18

160 13 0
                                    

Derap langkah bertempo cepat menapak di keramik koridor SMA Bina Pelajar. Masih pagi, tapi perasaannya sudah dicampur aduk dengan problema yang ia sendiri tidak mengerti. Ditambah lagi, Yona sampai terisak, sakit hati, setelah pembahasan di meja makan tadi. Ia jadi bertambah-tambah bingung. Tidak ada yang menjelaskan apa-apa kepadanya sama sekali. Ingin bertanya pada Yona, tetapi ia tidak tega melihat linangan air mata yang membasahi pipinya itu.

Hingga ia pun sampai di ambang pintu kelas tercintanya dengan tatapan yang sangat tajam ke arah pria yang tengah menelungkupkan wajahnya di tengah-tengah tangannya yang terlipat. Perempuan itu mendengkus. Tidak bisa dimungkiri, perasaan kesal hadir. Sebab, bagaimana pun, pria itu telah membuat wanita paling berhaga di hidupnya meneteskan air mata.

Ia mulai melangkah dengan amarah yang menyala di dadanya.

Set

Saat ia hampir sampai dengan tempat duduk yang tengah diduduki Bara, ada tangan pria yang menghadang jalannya. Lekas perempuan itu mendongak diiringi lipatan yang bertumpuk di dahinya yang cukup lebar itu. "Jangan ngalangin jalan gue, Dil!" Kalimatnya tegas penuh ancaman. Terlebih lagi, usut punya usut, matanya seakan memberikan seringai seram pada pria yang menghadang jalannya itu.

"Ananda, harap kamu baca apa yang tertulis di papan tulis," titah Fadil sembari menunjuk papan tulis yang terpampang di depannya.

"Apa?" tanya Ananda tak mengerti.

Fadil menghela napasnya panjang. "Liat aja."

Ananda langsung balik kanan untuk melihat papan tulis yang semula ia punggungi.

Jangan ada yang ganggu Bara untuk hari ini.

"What!?"

"Gue harap lo bisa ngertiin saudara lo itu ya. Kasih waktu buat Bara nenangin dirinya," nasihat Fadil sembari melipat tangannya di depan dada.

Ananda hanya terdiam di tempatnya. Semakin ia tak mengerti dengan nuansa yang tengah menyapa harinya pagi ini. Relung hatinya jelas kesal sekali melihatnya. Namun, untung saja ia masih bisa berpikir jernih, sehingga ada rem yang dapat menjeda rasa kesalnya untuk sementara waktu ini. Sisi kemanusiaannya juga berbicara dalam dirinya, bahwa dirinya harus bisa mengerti perasaan orang lain dulu untuk sementara waktu, dikhawatirkan bisa memperkeruh suasana jika ia paksakan keadaannya.

"Wait, lo tau masalah Bara itu apa?" tanya Ananda setelah menghadapkan tubuhnya kembali ke hadapan Fadil.

"Yes, of course. Tapi, gue gak bisa cerita sama lo tanpa seizin Bara."

Ananda mengembuskan napas kasar. "Ya udah, okay. Gue gak akan kepo dulu."

...

Tok tok tok

"Bara," panggil Ananda sembari mengetuk-ngetukkan jarinya di meja yang ditempati Bara.

Bara yang tengah menelungkupkan wajahnya, lantas mendongak dan melihat ke arah saudarinya dengan tatapan sinis. Seolah-olah matanya mengatakan, "Lo gak baca tulisan gue di papan tulis tadi pagi?"—sebelum jam pertama dimulai sudah dihapus tulisannya.

"Gue sebenernya males ganggu lo yang lagi bad mood ini. Tapi ... karena guru BK nyuruh gue manggil lo ke sana, gue terpaksa harus ganggu lo."

Bara mengernyit. Seakan bertanya, "Kenapa gue dipanggil BK? Gue gak bikin masalah."

"Bukan karena ada problem, lo tenang aja. Guru BK bilang, ada seseorang yang mau ketemu sama lo, sekarang."

"Siapa?" Akhirnya ada satu kata yang keluar dari mulut Bara.

"Gak tau, gak nyebutin namanya siapa."

Hanya berkutat dengan pikiran dan duduk di atas bangku saja tidak akan menjawab tanda tanya yang ada di hatinya. Sehingga, Bara pun memilih untuk menemui orang yang ingin bertemu dengannya itu. Sebab, tidak mungkin ia menolak permintaan guru BK dengan kata-kata yang tertera di papan tulis tadi pagi, bisa-bisa ia kena hukuman karena tidak sopan.

Ia pun melangkah dengan perasaan ragu ketika langkahnya telah sampai di depan ruang BK. Teringat ekspresi Yona tadi pagi, ia merasa bersalah juga kepada perempuan yang sudah menjadi peri baik hatinya itu. Apa yang akan menemuinya adalah Yona? Ah, rasanya ia berat untuk menatap matanya yang menunjukkan rasa penyesalan.

Bismillah, batin Bara meyakinkan agar tetap melangkah maju memasuki ruangan BK tersebut.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Bara terkejut, ia mendapatkan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Bahkan, tidak pernah ia sangka sebelum ini, kalau dialah yang ingin menemuinya. Ia kedatangan sosok wanita yang tidak pernah peduli kepadanya selama ini. Wanita itu? Mengunjunginya ke sekolahan?

Pasti, dia ke sini karena kejadian kemarin, gerutu Bara di dalam hatinya. Rasa kecewa seakan tak dapat lagi terbendung di dalam dadanya.

"Baranya sudah datang, Bu. Saya permisi dulu kalau begitu, Anda dapat berbicara dengan leluasa bersama Bara," ucap Airin—guru BK.

"Ah, iya. Baik, terima kasih Bu."

"Sama-sama." Airin pun berlalu meninggal ruangan BK, memberikan ruang untuk Hana dan Bara berbicara.

"Ada keperluan apa Mamah ke sini? Tumben sekali ya, gak biasanya," tutur Bara dengan nada bicaranya yang dingin dan terdengar seperti sindiran tajam bagi Hana.

"Sebaiknya kamu duduk dulu," saran Hana sambil menepuk-nepuk sofa kosong yang ada di dekatnya.

"Hmm," Bara tersenyum miris melihatnya, "aku bisa menebak, kedatangan Mamah ke sini ingin aku tutup mulut kan? Mamah tidak usah berbasa-basi."

Tanpa Bara sadari ada seorang pria yang tak sengaja mendengar apa yang diucapkan Bara, kala ia melewati ruang BK.

"Mamah? Itu nyokapnya Bara?" Ia menatap dengan seksama sosok perempuan yang ia duga merupakan ibu dari Bara. "Hah? Perempuan itu kan ... orang yang waktu itu ketemu sama bokap gue." Ia mengingat kejadian itu dengan jelas, dan ia tidak mungkin salah. Sebab, saat Bagaskara bertemu dengan perempuan itu, itu merupakan saat di mana Dion berbarengan dengan ayahnya setelah sekian lama tidak bertatap muka—di saat ayah Dion pulang dari luar negeri setelah dua bulan lamanya.

"Kenapa dunia rasanya sempit ya?" gumam Dion.

***

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang