| dua: Di Luar Dugaan

621 141 25
                                    

Bulan merutuk dalam hati. Meski kesal, ia tetap melirik pemuda di sebelahnya, yang masih menatap ke arah buku tulisnya - menunduk.

"Lan, Bumi-nya nggak bakal ke mana-mana, kok." Yara berujar, membuat Bulan hampir tersedak ludah sendiri. Lantas mereka - teman kelompoknya - tertawa saat Bulan mendengus dan menundukkan kepalanya malu karena tertangkap basah. "Lucu banget, sih."

Sesungguhnya, sedari tadi Bulan juga menahan untuk tidak melirik Bumi, namun apa daya kalau bagian tubuhnya saja tidak bisa dikompromi. Seperti ada magnet yang menempel pada tubuh Bumi, bagai kutub selatan dan utara - tarik menarik.

Mata Bumi melirik ke arah Bulan yang masih menunduk malu dan berpura-pura menyibukkan diri dengan catatannya. Padahal kenyataannya, Bulan tidak menuliskan apa-apa, dan Bumi hampir tertawa geli karena itu.

Mereka kembali fokus pada tugas masing-masing. Senyap melanda dan tiba-tiba saja bunyi perut keroncong mengudara.

Bulan menjauhkan tangannya dari perut, berpura-pura seolah bukan perutnya yang bunyi. Terlambat. Satu kelompoknya telah menatapnya, menuduh dengan tatapan.

"Aduh, gue laper, istirahat kapan sih?" Ujar Bumi dengan wajah datar sambil memegangi perutnya. "Perut gue udah bunyi."

Bulan menganga tak percaya. Bukan karena Bumi membelanya, walaupun itu juga mebuatnya terkejut, tapi lebih terkejut karena seorang Bumi yang terkenal hampir tak pernah berbicara, dan sekarang... ia berbicara.

__

Bumi merapikan buku-bukunya, lantas memasukkan semuanya ke dalam tas polos miliknya. Dalam lubuk hati yang terdalam dia bertanya-tanya, mengapa gadis ini memperhatikannya. Ditambah, bel pulang sedari tadi sudah berbunyi. Mungkin kalau Bulan sedang membereskan barangnya atau setidaknya menunggu teman sih Bumi tidak masalah, tapi gadis itu hanya duduk dan sesekali melirik ke arahnya.

"Bumi." Ia menoleh dan melihat Bulan sedang berjalan dengan tempo lambat ke arahnya.

"Ya?"

"Makasih buat yang tadi."

Alis pemuda ini mengernyit, sejenak menghentikan kegiatan menggulung lengan jaket yang baru ia sampirkan - menoleh ke arah Bulan, membuat Bulan membeku beberapa detik. "Buat yang tadi?"

Bulan mengangguk, memberanikan kedua matanya menatap bola mata lawan bicara. "Kamu tadi bilang kalau perut kamu bunyi karena nggak mau bikin aku malu, kan?"

Bumi mengerti sekarang, rupanya gadis itu memikirkan tindakannya. Lucu sekali, tapi apakah itu adalah tanda-tanda gadis itu menaruh ketertarikan padanya?

Semoga tidak.

"Nggak, kok. Gue emang beneran laper." Mimik muka Bulan berubah seketika, perlahan rona merah di wajahnya muncul. Tentu saja ia malu. Tas polos milik Bumi sudah mendarat di bahu, ia berjalan ke luar kelas setelahnya. Bumi berhenti dan menoleh, "Bulan, jangan biasain mengartikan tindakan orang dengan spekulasi lo sendiri, ya. Untungnya lo kayak gitu ke gue, jadi lo bisa tenang karena gue nggak suka ngomongin orang."

Bulan seketika ingin melemparkan wajah Bumi dengan meja di depannya.

Satu hal yang baru dia tahu dari seorang Bumi,

Menyebalkan.

Menurut Bulan, Bumi memilih diam karena jika dia berbicara bisa-bisa dia tidak punya teman.

[🌕⛪🕌🌎
To be continued...]


Baru ketemu kemarin, hari ini ketemu lagi, ngga pa-pa kan? :))

Karena kemarin banyak yang antusias, makanya update lagi hari ini.

Makasih yang udah meramaikan lapak yang nggak jelas ini:") Aku seneng banget kalian semangat buat nunggu kelanjutannya, so today i decided to publish chapter 2!!

(ayo tepuk tangan)

mwehehehhehe.

Jangan lupa vote dan komen, okay? Biar aku makin semangat dan nggak sabar buat up chapter selanjutnya.

Semoga kalian senang:)
selamat menjalani hari!!

semangaat♡.

Love you all,
From Deer.

✔️BUMI DAN BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang