Pohon-pohon di luar ruangan seakan ikut menari, menyorakan kesenangan atas terpilihnya Bulan mengikuti lomba musikalisasi puisi. Bulan senang bukan main, apalagi Bumi yang menjadi pemain gitarnya.
Hehe.
Bulan sudah duduk manis di antara Aletta dan Bumi, mendengarkan Aletta yang memberi masukan. Pokoknya Bulan tidak pandai dalam hal membuat nada dan kawan-kawannya, ia hanya bisa bernyanyi. Seketika mensyukuri kemampuan Ibunda yang menurun padanya.
Bulan bahasa tinggal menghitung minggu lagi, sekitar dua sampai tiga minggu. Waktu latihan mereka tidak banyak.
"Gue mau ambil tempat pensil dulu."
Tersisa Bulan dan Bumi. Bulan menatap Bumi dan melongokkan kepalanya mendekati pemuda itu, kemudian menampilkan cengiran khas miliknya. "Cie kepilih buat lomba."
Bumi memutar bola matanya. Tiba-tiba jengkel menyerangnya, mengingat beberapa hari lalu ia terpilih untuk lomba, namanya keluar dari semacam rolet yang diundi.
Tapi, terpilihnya gadis ini entah kenapa sedikit menghilangkan rasa sebalnya. Entah kenapa.
"Bumi, kamu main gitar dari kapan?" Pertanyaan random namun berhasil membuat Bumi terpaku sekejap. Lebih tepatnya bukan karena pertanyaan yang melayang, namun karena Bulan mendekatkan tubuhnya - kepo melihat gitar yang ada dipangkuannya. Bulan menengadah dengan tubuh yang masih berada di depan gitar, hanya kepala yang berubah posisi. Lagi-lagi membuat Bumi menahan napas.
Bumi tidak bisa menjawab, aroma tubuh gadis ini terlalu atraktif - wangi floral.
"Hm? Sejak kapan?"
"Dari SMP."
Bulan membulatkan mulutnya sambil mengangguk-angguk, lalu berceloteh sendiri, berbicara dengan gitar.
Nampaknya, bagi Bulan, gitar di pangkuan Bumi lebih menarik daripada hujan yang turun hari ini. Jarang terjadi. Tidak ada yang mampu mengalihkan hujan, namun Bumi mampu. Bulan tersenyum seraya melempar pandangannya keluar, mengubah posisi duduknya.
"Oke, kita lanjut, ya." Aletta mengambil posisi di antara mereka berdua agar penjelasannya jelas dan tak perlu bertele-tele.
__
Kantin yang kosong melompong, membuat suara hujan mendominasi. Sudah jam pulang sekolah, namun nampaknya tak ada yang beranjak dari kelasnya. Entah menunggu hujan reda atau memang malas pulang cepat-cepat.
Bulan duduk di salah satu kursi kantin, menyantap camilan setelah beberapa menit lalu melakukan traksaksi dengan Ibu-ibu kantin. Dengan tas berwarna nila di punggungnya, ia tak terusik sama sekali dengan suara petir. Tanpa teman-temannya, dia nampak lebih bahagia, menikmati kesendirian saat hujan.
Petikan gitar mengalun indah. Sayangnya, Bulan sedang berkutat dengan earphonenya, mendengarkan lagu, jadi tidak memerhatikan sekitar.
Bulan menyunggingkan senyum. Sebete apapun dia hari itu, jika hujan turun maka semuanya terselamatkan. Maka kadang ia sering menggerutu kesal karena moodboasternya susah didapat. Kalau gadis lain menghilangkan perasaan unmood dengan makan atau tidur, atau bahkan mandi, berbeda dengan Bulan. Hujan menjadi satu-satunya moodboaster selama ini setelah tidur, namun tidur hanya meredakan sejenak, bukan menghilangkan.
Ah, tiba-tiba Bulan teringat sesuatu. Sekarang moodboaster-nya bertambah satu, yaitu pemuda yang sedang beranjak meninggalkan kantin.
Bulan menghela napas, dia baru menyadari bahwa Bumi sedari tadi berada di kawasan yang sama dengannya.
Hujan kali ini membawa sedikit kekecewaan. Karenanya ia tak menilik keadaan sekitar. Terlalu menikmati hujan ternyata tidak sebaik itu sekarang.
Punggung Bumi menghilang dari pandangannya.
[🌕⛪🕌🌍
To be continued...]
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️BUMI DAN BULAN
FanfictionSebagai manusia, mereka tak pernah sanggup mengatur perasaan mereka, Tuhan mereka yang mengatur. Lantas kalau begitu, kenapa dua makhluk yang Tuhan-nya pun berbeda disatukan dengan perasaan yang sama? Bulan harus mengikhlaskan ketenangan di masa SMA...