9

237 16 1
                                    

"Okay, terima kasih ya Nan, udah mau temenan sama aku," kata Elma sembari berjabat tangan dengan Ananda.

"Gue juga makasih banget. Gue gak nyangka lho, kita bisa satu server, seneng udah bisa nemuin temen kayak lo," balas Ananda. Suasana hatinya berubah hangat setelah mengobrol panjang lebar bersama Elma, dari sejak bel masuk—setelah istirahat—berbunyi sampai waktu zuhur tiba—jamkos sejak tadi.

Sekarang, mereka berdua sedang berada di kantin dan lanjut mengobrol. Begitulah orang, kalau sudah bertemu yang pas, pasti suka keterusan. Berbagai obrolan pasti dibahasnya. Apalagi, ketika mereka membahas hal-hal yang berhubungan dengan hijrah mereka, selain mengakrabkan, membuat suasana terasa tenteram.

"Tanda-tanda Ananda ngerestuin saudaranya sama cewek itu bersatu," bisik Fadil yang duduk di meja berbeda dengan kedua perempuan itu.

Bara berdesis. "Diem lo."

"Sensi mulu, kayak cewek PMS," ledek Fadil sembari mengaduk-ngaduk bakso yang ada di hadapannya.

Bara hanya diam, tak menggubris apa yang Fadil katakan.

Pikirannya masih tertuju pada kenangan-kenangan pahitnya bersama Hana. Pun masih teringat dengan kejadian di mana Bagaskara, menampakkan perangai kejam kepada Hana. Bara masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi di antara mereka. Ia pun enggan dan tidak sudi mencaritahunya langsung kepada Dion maupun Bagaskara. Ayah dan anak itu memiliki karakter yang mirip-mirip, congkak, licik, dan egois. Malas melayani orang-orang seperti itu.

Sedangkan, bertanya pada Hana sudah jelas tidak membuahkan hasil. Wanita itu tak mau urusannya dicampuri oleh Bara. Anaknya sendiri.

Lalu, Yona? Bara rasa ... ibu perinya tidak akan tahu perkara ini. Akan percuma jika Bara bertanya perihal itu kepadanya.

Aku harus mencaritahu ke mana?

...

Rooftop didominasi oleh kehadiran remaja-remaja pria, mereka ada yang bermain gitar dan ada pula yang bernyanyi. Kemudian, ada pula anak-anak yang menambahi suasana mereka dengan kepulan asap rokok. Mereka seolah tak masalah dengan polusi udara yang berakar dari benda berisi zat-zat berbahaya itu, baunya yang merebak seakan parfume dihidung mereka.

Sebut saja, tempat tersebut adalah bascam bagi anak-anak yang gemar membuat onar. Bahkan, tak jarang ada perempuan-perempuan yang ikut bergabung di sana, hanya karena ingin melegakan perasaannya yang stress—disebabkan patah hati atau broken home—dengan melampiaskannya melalui rokok.

Dion tentunya berada di tengah-tengah mereka. Ia berdiri di tepi rooftop sambil menatap pemandangan di hadapannya. Bukan untuk merilekskan perasannya, tapi ia ingin merasakan emosinya dan membiarkan api membakar seluruh isi hatinya. Ia tidak bisa melupakan kejadian tadi sedikit pun, dan mungkin ia tidak akan melupakannya sama sekali.

Bara.

Ya, orang itu yang sangat Dion benci. Dia tidak pernah membenci orang sampai seperti ini. Semua karena Bara telah menjadi pengusik dalam kisah hidupnya, merebut Fadil dan Elma dari usianya yang memasuki tahap dewasa.

"Lo mau berbuat apa sama dia, Bro?" tanya Lintang yang tengah merokok di sampingnya.

"Jangan dibiarin gitu aja, ntar ngelunjak gimana? Bisa aja lho, gue sama Lintang juga diembat, kita gak ada yang tahu," timpal Evan yang membuat api yang ada di dalam hati Dion semakin berkobar kencang.

Evan dan Lintang, benar-benar sahabat Dion yang selalu mengiyakan perbuatannya. Salah atau benar, yang penting mereka bahagia. Bahkan, kadangkala mereka berdualah yang mengajak Dion untuk melakukan hal-hal yang kurang merenah di mata masyarakat, seperti merokok, kebut-kebutan di jalan, bolos pelajaran, atau kabur dari sekolah.

Lalu, kali ini, Dion bolos jam pelajaran sejak pagi, itu semua karena ajakan mereka berdua. Termasuk amarah yang tidak diniatkan untuk diredam oleh Dion saat ini, semua karena kedua sahabatnya yang tak berhenti memanas-manasinya. Mereka semakin memercikan minyak pada nyala api yang semakin ke sini semakin membara. Mereka memberikan kesan-kesan buruk tentang seorang Bara, agar Dion bisa semakin emosi dan melakukan hal yang memuaskan nafsunya.

Begitulah dalam berkawan, bergaul dengan tukang pandai besi, pasti akan terkena percikannya, sekalipun individunya tidak menginginkan percikan itu sampai padanya.

"Bener, apa yang kalian bilang. Dia gak pantes dapetin apa yang sebelumnya gue punya. Dia cuma anak tukang bakso! Berani-beraninya mau berteman dengan anak orang kaya. Dasar penjilat!" Dion pun membuka suaranya, menyuarakan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya.

"Nah, gitu Bro. Orang kayak si Bara tuh gak pantes didiemin," opini Evan sambil merangkul bahu Dion.

"Sikat aja ya Bro," tambah Lintang.

"Yoi," balas Evan.

...

Seperti biasa, sesudah salat asar pastinya Bara dan anak laki-laki lainnya mengobrol-ngobrol terlebih dahulu di masjid. Membicarakan hal-hal yang bermanfaat. Setelah itu, barulah ia bisa pulang bersama dengan Ananda.

"Hati-hati ya bawa calon jodohku," pesan Aldo ketika Bara dan Ananda sudah sama-sama duduk di atas jok motor.

Ananda memutar bola matanya malas. "Cepet jalan."

Bara terkekeh kecil sebelum ia pamit pada Aldo dan melajukan motornya meninggalkan area sekolah. Suasana yang kelak akan menjadi kenangan di memori kepalanya. Aldo dan Ananda adalah kisah yang lumayan menghibur Bara di tengah hiruk-pikuknya perasaan, seakan menonton drama.

Judes mulu lo sama Aldo, ti-ati lho jadi jodoh," goda Bara yang diakhiri dengan tawanya yang renyah.

"Ihh!" Ananda memukul punggung Bara dengan sangat kencang.

"Aw ... Nan, kalem kali!"

"Lagian lo ada-ada aja."

Bara menghela napasnya panjang. "Ananda yang baik hati, dan salehah. Maksud gue tuh sebenernya, lo kalau gak suka sama orang jangan nunjukin gitu lho. Orang lain juga punya hati, jaga adab sesama muslimnya dong."

"Iya deh, diusahain diubah."

"Nah gitu dong, jangan lupa bismillah."

"Iya, bismillah."

Tanpa mereka sadari, ada mobil yang melaju dengan sangat kencang di belakang motor mereka. Semakin lama, kendaraan roda empat itu semakin dekat dengan kendaraan roda dua yang ditumpangi saudara dan saudari sepersusuan itu. Hingga dalam hitungan detik, BRAK! Senyuman yang semula melekat hangat di kedua bibir mereka, mendadak pudar. Rasa shock yang secara spontan hadir, membuat mereka berteriak, "Allahu Akbar!"

Kedua raganya lantas jatuh, mencium aspal yang mengikis kulitnya. Sedangkan, bagian belakang motornya penyok.

Selain merasakan raganya yang terkikis aspal, kaki kiri Bara juga tertimpa kendaraan roda duanya. Sedangkan Ananda, dia sudah terkapar tak sadarkan diri di dekat Bara—tapi tidak tertimpa motor.

"Ananda ...," lirih Bara sebelum akhirnya tak sadarkan diri.

*** 

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang