| tujuh : Tetap

366 113 6
                                    

Bagi Bulan, tiada hari tanpa menggerutu. Baru saja ia senang karena hari ini mendapatkan nilai bagus pada ulangan matematika, namun harus dilunturkan karena tiba-tiba ia harus mengikuti ekskul dadakan. Sebal bukan main, mengingat ia sudah menyusun movie list yang akan ditonton sepulang sekola – singkatnya karena besok libur, makanya ia ingin menenggelamkan diri bersama film-film dan selimut, serta cemilan rumahan.

Namun list di otaknya hancur begitu saja saat handphone-nya bergetar, temannya menelpon dan memberitahukannya untuk cepat-cepat datang ke ruang mading.

Kalau begini dari awal ia tidak akan ikut-ikutan Aletta memilih ekskul ini.

Tepat saat kakinya melangkah masuk, seruan riang dari kakak kelasnya menyapa telinga.

Bulan menggerutu dalam hati.

__

Matanya menyipit ke arah ujung jalan, mencari keberadaan ojek yang akan menjemputnya. Kalau sudah lewat dari jam lima sore dia tidak berani pulang sendirian, dengan keadaan langit yang mulai menggelap rasanya seperti sesuatu mengejarnya – membuatnya terburu-buru dan panik.

Ponselnya bergetar tepat saat helaan napas kasar ke-50 yang keluar hari ini. Matanya menangkap sederet kata-kata yang dikirim oleh seseorang, lantas menggerutu sebal, rasanya ingin sekali menangis. Ban motor ojeknya kempes dan harus ditambal sekitar setengah jam, itu artinya dia harus menunggu selama setengah jam di sini. Ia benci sendiri dan ia benci menunggu.

"BUMI!" Teriakan Bulan menghentikan laju motor Bumi secara mendadak.

Bumi menolehkan kepalanya. Menatap gadis yang berlari menghampiri motornya. Bunyi alas sepatunya memecahkan kesunyian di jalan yang jarang dilewati ini, memang sekolah mereka sedikit terpencil, bukan di jalan besar.

Di balik mata Bulan yang berkaca-kaca, dia melihat netra sebening kristal sedang menatapnya dalam, seolah mengatakan 'Kenapa?'

"Aku numpang, ya?" Bulan dengan pikiran yabg berkecamuk di kepala. "Aku... nggak ada yang jemput."

"Punya aplikasi ojek, nggak?"

Bulan menahan napas sekaligus air matanya agar tidak tumpah, sudah menyangka apa kata yang akan dikeluarkan Bumi. Sungguh, yang ia butuh hanya tumpangan pulang, tidak lebih. Mood-nya sudah hancur berkeping-keping. Satu tujuannya saat sampai rumah, tidur, karena terkadang tidur sebagai obat penenang di kala kalutnya perasaan yang berkecamuk. Dalam tidur, ia bisa melupakan sejenak masalah yang dialami, atau bahkan hanya untuk penyembuh mood hancur.

Bulan mengangguk, mengiyakan pertanyaan Bumi. "Tapi, aku takut, udah jam segini."

Bumi menghela napas. "Kalau gue nolak, lo bakal apa?"

Bulan menangis seketika, dia sudah berusaha menahannya, tapi akhirnya tidak terbendung lagi. Bulan berusaha berbicara di sela-sela isakannnya, "Please. Aku takut gelap."

Bumi menghela napas dan menarik tali tas Bulan, membawanya ke dekapan pemuda itu. Bulan hanya terdiam, membeku, bahkan air matanya entah hilang ke mana – surut seketika.

"Jangan nangis. Gue nggak tega."

Bulan terdiam. Tak menjawab. Tak bergerak.

"Lo mirip anak kucing yang baru lahiran terus kehilangan Ibunya, sih. Kan gue jadi nggak tega." Bumi menepuk pelan dahi Bulan dengan jari telunjuknya. "Jangan—"

"—Sembarangan nangis sama orang, jangan menyimpulkan sendiri, karena nggak semuanya kayak kamu. Iya, kan?"

Bumi menekan bibirnya agar tidak tersenyum. Akhirnya ia mengangguk mengiyakan pertanyaan Bulan, "Tuh tau."

[🌕⛪🕌🌍
To be continued...]

Hellaw!

Aku updatenya cepet nih minggu ini. Gimana-gimana?

Sudah memutuskan untuk berlayar bersama Bumi dan Bulan atau nggak berharap apa-apa? :")

Aku nggak ada ide buat ngomong ya ampun:)

Pokoknya enjoy!

Love you all,
From Deer.

✔️BUMI DAN BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang