30

158 13 2
                                    

Tampak dua pasang sepatu pantofel khas orang kantoran yang tengah dipakai oleh kedua pria yang tersohor sebagai pria tampan dan mapan di kalangan staf dan juga dunia luar, mereka tengah melangkah menuju pintu lift agar bisa ke lantai bawah. Mereka berdua lantas masuk. Rio, sebagai asisten Arsel, lekas memencet bel untuk bisa sampai ke lobi.

"Itu semua harus segera hentikan, Rio. Itu hal yang sangat berbahaya sekali. Walaupun, nantinya akan ada yang hilang dari genggaman dan mata kita."

"Baik, Pak. Semua sudah saya hubungi sebagai tindakan protect. Insyaallah akan baik-baik saja, Pak."

"Malam kemarin kamu sudah siapkan berkas perusahaan itu, kan?"

"Sudah, Pak. Bapak mau melihat rinciannya?" Rio merogoh saku. Namun, Rio urungkan tatkala pintu lift terbuka di lantai dua gedung. Di lantai yang dikhususkan sebagai area gym bagi Arsel.

Sontak mata keduanya membulat ketika melihat pria-pria berbadan kekar di depan pintu lift, dan dua pria bak Samson itu mulai mendekat ke arah mereka.

"Mereka pegawai kita, Rio?" tanya Arsel sembari melirik Rio.

Rio menggeleng bersamaan dengan ketegangan yang nampak di raut wajahnya. "Saya tidak mengenalinya, Pak."

"Gawat!" Ekspresi Arsel pun berubah kesal.

...

"Bunda!" Ananda langsung berlari tatkala raga Hana sampai di depan sekolah. Ia mendekapnya begitu erat. Kemudian, air matanya meluruh membasahi pipinya. Perasaan yang sejak tadi ia tahan, tak bisa lagi terpendam ketika perempuan itu tiba di sana. Ketegarannya seakan runtuh.

Aldo merasa iba ketika melihat Ananda seperti itu. Seolah-olah, ia ingin mengatakan, "Aku lebih suka melihat Ananda bersikap ketus, karena melihatnya menangis membuat batinku teriris." Jelas, kata-kata itu hanya terpatri di dalam sanubarinya saja. Ia tak mau terlalu banyak menebar kata-kata di kala waktu belum mengizinkannya. Pun, saat ini Ananda lebih membutuhkan tangisannya untuk melegakan rasa sesak yang mungkin saja sudah merasuk ke dadanya sejak lama.

Hana mengusap-ngusap punggung Ananda.

"Ananda salah, biarin Bara keluar sendirian."

"Enggak begitu, Sayang. Tenang ya, kita akan segera menemukan Bara."

Di saat seperti itu, tiba-tiba Elma berlari. Derap langkahnya yang terdengar nyaring, karena suasana sepi yang membersamai, membuat Hana, Ananda, dan Aldo menoleh ke arah mana Elma akan tertuju. Hingga, beberapa detik kemudian, Elma berdiri tepat di depan raga seorang pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah, Dion.

"Katakan, di mana Bara?"

Dion yang sedari tadi berjalan dengan santai sembari mendengarkan musik melalui earphone tanpa kabel, spontan saja melongo. Tiba-tiba saja, sepupunya yang semenjak hari itu membuat jarak di antara mereka berdua muncul begitu saja di hadapannya. Tentu saja, ekspresi yang Dion tampakkan menunjukkan kalau ia tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Bara. Bahkan, ia sendiri merasa kaget dituduh seperti itu.

"Kok lo nanya gue? Gue kan gak pernah nongkrong bareng dia."

"Alah, lo gak usah basa-basi, gak usah pura-pura gak tau."

Kening Dion berkerut. "Lo kenapa sih El? Sakit?"

Elma berdesis, kemudian menghela napasnya panjang.

Aldo, Ananda, dan Hana yang sejak tadi menyaksikan hal tersebut pun menghampiri keberadaan Elma dan Dion.

"Katakan Dion Bagaskara, di mana putra saya, Bara?"

Dion geleng-geleng dan menghela napas. "Kalian kenapa sih? Kenapa menuduh saya?"

"Hari itu, Bara dan Ananda kecelakaan motor karena perbuatanmu. Dan sekarang, Bara hilang. Saya yakin, kamu juga ikut andil di dalamnya," tegas Hana.

Aldo yang baru saja mengetahui hal tersebut, matanya lantas terbelalak. Ia tak mengira, Dion bisa sekejam itu kepada orang lain. Sungguh, tak berperikemanusiaan!

"A-a-a so-soal kecelakaan itu." Dion gelagapan setelah mendengar ucapan Hana. Ia tak menduga, rencana buruknya kala itu dapat diketahui oleh orang lain—selain Evan dan Lintang. Benar kata pepatah ternyata, jika menyembunyikan bangkai, baunya pasti akan tercium juga.

"Kamu tidak bisa mengelak lagi, saya sudah dapat bukti-buktinya."

"Aa Aldo teh seneng ya, sebulan ini kamu tanya-tanya soal agama. Tapi, hari ini Aa Aldo nemu hal yang gak saya seneng dari kamu, Dion, kamu udah berbuat setega itu. Istigfar kamu teh!" komentar Aldo yang membuat yang lainnya secara refleks menoleh ke arah Aldo dan Dion secara bergantian.

Siratan mata ketiga perempuan itu penuh tanya. Dion bertanya seputar agama?

"I-iya, maaf. Saya melakukan itu karena menuruti hawa nafsu. Kalau Ibu mau minta ganti rugi, saya akan ganti rugi sekarang juga."

"Dion? Kamu bertanya seputar agama sama Aldo? Kamu ... hijrah?" tanya Elma berusaha memastikan kalau kupingnya masih sehat walafiat dan tidak salah mendengar.

Dion menggaruk tengkuknya yang jelas tidak gatal. Ia menyengir malu. "Sejujurnya, semenjak Bara pulang dari rumah sakit, dan saya dihukum berdiri di lapangan, rasa sesal mulai mendatangi hati saya. Karena sebelumnya, Bara bilang, kalau dia sangat mengharapkan cinta ibunya. Tadinya, saya kira, Bara sangat mencintai Elma agar bisa mengambil kekayaannya." Dion melihat ke arah langit sambil berusaha menjaga air matanya tetap terbendung.

"Angin keinginan rasa hijrah itu ada setelah saya secara tak sengaja melihat Ibu ini bersama Bara di ruang BK. Dari situ, saya rasa, cinta yang diinginkan Bara telah ia dapatkan. Sebuah rasa yang paling tulus, yang berasal dari lubuk hati terdalam seorang anak. Bara beruntung, ibunya bisa perhatian, tidak seperti orang tua saya yang lebih mementingkan pekerjaan dan uang, serta hanya memberikan materi tanpa nafkah batin kepada saya."

Dion melihat ke arah Ananda. "Maaf kalau kesannya saya seperti penguping, di saat Ananda, Elma, dan Fadil berada di kafe, saya ada di sana, sedang me-time. Ya, di sana saya mendengar kisah hidup Bara. Luar biasa sekali. Alhamdulillah, keinginan hijrah saya jadi semakin kokoh."

"Masyaallah ... Alhamdulillah, Dion." Elma tersenyum dengan rasa harunya. Baginya, tidak ada yang lebih membahagiakan ketika ada keluarganya yang memutuskan hijrah ke arah yang lebih baik. "Orang tua kamu gak tau, kah?"

"Enggak sama sekali, El. Kita kan sama-sama tau, keluarga kita itu bagaimana jika sudah menyangkut hijrah."

Elma mengangguk, membenarkan.

"Saya senang kamu hijrah, Dion. Alhamdulillah. Kamu juga sudah menyesali perbuatan kamu, saya maafkan. Tapi, kamu harus jujur Dion, sebenarnya Bara ke mana?"

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang