29

131 10 0
                                    

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, kepada seluruh siswa dan siswi SMA Bina Pelajar, kami dari staf guru memohon maaf yang sebesar-besarnya karena KBM hari ini tidak bisa dilaksanakan. Dikarenakan, para guru akan melakukan rapat," ucap Pak Dadang yang merupakan guru komunikasi di SMA Bina Pelajar, setelah jam pelajaran pertama terlewati dengan jam kosong.

Sontak saja, setelah mendengar pengumuman yang tersebar melalui speaker sekolah, para siswa dan siswi bergembira ria menerima semua itu dengan lapang dada. Entah, karena sudah lelah belajar atau bagaimana, seolah mendapat kupon yang berhadiah mobil mewah seharga milyaran, mereka sungguh terlihat antusias sekali.

Namun, di saat ada yang berbahagia, tidak dapat dimungkiri, kalau ada orang-orang limited edition yang kecewa karena tidak bisa belajar. Di tengah ramainya kegembiraan orang-orang, yang limited edition hanya bisa diam seribu kata dan meresapi rasa kecewanya dalam-dalam.

"Yes! Bisa punya waktu luang deh buat main sama Bara, sekalian melepas rindu." Ananda termasuk pada golongan orang-orang yang gembira. Ya, Ananda bukan golongan limited edition, dia bukan juara kelas. Hanya murid biasa-biasa.

Elma hanya tersenyum tipis, ada perasaan tidak senang di hatinya. Pun, Elma bukan golongan limited edition juga. Ia hanya akan merasa bosan ketika di rumah nanti, karena ibunda dan ayahandanya sibuk di dunia pekerjaan. Ia akan bosan berada di rumah, tidak ada kegiatan, karena pekerjaan rumah pun akan dilakukan oleh pembantu-pembantunya.

"Ikut yuk, sekalian main juga sama Sella!" ajak Ananda dengan antusias.

"Sella? Oh, anaknya Pak Budi, ya?" Ananda membalas perkataan Elma dengan anggukan semangat. "Emm ... boleh aja sih, udah lama juga gak ketemu. Dia orangnya lucu, gemesin. Eh ... aku gak akan ganggu family time kalian gitu?"

"Ah, enggak kok ... santai aja kali. Lagian, ini bukan family time resmi."

"Oh ya udah. Makasih Nan."

"Siap." Ananda kemudian menoleh ke arah bangku Bara. "Fadil sama Bara ke mana, ya? Kok lama banget, dari tadi belum balik-balik. Apa si Fadil pingsan?"

"Gimana kalau kita cek aja ke UKS?"

Ananda mengangguk tanpa pikir panjang, bahkan ia langsung memegang tangan Elma dan menariknya agar bisa segera ke sana. Entah mengapa, perasaan Ananda sedari tadi terasa tidak enak. Ia terlihat buru-buru begitu bukan karena khawatir pada Fadil, ia khawatir pada Bara. Sekolah ini, bukan tempat yang cukup aman untuk Bara saat ini.

Baru beberapa langkah mereka berdua beranjak dari pintu kelas, mereka melihat raga Fadil muncul sambil berlari dan terlihat bahagia. Ya, meski pintar, Fadil termasuk golongan orang yang bahagia setelah mendapat pengumuman tadi.

"Loh, Bara mana?" tanya Ananda yang tak menemukan batang hidung Bara di belakang Fadil. "Fadil!" seru Ananda agar langkah Fadil tak langsung masuk ke dalam kelas.

"Apa, Nan?"

"Bara mana?"

"Loh? Gue kira Bara masih di kelas dari tadi. Emang dia keluar kelas?"

"Hah?" Elma tak dapat menutupi rasa herannya setelah mendengar penuturan Fadil. "Bara tadi ke UKS, mau ambilin obat buat kamu, Fadil."

Fadil melongo. "Ba-Bara?" Raut wajah kaget dan khawatir langsung tampak jelas. "Beneran loh, gue gak liat dia dari tadi. Malah, abis dari toilet gue langsung pergi ke UKS karena gue kira Bara enggak bantuin gue."

Ananda dan Elma lantas membulatkan mata, lalu mereka bertukar pandangan satu sama lain.

...

SMA Bina Pelajar tampak sepi dari aktivitas siswa-siswinya yang biasa mewarnai bangunan nyaman tersebut, dikarenakan banyak di antara mereka yang keluar dari sekolah setelah pengumuman tadi menggema ke seluruh sudut ruangan. Di antara mereka ada yang langsung pulang ke rumah, dan ada juga yang bermain bersama kawan-kawannya. Namun, berbeda jelas dengan yang Ananda, Elma, Aldo dan Fadil lakukan, mereka masih berada di sekolah. Mereka masih mencari-cari keberadaan Bara ke seluruh sudut daerah sekolah—mereka berpencar satu sama lain.

Mengenai Aldo, ia memang tidak mendiami kelas yang diinjak Bara dan yang lainnya, tetapi karena perasaannya masih ada untuk Ananda, ia tak tanggung-tanggung membantunya ketika tak sengaja menemukan wajah pujaan hatinya tengah semrawut.

Setelah satu jam mencari, mereka pun kembali berkumpul di taman sekolah. Satu sama lain saling melaporkan, kalau mereka tidak menemukan batang hidung Bara sama sekali.

"Tapi, gue nemu ini di deket area belakang sekolah," ucap Aldo setelah mengeluarkan benda itu dari saku celananya.

"Obat diare?" Ananda, Elma, dan Fadil mengatakan hal tersebut dengan kompak.

"Berarti, ada kemungkinan Bara diculik lewat jalan itu," opini Fadil sembari memegang dagunya, diiringi dengan dahi berkerut tanda ia sedang berpikir kritis.

"Loh, itu kan tembok tinggi. Gak ada pagar di sana, gak mungkin jalannya ke sana," bantah Ananda, merasa hal itu kurang logis.

Elma memegang pundak Ananda dan menatap matanya cukup intens. "Menurut aku, opini Fadil bisa dipertimbangkan. Bisa aja, mereka pake bodyguard kekar, atau bawa alat lain yang bisa mempermudah gerak mereka."

"Okay, gini aja, gue cari ke luar sekolah, siapa tau ada petunjuk lain. Kalian cewek-cewek di sini aja, takutnya bahaya kalau kalian ikut. Dan, lo, Aldo. Jagain mereka, takutnya di sini juga gak aman," saran Fadil.

Setelah mendengar perkataan itu, Ananda mendadak tak berkedip sekian detik ketika memandang Fadil. Fadil bak superhero yang begitu peduli kepada saudaranya. Perangai yang Fadil tunjukkan menimbulkan kesan gentle, cool, and care. "Makasih, Dil," kata Ananda dengan penuh harap.

Aldo seketika melirik ke arah Ananda, ia merasa ada yang lain dari ekspresi dan intonasi yang berasal dari diri Ananda, walaupun mungkin orang lain berkata hal itu biasa saja. Namun, bagi Aldo, hal yang baru saja tampak di depan matanya itu, seakan menusuk dan meretakkan perasaan yang sudah ia peluk erat dari lama.

"Iya, sama-sama."

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang