Perjalanan🍂

1.4K 101 0
                                    

Sialan!! Dari semalam Dian tidak bisa tidur sama sekali, hingga sekarang dirinya bangun kesiangan. Dengan cepat Dian beranjak dari kenyamanan kasur, tentunya melihat Aldi yang tertidur di atas karpet berbulu. Keberadaannya tidak ada di sana. Anak itu sangatlah menjengkelkan sekali, bila dirinya bangun lebih awal, apa susahnya untuk membangunkan Dian terlebih dahulu?

Dian berlari untuk pergi menuju rumahnya. Agar bunda dan papahnya itu tidak khawatir. Semalam Dian tidak memberi tahu Rexton ataupun Riska bahwa dirinya akan menginap di rumah Aldi. Sembari meminta izin untuk pergi menemui Alsya. Seketika Dian menuruni anak tangga satu persatu dengan cepat. Keluarga Aldi sudah ada di ruang makan, mereka menatap ke arah Dian dengan senyuman. Terkecuali Aldi yang fokus dengan makanan di hadapannya. Tidak berpikir lama, Dian menghampiri mereka.

"Pagii semuanya, umm maaf Dian harus pergi. Ada yang harus Dian urus. Tante! Om! Dian pamit. Asslamu'alaikum." ucapnya, setelah itu melanjutkan langkah kakinya.

"Dian!! Sarapan pagi dulu ih. Ayok jangan pergi." ajak mamanya Aldo.

"Iye nii Dian sini makan!" ajak ayah Aldo.

Kakinya berjalan normal, tetapi pandangannya menatap ke arah mamanya Aldo. "Tidak usah tante, om Terima ka-,"

Brug

Kaget kepalang, Dian tersungkur ke belakang. Meringis kesakitan tentunya. Pantatnya yang menjadi korban ciuman dengan lantai.

Uhhhh. Damntt shittt!!

Ketawa kencang begitu terdengar di telinga Dian. Menatap Aldi yang terus saja mentertawakannya, begitu sedap sekali. "Mampusss, enak kan tuu pantat" ejeknya dengan gelak tawa.

Dian hanya menanggapi dengan sinis. Berusaha bangkit dari duduknya, baru saja akan mengomeli orang yang menghalangi jalannya. Mendadak niat mengomeli orang tersebut tidak jadi.

"Ngapain?" tanya Dian kesal. Tentu kesal pastinya, pagi-pagi sudah merasakan rasa sakit.

Orang di hadapannya malah menyelonong pergi. Duduk di sebelah Aldi dan melahap makanan di sana. Benar-benar seperti itu wajah-wajah tanpa dosa.

Dian semakin kesal saja. Rasanya ingin memukul sahabatnya yang satu itu, tidak lain Billy. Dirinya berjalan pelan, sebab pantatnya masi merasakan nyeri. Bergabung dengan mereka semua di ruang makan. Terkadang mamanya Aldi menanyakan  bagaimana keadaan Siska saat ini. Dan menanyakan hal-hal sesuka dia.

"Bill? Ngapain kau di sini?" tanya Dian penasaran.

"Lupa?" tanya Billy kembali.

Dian mengerutkan keningnya perlahan. Apa yang dirinya lupakan. Otaknya tidak pernah melupakan hal sekecilpun.

Pletak

Sebuah sendok mendarat tepat di kepala Dian. "Mantan osis, otak udang. Astagfirulloh. Maaf sakit yah" ujar Aldi dengan cekikikan.

Mamanya langsung mengingatkan Aldi, agar tidak berbuat seenak jidatnya. Aldi hanya mengangguk-ngangguk saja, tetapi wajahnya meng ekspresikan begitu senang melihat Dian menderita kali ini.

Dian menatap Aldi dengan begitu sangar, seolah-olah akan memakannya di tempat.

Dengan cekikikan, Aldi menjelaskannya pada Dian. Tentunya Billy datang ke rumah Aldi akan pergi bersama untuk menemui Alsya. Semalam sebelum tertidur, Aldi mengirim pesan pada Billy, supaya ikut dengan dirinya dan Dian untuk menemui Alsya. Pasti Billy tidak akan menolaknya sama sekali, sebab Alsya adalah sahabat perempuan satu-satunya sejak kecil. Untuk itu, kedatangan Billy di pagi hari ke rumah Aldi dengan tampilan yang begitu rapi.

Dian beranjak dari duduknya. "Sialan!! Ayok cabut!!" ajak Dian.

Aldi tetap diam di tempat duduknya begitupun Billy. Mama Aldi serta ayahnya, hanya mendengar dan menatap mereka bertiga. 

"Kau sudah izin dengan orang tua mu?" tanya Billy.

Dian menghela nafas, dirinya harus sabar. "untuk itu ayok cepat! Aku butuh izin dan bukti, yang tidak lain kalian berdua"

Meminta izin untuk pergi pada ayah dan mamanya Aldi. Setelah itu Dian menunggu dua sahabatnya di dalam mobil.

°°°

Setelah mendapatkan izin dari kedua orang tua Dian, mereka bergegas untuk pergi. Waktu adalah uang, dan waktu wajib untuk di hargai. Sejak selama di perjalanan, Aldi selalu saja mengoceh tidak jelas. Terkadang menyanyi-nyanyi tidak karuan, membuat Billy naik pitam. Untuk sekarang yang mengambil alih mobil adalah Billy, sebab Dian sudah terlalu lelah. Setengah dari perjalanan menuju Alsya, Dian lakukan beberapa jam. Mungkin, sekitar setengah lagi menggapai persinggahannya. Begitu jauh sekali lokasinya. Tentu mereka sudah tahu lokasi Alsya dimana? Sebab, semalam Aldi memberi tahu Billy, bahwasannya akan pergi menemui Alsya. Dengan sergap Billy pun melacak keberadaan Aldo. Kalo saja melacak keberadaan Alsya, itu akan sulit memakan banyak waktu. Ponsel Alsya tidak aktif. Yang menjadi kekhawatiran mereka adalah sedang apa Aldo berada di RS? Itu menjadi sebuah tanda tanya besar. Dan untungnya Billy cekatan dalam hal melacak, waktu yang tepat pula. Kalo saja malam tadi tidak mencari informasi. Akan sangat sulit. Saat ini keadaan Aldo sudah tidak berada di RS. Maybe, ponselnya di matikan. Tentunya akan sulit mencari informasi keberadaan dia, bila nomornya tidak aktif.

"Berapa lama lagii, arghhhh?" tanya Aldi, dengan geraman. Sudah terlalu lama duduk, hingga membuat sendi-sendi tulangnya terasa kaku. "Kalo tau gini aku tidak ingin ikut" ujarnya lagi.

"Bisa diam tidak? Dari tadi banyak sekali tingkah. Tadi kek cacing kepanasan, sekarang ngeluh, kau itu cewe atau cowo. Lembek banget" ejek Dian sedikit meninggi nada intonasinya.

Aldi tidak terima di katakan seperti itu oleh Dian. "Heh tai anoa!! Lantang kali kau berkata seperti itu, yang pastinya aku berbatang lah. Kau tidak lihat, Aldi yang seganteng ini?" sewotnya.

"Diammm!!" satu kata mengandung makna, yang membuat mereka berdua berhenti berbicara. Billy sejak tadi diam saja, tidak ada hal yang menarik sama sekali baginya, hanya kebisingan, yang terus saja mengganggu telinganya. Sudah tengah siang, matahari begitu terik, suara gaduh di perjalanan. Di tambah lagi Aldi yang seperti burung berkicau terus tiada henti.

Billy menginjak gas di atas rata-rata. Ingin sekali cepat-cepat sampai. Dan melihat keadaan Alsya, yang beberapa hari ini di rindukannya. Setelah mendapat kabar dari Aldi semalam, Billy langsung saja menyetujuinya. Karna ini adalah kesempatan untuk bertemu Alsya kembali. Selain itu Billy juga tidak akan membiarkan Dian pergi berdua dengan Aldi, bahkan pergi sendiri menemui Alsya. Billy tau dia menyukai Alsya, begitupun dengan dirinya sendiri. Sudah lama sangat mengagumi Alsya.

Bila ke depannya, Alsya di suruh untuk memilih antara dirinya dengan Dian. Tentu Billy sendiri tidak akan memaksakan kehendak. Semuanya terserah Alsya, dia berhak memilih. Dan Billy di sini sebagai seseorang dengan harapan serta perjuangan. Semuanya tergantung takdir di masa depan. Jalani saja sebagaimana adanya, itu mungkin akan lebih baik.

"Lokasinya benar ada di RS?" tanya Billy sedikit ragu. Padahal dia sendiri yang melacak keberadaan Aldo.

Dian mengangguk. "Sesuai lah. Gila kau yah. Padahal kau sendiri yang lacak dia ada di RS. Mungkin dia mematikan ponselnya. Jadi keberadaannya tidak terlihat saat ini. Yakin saja bahwa mereka ada di sana. Apa perlu kirim pesan saja pada Aldo?"

"Tidak usah!" larang Billy. "Biarkan saja, kita lihat langsung ke sana. Percuma bila menanyakan sedang apa dia berada di sana? Dan memberitahu bahwa kali ini kita sedang di perjalanan untuk menemui Alsya. Tentu tidak akan di beri tahu. Apalagi ada sangkut pautnya dengan Alsya."

"Dari kemarin aku merasakan ada yang ganjal pada Aldo. Seolah-olah dia menyembunyikan sesuatu." ungkapan Dian.

Aldi mengangguk menyetujui. Mungkin dia juga sama merasakan ada yang salah dari Aldo, nada bicaranya terlihat berbeda, waktu kemarin di telepon.

"Liat saja nanti" ujar Billy. Percuma saja kita terus memikirkan hal tersebut. Bila tidak secara langsung bertemu dengan orang yang ada di pikiran otaknya masing-masing, suasana hati akan terus terguncang. Rasa kekhawatiran terus saja menghantam. Itulah efek, bila kita menghkawatirkan seseorang.

°°°

BROKEN HOME (END✔) SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang