7

230 20 0
                                    

Langkah dipercepat empunya, karena di belakangnya ada pria yang selalu saja menggodanya setelah ia memutuskan untuk hijrah. Hampir setiap hari, tidak ada bosan-bosannya ia berusaha mendekati, bahkan sampai berani-beraninya menyentuh kulitnya. Pria itu seakan tak mengerti, dan tak mau mengerti kalau mereka itu bukanlah mahram. Pria itu selalu saja berdalih kalau mereka adalah sepupu, sepupu itu bagian dari keluarga, dan karena itulah pria itu selalu berusaha menggodanya agar pikiran salah si gadis itu enyah.

Padahal, yang salah itu justru prianya. Masyarakat awam pasti menyangka, bahwa sepupu itu masihlah bagian daripada mahram. Namun, itu salah besar. Sepupu laki-laki bukanlah mahram dari setiap sepupu perempuannya. Tapi ... kebanyakan orang seakan menolak ketika diberitahu hal ini.

"Elma, lo itu gak usah sok suci deh," ucap Dion sembari mengikuti Elma dari belakang, ikut mempercepat langkahnya pula.

"Yon, kamu harus paham dong. Kamu tuh kenapa sih selalu aja gangguin aku," protes Elma. Di pelupuk matanya terdapat sebuah bendungan yang bisa mengalirkan bulir bening kapan saja. Selama ini, ia bisa menahannya dengan menghela napas, tapi sekarang perasaannya jadi sesensitif itu.

"Elma ...." Langkah Dion jelas lebih lebar dan lebih cepat daripada Elma, sehingga Elma pun dapat disusul olehnya. Parahnya lagi, Dion memeluk Elma dari belakang, seolah tak ada malu. Orang-orang yang berada di sana langsung melihat ke arah mereka dengan tatapan membulat.

"Dion!" sentak Elma sembari melepas kasar lengan Dion yang memeluknya. Elma menatap Dion dengan mata yang tajam dan air mata yang sudah tidak lagi terbendung. "Lo tuh kenapa sih, hah?!"

Dion tak mengatakan sepatah kata pun ketika melihat reaksi Elma kali ini dibumbui bara amarah yang menyala-nyala.

"Elma bilang, sepupu itu bukan mahram, bukan mahram, Yon! Tapi, kenapa Anda," Elma menunjukkan jari telunjuknya ke hadapan wajah Dion, "selalu berulah lagi, lagi, dan lagi! Kenapa, hah? Kenapa?" Elma menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia merasa sangat berdosa dengan apa yang baru saja Dion lakukan kepadanya. Ia merasa harga dirinya seakan diinjak-injak.

"E-Elma, lo jangan nangis kayak gini." Dion mencoba menenangkan Elma dari sedihnya. "Okay, okay, gue salah ... gue yang salah. Gue gak akan ganggu lo lagi."

Elma tidak membalas ucapan Dion, ia masih terus terisak di sana.

"Asal lo tau ... gue kayak gini tuh karena gue kangen sama lo. Lo ngejauh dari guesetelah lo pake hijab itu, lo gak seasik dulu lagi, Ma. Gue ini pengen deketlagi sama lo sebenernya," papar Dion, menjelaskan isi hatinya yangsesungguhnya.

Alasan ia mengganggu Elma, karena ia rindu. Fadil dan Elma menjauh darinya, sungguh itu bukan hal yang menyenangkan di hatinya. Mereka berdua sudah membersamai langkahnya sejak kecil. Ia merasa wajar, kalau ia bertingkah onar untuk mencari perhatian mereka. "Tapi, kalo lo maunya gitu, yaudah gue gak akan ganggu lo lagi."

Dion menahan rasa sedihnya yang menumpuk di sanubari. Meski ia punya setumpuk harta, punya Evan dan Lintang, tapi semua itu tidak akan bisa menyamai indahnya pertemanan bersama Fadil dan Elma.

"Astagfirullah, Elmaa!" ucap Ananda lantang ketika ia lewat bersama dengan Bara dan Fadil didekat kejadian tersebut berlangsung. Ananda lekas berlari menghampiri Elma dan mengusap-ngusap punggungnya. "Elma lo digangguin si Dion lagi?" Mata Ananda langsung menyorot tajam ke arah Dion.

Bara dan Fadil menyusul langkah Ananda, mereka berdiri menghadap ke arah Dion.

"Lo gangguin Elma lagi? Mau lo tuh apa sih, Yon? Gak kapok bikin onar mulu, masuk BK udah berkali-kali tapi gak ada yang bisa lo pahami," ungkap Bara yang seketika merasa kesal, memergoki Dion membuat masalah, sampai-sampai gadis itu menangis terisak di dekatnya.

Dion melirik Bara dengan tatapan yang penuh dengan amarah. Kekesalannya pada pria bernama Bara itu, kini sudah sangat memuncak. Kali ini, ia tidak akan menahan apa-apa lagi di depan pria bernama 'Bara' itu.

Bugh!

Sekonyong-konyong, Dion memberikan satu pukulan kencang yang mendarat di pipi Bara, meninggalkan luka lebam yang membuat empunya meringis kesakitan. "Ssh ...." Ia memegangi pipinya dan terus meringis.

"Woi, lo santai dong, kok malah mukul si Bara?!" kesal Fadil sambil menarik kerah seragam Dion. Matanya beradu dengan Dion, mempertemukan rasa kesal di mata mereka masing-masing.

Sedangkan, Ananda dan Elma sama-sama menutup mulutnya yang menganga karena terkejut, setelah mendengar suara pukulan dari Dion yang bertingkah seenaknya itu.

Dion melepaskan cengkraman Fadil di kerah seragamnya. Ia mendorong tubuh Fadil—tapi tak sampai membuatnya jatuh—agar jarak antara dirinya dengan kubu lawan tidak terlalu dekat. Ia merapikan kerahnya yang ia rasa kusut. Setelah itu, ia menatap keempat orang didepannya secara bergantian. Kemudian, ia menunjukkan senyum miris. "Apa selalu gue yang salah di sini?"

"Lo kok gak ngaca sih Y—"

"Sst ...," Dion memotong ucapan Fadil dengan menunjukkan telapak tangannya ke hadapan Fadil. Lalu, tangannya beralih menunjuk Bara yang masih memegangi pipinya yang lebam. "Lo, Bara. Semua ini terjadi gara-gara lo. Semuanya. Fadil dan Elma itu temen gue sejak kecil, terus ... lo berhasil ngerebut mereka berdua dari gue. Fadil ngejauh dari gue setelah dia temenan ama lo. Elma hijrah-hijrahan gini juga gara-gara lo, gue tau, karena waktu itu gue pernah baca buku diary-nya."

Bara tidak menyangka, hasil baik yang dipetik orang lain, justru menimbulkan asap yang tidak sedap di pandangan orang yang tidak bisa memahami. Ibarat lalat, sulit meyakinkan binatang itu kalau buah segar lebih sedap daripada yang busuk. Ia benar-benar tak habis pikir dengan Dion.

"Lo itu bawa sial di hidup gue!" tambah Dion penuh penekanan. Ia langsung pergi setelah mengucapkan kata-kata itu, dengan amarahnya yang belum mereda.

*** 

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang