-pat maaf darimu."

Melihat hal itu, air mata Bara langsung berderai. Bagaimana pun, ia adalah ayahnya. Sosok yang selama ini ia cari-cari, sosok yang selama ini ia rindukan segenap hati. Bara memegang tangan ayahnya dan berkata, "Aku tahu, nurani Bapak masih ada. Bapak masih sebegitu sayangnya kepada Sella. Walau Bapak telah membuat banyak derita di hati banyak orang, bahkan aku sendiri yang hampir saja Bapak bunuh, aku berlapang dada memaafkan Bapak."

Air mata Budi mengalir semakin deras.

"Lihat, Pih. Bagaimana perangai anak yang ingin Papih singkirkan itu? Baik sekali kan, Pih?" timpal Arsel yang juga tak bisa menyembunyikan air matanya. Sebab, ia juga sangat menyayangi ayahnya, makanya ia terus berusaha mencegah kejahatan yang dilakukan ayahnya. Rasa sayang yang sesungguhnya, tak membenarkan (menyetujui) perbuatan salah dari orang tersayangnya.

"Ar-sel." Budi memandangi wajah Arsel dengan penuh penyesalan. "Kalian ber-tiga, anak-anakku. Ssh ... maaf-kan Papih. Jadi-lah anak yang saleh dan salehah. Ja-ngan iku-ti je-jak kesalah ... ssh, kesalahan Pa-pih."

Rasa nyeri yang dirasakan Budi semakin meradang dan begitu menerjang.

"Ikuti aku Pih, Laa Ilaha Illalah," bujuk Bara. Sekejam apa pun perlakuan ayahnya itu, Bara masih ingin ayahnya mati dengan mengucap syahadat.

"Laa ... ukh! Ila-ha," Budi tampak kesakitan sekali, "Illallah."

"Enggak!" teriak Sella saat melihat mata ayahnya mulai terpejam perlahan. "Bawa Papih ke rumah sakit, Sella yakin, Papih masih bisa hidup!"

"Sella," Hana langsung memeluk anak tirinya dengan erat, mereka pun terisak bersama. Hati Hana juga teriris memandangi semua ini, terlebih ia sudah sangat mencintai suaminya itu.

...

Atas permintaan Sella, Budi dibawa ke rumah sakit dan langsung ditangani di ruang operasi. Dokter bilang, bahwa kemungkinan Budi untuk selamat sangat kecil, apalagi peluru itu sudah ada di dada Budi sejak satu jam lamanya. Namun, mereka tetap berusaha untuk memenuhi keinginan keluarga korban, pun berharap akan adanya keajaiban.

Saat operasi dimulai, azan asar berkumandang, mereka pun memutuskan untuk salat berjamaah dahulu, lalu mengganti baju mereka yang sudah kotor. Setelah itu, mereka kembali menunggu di ruang operasi sembari berharap akan datang keajaiban.

Dion dan Elma tidak bisa ikut menemani, karena mereka langsung dijemput dari gudang oleh ibunya Dion untuk mengurusi masalah Bagaskara di kantor polisi, mereka akan dimintai keterangan sebagai korban sandra sekaligus kerabat Bagaskara sendiri.

Ananda yang berdiri di ujung koridor menuju ruangan operasi, melihat ke arah Aldo yang berdiri menyandar ke tembok dengan raut wajah yang terlihat lelah, kaget, dan juga sedih. "Maaf, Do. Lo jadi terlibat dalam semua ini," kata Ananda dengan suaranya yang lirih, tetapi masih mampu didengar oleh Aldo.

Aldo yang semula memejamkan matanya langsung melihat ke arah Ananda yang ada di hadapannya. Sedikit tak percaya ia, Ananda berbicara begitu kepadanya. Ia tersenyum tipis.

"Lo keliatan lelah, Do. Kalau mau pulang, silakan. Lo istirahat aja, ya. Lo juga pasti shock dengan semua ini."

"Gapapa Ananda, kamu jangan khawatirin Aa Aldo. Aa Aldo insyaallah baik-baik aja."

Ananda pun tersenyum, lalu menghampiri Yona yang tengah duduk dan memeluknya. "Bu."

"Iya, Sayang." Yona mengelus puncak kepala Ananda dengan lembut.

Di sisi lain, Sella masih tak bisa membendung duka laranya yang tersampaikan melalui tetesan-tetesan bening yang keluar dari pelupuk matanya.

"Sella, kamu harus kuat," ucap Hana sembari mengelus puncak kepala Sella yang mengenakkan kain hijab. Ya, semenjak salat asar bersama, ia meminta asistennya membawakan gamis dan kerudung untuknya.

"Mamih Hana juga, ya," balas Sella yang kemudian memeluk Hana. "Sella tahu, gak mudah juga buat Mamih nerima kenyataan ini."

Bara melihat pemandangan itu dengan tatapan haru.

"Gue bersyukur lo selamat. Alhamdulillah juga, amanah yang dititipkan almarhumah nyokap gue bisa gue laksanakan," tutur Arsel sembari memegang pundak Bara.

"Makasih banget, Kak."

Tiba-tiba lampu merah di ruang operasi pun menyala. Membuat mereka merasakan kentara yang sangat pahit. Tidak ada yang bisa menafikkan tanda itu, Budi sudah tidak lagi bernyawa. Dia sudah mengembuskan napas terakhir. Operasinya sudah gagal.

"Innalillahi wa innailahi raji'un," lirih Bara.

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang