6

284 21 1
                                    

Cahaya mentari pagi menembus jendela kamar, cahayanya berhenti memantul ketika benda yang ia sinari tidak memiliki sifat itu. Cahayanya menyinari ranjang king size, yang rapi, bersih, dan mewah. Empunya? Dia sudah bangun dari pukul 02.00 pagi.

Yap! Meskipun tergolong sebagai orang yang memiliki status perekonomian yang tinggi, dia tidak bermanja-manja seperti anak orang kaya pada umumnya. Bangun di jam itu bukan untuk begadang dan melakukan kegiatan tidak berfaedah, dia bangun untuk merasakan nikmatnya salat tahajud di keheningan. Sensasi salat sunah yang jauh dari ingar-bingar kota, karena kebanyakan orang sedang nikmat-nikmatnya terlelap di alam mimpi.

Di saat cahaya mentari menyinari ranjangnya, empunya sedang memakaikan peniti pada kain kerudung putihnya yang menjulur melebihi dadanya. Dia sangat cantik, apalagi ketika dia mengenakkan bros bunga di kain kerudung itu, kesan cantik, syar'i, dan anggunnya mampu memesona siapa saja.

Selesai berkemas, dia pun menuruni lift yang berada di rumah mewahnya itu agar bisa sampai di ruang makan.

"Selamat pagi Nona, silakan duduk," sambut pelayan di rumahnya dengan ramah.

Gadis itu tersenyum, lalu menatap semua orang yang ada di ruang tersebut. "Assalamu'alaikum semua, selamat pagi." Kemudian, ia pun duduk di kursinya.

"Wa'alaikumussalam," balas orang-orang. Kendatipun memang dibalas, tapi beberapa dari mereka ada yang menunjukkan mimik seakan tak suka mendengar kata salam.

"Elma, awas kerudung kamu itu kena selai," tegur Andriani—akrab disapa Ria—sembari memotong roti panggangnya dengan pisau kecil, dibarengi garpu sebagai penahan roti agar statis ketika dipotong, "Lagian, udah Mommy bilang, kalau mau pake kerudung yang stylis aja, gak usah panjang kayak gitu. Kayak mau pengajian aja."

Elma makan roti tersebut dengan tangannya, karena baginya makan dengan tangan, selain karena sunah, juga nikmat. Pun ketika beres makan, ia bisa menjilat sisa makanan yang ada di jari-jarinya, menjalankan sunah pula dan sebagai gerakan hidup sehat. Sebab, di sela-sela jarinya kan terdapat enzim Rnase yang mempermudah proses pencernaan.

Elma tersenyum mendengar kalimat-kalimat ibunya yang tidak pernah berubah, setiap hari selalu saja ada komentar untuk kerudung panjang yang ia kenakan. "Aku hati-hati kok makannya, lagian kerudung putih Elma ada empat. Gak masalah kalau kena kerudung," balasnya ramah.

Meski hidup dengan mendapatkan komentar dari keluarga setiap harinya, Elma tidak pernah membalas perkataan mereka dengan caci dan makian, atau nada tinggi sekali pun. Sebab, mereka adalah orang tuanya, lebih tua darinya. Ia mau menurut pada yang Allah perintahkan dalam Q.S Luqman ayat 15, walau orang tuanya menyuruhnya untuk berbuat dosa, bahkan menyekutukan Allah sekalipun, ia harus bisa menolaknya dengan perkataan yang baik, bukan menghardiknya.

Ria mengembuskan napas berat. "Hmmm ... kamu ya."

"Udahlah Mah, anak ini gak akan nurut kalau kita suruh lepas hijab, apalagi pake hijab stylist," komentar Arga Bagaskara.

MendengarDaddy-nya ikut berkomentar, Elma menghela napasnya berat. Ia sudahmenanggung semua ini selama satu tahun. Mereka selalu saja begitu kepadanya.

 Seusai menghabiskan sarapannya, menjilati jarinya, dan mencuci tangannya ke wadah berisi air yang terletak di meja makan—sengaja disediakan untuknya cuci tangan—Elma pun beranjak dari tempat duduknya. Lalu, ia menyalami tangan kedua orang tuanya dan berangkat bersama sopir pribadinya.

...

Bara tiba di tempat duduknya. Seperti biasa, usai mengantarkan bakso ke kantin dan duduk di sana, ia akan menjumpai secarik kertas cinta dari perempuan pemalu bernama Elma Andriani Bagaskara.

Akar adalah pangkal tumbuhnya pohon. Jika akarnya hilang, hilang pula kehidupan pohonnya. Jika akar lemah, ia tidak akan mampu bertahan lama. Jika akarnya kuat, badai sekencang apa pun takkan mampu menggoyahkannya.

Hakikat istiqamah juga seperti itu, kan?

Hilang istiqamah, hilang pula imannya. Lemah istiqamahnya, hijrahnya tidak akan bertahan lama. Tapi, kalau kuat istiqamahnya, mau dihujami kata-kata kasar sederas apa pun, akan tetap bertahan dalam hijrahnya.

Dan ... semua itu, tergantung pada niat hijrahnya. Karena Allah atau apa?

-Elmaab

Seakan mendapat pengingat hampir di setiap hari. Rasa cinta Elma bukan main-main. Surat cintanya selalu sarat dengan dakwah yang menyejukkan hati, bukan dengan gombalan-gombalan ataupun meminta dipacari.

Ya, memang tidak ada kata yang menunjukkan bahwa Elma menyukainya dari tulisan tersebut. Karena hanya surat pertamanyalah yang ditorehkan pernyataan itu.

Saat itu, Bara duduk di kelas 11 semester dua. Ia tidak sadar, kalau sejak pagi ada secarik kertas di kolong mejanya. Ketika ia hendak mengambil buku yang biasa ia simpan di sana, ada kertas yang jatuh. Ia membacanya ketika di toilet, agar privasinya terjaga.

Bismillah ...

Hai Bara, perkenalkan ... aku Elma Andriani Bagaskara, teman sekelasmu sejak kelas 11. Kamu kenal?

Saat itu, Bara teringat sosok gadis centil, manja, dan tidak mengenal kata jaim yang ia kenali bernama Elma. Tapi, tadi pagi, perangainya dan pakaiannya terkesan berbeda. Orang-orang cukup heboh melihat perubahannya yang drastis, tapi tidak dengan Bara yang cuek pada wanita, karena hatinya sangat mengharapkan ibunya saja.

Sebulan yang lalu, Eva, sahabat dekatku pindah dari sekolah dan melanjutkan pendidikannya di Australia. Dan ... ada hal yang bikin aku sakit hati.

Setelah aku sampai di bandara, aku tak sengaja mendengar percakapan Eva dengan orang tuanya. "Sekarang aku lega Mah, gak akan deket-deket lagi sama Elma. Aku gak perlu ngerasa stress dengan kemauan-kemauan dia yang manja itu."

Bagiku, itu sangat menancap di hati. Semua orang sering meledikiku manja, tapi mendengar Eva seperti itu, bahkan sampai stress dan akhirnya pindah, rasanya lain. Aku bener-bener rapuh saat itu juga.

Aku galau selama tiga hari. Sampai ... aku mendengar kamu sedang mengaji di kelas ketika sekolah sudah sepi di sore itu. Hatiku merasa tersentuh dengan suaramu, ayat-ayat-Nya perlahan memasuki hatiku, dan membuat dadaku sesak. Jujur saja, sudah lama aku tidak mengaji dan salat, aku seakan ditampar ketika mendengar lantunanmu.

Ditambah lagi ... ketika aku mendengar perbincanganmu dengan Fadil. Kamu bilang, "Gue bisa aja bunuh diri Dil, karena gue gak pernah dapet kasih sayang seorang ayah dan gak tau bagaimana raganya. Juga karena ibu gak pernah lembut sama gue, apalagi peduli. Lo tahu apa yang buat gue bertahan hidup? Itu keyakinan gue ke Allah, Dil. Gue percaya ... Allah gak akan ninggalin gue dalam melewati semua ini. Gue yakin ... dia gak akan memberikan peristiwa tanpa hikmah. Gue yakin itu."

Itu benar-benar suatu ucapan yang very fantastic! Dan di sanalah Allah membawaku buat memantapkan hati mengobrol dengan kenalanku yang merupakan aktivis dakwah. Selama itu aku sering tanya-tanya dan belajar sama dia, sampai akhirnya aku mantep pakai hijab.

Jazakallah khairan katsiran ya, Bara.

Bukan itu saja sih ... emm, aku juga mau bilang ... Ana Uhibbuka Fillah. Hehe maaf, jangan jadi ilfeel ya setelah mendapat pernyataan ini. Ini tentang aku, hijrahku, dan perasaanku (for you).

"Sekarang ... aku yang banyak belajar dari dia. Terima kasih Elma, dan maaf aku belum bisa merasakan perasaan yang sama," gumam Bara.

*** 

Bara✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang