12

168 12 0
                                    

Daun-daun berselimutkan tetesan-tetesan embun jernih yang menyejukkan mata apabila memandangnya. Keadaan masih jauh dari polusi, apalagi ketika berada di taman sekolah, oksigen segar memasuki setiap rongga-rongga organ pernapasan. Tak lupa, pagi ini pun berhiaskan cicitan-cicitan burung yang terbang di angkasa untuk pergi mengais rezekinya. Tak ada raut khawatir yang bertengger di wajah burung-burung itu, dengan tenang mereka terbang di cakrawala. Mereka tak pernah takut kehabisan rezeki, mereka selalu tahu, Yang Maha Kuasa akan selalu menyediakan rezekinya.

Mata yang mengamat burung-burung yang mengepakkan sayap-sayapnya di udara, kini beralih menatap bunga yang kembang di taman sekolah. Cukup menenangkan berada di sini, meski kecamuk di dalam hatinya belum kunjung reda. Syukur, ia masih merasakan apa itu tenang dan sabar, sehingga ketika ia berada dalam masalah yang menerpa sekencang badai, ia masih bisa berdamai dengan dirinya sendiri, tidak uring-uringan, apalagi sampai ingin bunuh diri. Seolah-olah, memiliki kesabaran dan keyakinan kepada Yang Maha Kuasa, seperti ia berjalan dalam derasnya hujan dengan payung sebagai pelindung dari hujaman air-airnya.

Napasnya terhela panjang. Matanya sejenak terpejam, kemudian terbuka kembali.

Semenjak Fadil mengatakan kepadanya, kalau Hana dan ayah tirinya datang ke rumah sakit untuk menjenguk, muncul sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Terlebih lagi, ketika ia tahu kalau biaya rawat inapnya dan Ananda dibiayai oleh suami Hana—Budi—Bara jadi semakin terheran-heran.

Perermpuan dengan rasa arogan yang tinggi, tak mau ia perhatikan, tak mau ia dekati, dan selalu bersikap kasar kepadanya selama ini, datang dan menjenguknya? Apa kabar tersebut tidak salah adanya? Karena Bara kira, Hana mungkin senang jika ia tertimpa suatu kepahitan, contohnya kecelakaan itu. Namun, yang ia duga sebelumnya, justru bertolak belakang. Hana menjenguknya? Ah. Dua kata yang menjadi pertanyaannya itu, berulang kali terngiang-ngiang di kepalanya. Padahal, sudah tiga hari lalu kabar itu ia dapat.

"Ra, gue udah nganterin baksonya ibu, ayo kita ke kelas," ucap Ananda menyadarkan Bara dari pikirannya yang tengah kacau.

Bara menoleh ke arah Ananda, di lihatnya ada Elma yang akhir-akhir ini sudah berkawan baik dengan Ananda. Bahkan, dengan senang hati dan tidak merasa malu, Elma rela mengantar Ananda ke kantin untuk menaruh bakso-bakso jualan ibunya di sana. Elma memang berteman tidak memandang bulu.

"Oh ayo," balas Bara sambil memegang tongkat yang sebelumnya ia sandarkan di samping kursi yang ia duduki. Kaki Bara masih sakit, makanya ia harus memakai tongkat untuk membantunya berjalan.

Mereka berjalan menyusuri koridor sembari berbincang hangat di sana. Namun, kehangatan di antara saudara-saudari itu kadang berubah panas, menjadi pertengkaran. Oleh karena Fadil yang biasanya melerai belum datang ke sekolah, Elmalah yang harus melerai kegaduhan di antara mereka. Dan jujur, Elma senang bisa berteman dengan mereka, terlepas dari perasaannya kepada Bara.

"Hem, pincang ya," sindir seseorang yang spontan saja membuat Bara, Ananda, dan Elma menoleh ke sumber suara.

Rupanya sindiran itu dilayangkan oleh saudara Dion yang sedang terkena penyakit SMS. Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah. Sebuah jangkitan yang membuat orang yang mengidapnya gembira di kala orang yang selalu ia iri, mendapatkan kemalangan.

Ia berdiri bersama dengan kedua rekan yang selalu memercikkan bara api di hatinya yang sedang bergejolak, dan selalu menuangkan aroma tak sedap, padanya yang bermula tak sebau itu.

Saat melihat kehadiran mereka bertiga, Bara menghela napas berat. Ketika kakinya terluka, tangannya ikut berempati, rela membawa-bawa penyangga berupa tongkat, agar langkah tak terus jatuh berulang kali. Pun di samping itu, hati pun ikut merasakan tidak enaknya harus kehilangan nikmat berjalan normal. Ia harus mengerahkan rasa sabar dan ikhlas yang besar agar tidak berkeluh kesah terus. Namun, sekarang ini ada ujian baru lagi, Dion meledekinya 'pincang', ia harus bisa ekstra sabar menghadapinya.

Ananda memegang bahu Bara, sebagai isyarat agar saudaranya itu tetap tenang menerima ejekan yang Dion berikan.

"Dion, ini masih pagi, kamu jangan ngajak ribut," pinta Elma dengan suara yang lembut. Ia harap, kelembutan bisa meluluhkan hatinya yang sekuat baja itu.

"Gak usah ikut campur lo ya," sergah Dion yang refleks saja membuat Elma terkejut mendengarnya. "Lo gak usah kaget gitu, El. Kita kan emang bukan mahram, ya? Di mata gue sekarang, lo cuma sebatas temen gue, gak ada hak buat gue jagain lo, karena lo sepupu, bukan saudari kandung gue." Dion menekankan kata sepupu, membuat sanubari Elma merasa ditusuki jarum.

Dion belum selesai dengan kata-katanya, ia menampakkan jari telunjuknya, dan ia menunjuk ke arah Elma. "Dan satu lagi, karena kita bukan mahram, lo bakal jadi istri gue."

Deg!

"Hah?" Elma mencoba menelan salivanya yang seakan berubah menjadi batu kerikil, sehingga terasa sulit ia telan ke kerongkongan. Dion bukannya sadar, ia justru semakin menjadi-jadi, apalagi kedua temannya membenarkan (tidak menegur) ucapan-ucapan yang Dion layangkan. Kata-kata yang Elma miliki seolah menghilang entah ke mana, bibirnya jadi terasa kaku.

Bara melihat wajah Elma berubah pucat seketika, perempuan itu pasti sangat kaget mendapat pernyataan seperti itu dari putra pamannya. Terlebih lagi, Bara tahu, tipe pria dan orang yang disukai Elma bukanlah Dion, tetapi dirinya. Sebagai orang yang bisa berempati, Bara tahu, Elma pasti sedang merasa seperti sedang meneguk air di telaga yang beracun. "Yon, lo sebaiknya gak usah kayak gitu, perempuan itu hatinya lembut. Gue gak yakin orang kayak lo bisa jaga perasaan wanita."

"Wah, Bos, dia nantangin tuh," bisik Evan di telinga kanan Dion.

"Jangan-jangan ... si Bara suka lagi sama Elma," tambah Lintang yang membisik di telinga kirinya.

Tatapan Dion menghunus tajam ke arah Bara. Perlahan tapi pasti, langkahnya mendekat ke raga Bara. Satu tangannya bergerak memegangi bahu Bara yang kokoh. "Jangan bilang, lo suka sama Elma."

"Hey! Hentikan kalian semua!"

Sebuah leraian yang menyelamatkan pertengkaran panjang di antara mereka terdengar. Namun, siapa yang melerai itu? Ah. Setelah mata melihat ke sumber suara, rupanya peleraian dilontarkan oleh ketua BK sekolah Bina Pelajar. Ini berarti ... peleraian yang berujung introgasi!

*** 

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang