Menunggu🍂

1.7K 118 1
                                    

Hidupku saat ini seperti berada di dalam labirin. Aku tahu apa yang harus di lakukan, tetapi tidak tahu jalan yang harus aku tempuh. Agar bisa keluar dari labirin tersebut.

_Rani_

°°°

Rani pov

Sejak tadi tidak ada kedamaian di hati. Aku begitu sangat mengkhawatirkan Alsya. Tidak berhenti memanggilnya dalam hati. Berucap harapan, agar dia menjawab telepon. Baik Alsya bahkan Aldo sama saja. Terdapat rasa yang mengganjal di hati. Aku sendiri tidak tahu itu. Bawaannya cemas serta khawatir. Tidak ada yang bisa di lakukan, hanya duduk dan menunggu.

"Hayoooo. Ngelamun aja mak eee nii" ucap seseorang, yang memang itu teman kerjaku. Saat ini jam istirahat, jadi semua pekerjaanpun di tunda sementara.

Aku menatap layar ponsel yang gelap. "Tidak ada jawaban sama sekali, bahkan kabar. Apa mereka melupakanku? Apa Alsya membenciku?" ucapku lirih. Sungguh aku takut bila benar begitu. Karna kesalahanku, semuanya menjadi hancur. Tetapi aku tidak bisa mengambil keputusan begitu saja. Tentu aku menyayangi putriku dan Arfan. Mereka berdua penting. Tetapi entah kenapa? Semua ucapan Alsya itu, aku tidak percaya.

Karna aku tahu betul. Bagaimana sifat Arfan. Dan itu tidak mungkin, bila Arfan bermain-main denganku. Dia pernah berjanji, waktu dekat, dia akan cepat melamarku. Meski masa kelam terus saja menghantuiku. Tetapi pastilah, mungkin ada sepercik kebahagiaan untuk diriku serta keluarga.

"Berpikirlah positif. Alsya mungkin lagi sibuk dengan pendaftarannya. Aldo juga pastinya membimbing dia."

Aku hanya mengangguk untuk membalasnya. Tetapi ini benar-benar sangat berbeda. Sudah beberapa hari rumahnya sunyi tanpa Alsya. Kini tidak bisa lagi menatap wajahnya itu, bahkan mendengar suaranyapun sangat sulit. Seolah-olah kedua anak itu ingin menjauh dariku.

"Apa yang harus aku lakukan? Agar Alsya kembali ke pangkuanku." air mata rasanya ingin meluncur. Bila seseorang menanyakan? Apakah diri ini rindu pada Alsya? Aku akan menjawab. Yaa, sangat merindukannya. Terasa benar-benar kehilangan.

Penyesalan itu ada. Setelahnya, aku tidak tahu harus melakukan apa lagi kedepannya. Rasa ingin menyerah terus saja menarik ku. Sang penguat hati masih ada di dekapanku saat ini. Aditya, yang selalu menemaniku semenjak Alsya pergi dari rumah. Kali ini penguat hati dari rasa menyerah adalah Aditya. Aku sadar akan hal yang masih harus aku perjuangkan sampai titik terakhir.

Usapan tangan terasa lembut di pundak. "Semuanya tergantung pada putrimu Ran. Sekeras apapun kau memaksa, bila dianya tidak ingin kembali, itu akan sulit. Aku bukan menuduhmu bahkan menyalahkanmu. Cobalah kau pikir! Alsya pergi karna apa? Dan kesalahanmu dari mana? Sampai-sampai rasanya Alsya tidak ingin lagi mengurus dan menghadapinya. Untuk itu dia pergi. Ran!! Seorang anak tidak akan membiarkan ibunya terjerumus dalam kegelapan. Apalagi kembali hancurnya seperti dulu. Pasti hanya ingin keterbaikan pada ibunya. Alsya bukan anak kecil. Dan kau juga harus mengerti! Dia sudah dewasa. Pasti bisa membedakan mana yang baik serta yang buruk Ran."

Aku terdiam. Apa yang dikatakan temannya itu begitu benar dan sangat benar. Tetapi mengapa dengan hatinya ini. Hidupku saat ini seperti berada di dalam labirin. Aku tahu apa yang harus di lakukan, tetapi tidak tahu jalan yang harus aku tempuh. Agar bisa keluar dari labirin tersebut.

"Akan ku coba meneleponnya lagi" ujarku bersiap akan berdiri. Namun, cekalan tangan menghentikan semuanya. Aku kembali terduduk.

Dia tersenyum begitu tulus. "Kau tidak perlu melakukannya. Cukup kau kirim pesan. Setelah itu kau tunggu. Alsya pasti akan meneleponmu balik. Secara panggilanmu begitu banyak nanti di ponselnya. Dia pasti tahu bahwa ibunya yang cantik ini sangat merindukannya." dengan sedikit candaan.

Aku hanya bisa tersenyum. Ponselku di biarkan di meja keuangan. Tatapanku mengarah pada jam, yang memang waktu istirahat telah habis. Pekerjaanku masih begitu banyak, tidak mungkin, aku terus saja terdiam. Berat hati aku bangkit dari kursi, dan melanjutkan pekerjaan yang sempat terhenti.

°°°

Membanting jaket begitu saja. Tidak tahu menahu, jaket tersebut tergeletak atau menyangkut di tempat lainnya. Menidurkan diri di kasur dengan kencang, bukan rasa sakit tetapi terasa lembut dan empuk. Pikirannya begitu kacau. Hanya doa serta harapan kali ini yang selalu di ucapkan. Agar cepat terlepas dari cengkraman mengenai keluarga Pernando. Dirinya tidak mungkin membiarkan masalah begitu saja. Perlu di ingat. Trian Andreass , yang merupakan ketua Cam, dengan panggilan Tian itu. Bukanlah laki-laki bajingan. Lari dari masalah bukanlah cara yang terbaik, melainkan terburuk yang pernah ada. Tatapannya masih terpaku pada langit-langit kamar.

Decitan pintu terdengar di telinga Trian begitu jelas. Hanya melirik siapa yang datang ke kamarnya, setelah itu kembali lagi pada pemikirannya.

"Tadi Zein meminta nom-," ucapannya terpotong.

"Sudah pah! Tidak perlu di bahas."

Papahnya Trian hanya menatap putranya itu dengan kerutan di kening. "Ada masalah kah?" tanya seorang ayah pada putranya.

Trian hanya menghebuskan nafas perlahan. Ingin rasanya mengungkapkan semuanya, tetapi Trian tidak ingin merepotkan lagi papahnya ini. Yah, Trian sendiri tahu. Papahnya begitu dekat dengan Zein. Trian juga tidak seharusnya setiap masalah bergantung pada orang tua. Apalagi ini masalah yang di peroleh bukan salah Trian, melainkan teman Trian, yang tentunya membawa Cam.

Cam itu nama kecil di perusahaan yang bermodal kecil kecillan. Meski kita masih sekolah, tetapi bisnis rasanya sudah melekat pada diri Trian maupun temannya. Tujuannya adalah menciptakan perusahaan besar dengan pencapaian harus sukses bersama-sama. Jadi perkumpulan itu bukanlah perkumpulan abal-abal. Tujuan itu sebagai patokan bagi anggota lainnya.

Papahnya itu sangatlah mendukung. Bahkan dia menawarkan agar bergabung dengan perusahaan milik Zein. Tetapi Trian menolak secara mentah-mentah. Dirinya bisa sukses bersama- sama dengan teman, dengan bermodalkan kecil saja.

"Tidak ada masalah sama sekali" ucapnya berbohong.

"Raut wajahmu terlihat berbeda. Ingatkah bahwa aku ini papahmu? Semuanya tentangmu papah tau. Cepat ceritalah!!" ujarnya santai. Dengan mendudukan bokongnya di sopa.

Trian bangkit dari tidurannya itu. Menatap papahnya dengan malas. "Pah!! Aku bukan anak kecil. Jadi,  segala sesuatu permasalahan yang Tian hadapi, tidak harus di kasih tahu sama papah, atau orang lain sekalipun" jelasnya.

"Ini mengenai Keluarga Pernando. Biar papah yang berbicara langsung dengan Zein. Bila benar masalahmu mengenai keluarga mereka, atau ada hubungannya dengan mereka."

Trian termenung sekejap. Masalahnya bila di bawa ke hukum, tentu pacar Alex akan kena. Dan dia juga akan masuk ke jeruji besi, sebab ini bisa di bilang kekerasan. Alex sendiri tentunya akan terkena imbasnya. Bahkan nama baik Cam akan tersebar buruk. Semuanya akan hancur seketika.

"Tian tidak ingin terlihat sebagai pengecut. Selalu saja bergantung pada orang tua bila masalah menghantam. Tetapi, Tian juga tidak ingin Cam hancur gegara ini. Jalan yang Tian ambil mengikuti apa yang papah katakan. Asal itu demi kebaikan Cam dan semuanya."

Papahnya tersenyum. "Papah tidak tahu masalahnya apa, bisa kau ceritakan?" ujarnya.

Trian mengacak-ngacak rambutnya. Dirinya mengubah posisi menjadi duduk bersila di atas kasur, tatapannya mengarah pada papahnya dengan malas. " broadcast tv terbaru. Curhatan seorang anak." ujar Trian.

Mulutnya berkomat kamit tiada henti, menceritakan seluruh permasalahan pada papahnya itu yang bernama Andres. Mereka sudah seperti solmet. Begitu clop sekali.

°°°
Akhirnya up lagii;( Maap yah. Kebetulan tugas Lala banyak bett dah. Sampe-sampe gak ada waktu buat santai-santai hemm.

Terima kasih kepada teman-teman setia BRHM yang udh mampir di story Lala🖤 Jangan lupa vote⭐ serta comennya💬 oke;)

Wait up story selanjutnya.

Bye² see uuu🔜😘🖤

BROKEN HOME (END✔) SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang