Wajah sumringah Bulan sejak tadi nampaknya tak kunjung luntur. Penyebabnya adalah ia berjalan dari auditorium hingga ke kelasnya saja sudah banyak yang menyapa. Benar-benar menyapa, bukan hanya melirik dan berbisik-bisik. Dan tentu saja Bulan menyapanya kembali.
Rasanya seperti artis dadakan.
Pengumuman pemenang diumumkan di hari yang sama, yaitu hari ini, makanya ia dan Aletta buru-buru kembali ke ruang auditorium. Dan bodohnya mereka melupakan sesuatu, Bumi tak bersama mereka!
Dengan langkah terburu-buru, Aletta dan Bulan berpencar menyusuri kantin, UKS, dan kelas – tempat yang sering Bumi kunjungi.
Bulan menghentikan langkahnya ketika namanya disebut. Perlahan ia mendekati pintu yang terbuka kecil, melihat siapa yang menyebut namanya.
Jeffri?
"Lo suka kan sama Bulan? Ngaku aja deh." Bulan bersembunyi di balik pintu, seraya mendengarkan kata-kata selanjutnya. Suka? Suka apa?
"Nggak. Kan dari awal emang niat gue cuma mau bantu lo, seperti yang lo minta."
"Tapi apa buktinya? Dia bahkan nggak suka kalo gue ada di deketnya. Itu yang namanya bantuin temen?"
"Gue selalu bilang ke dia kalau jangan pernah berharap dan berspekulasi sama tindakan gue, kok. Harusnya dia sadar."
Deg.
Bulan tidak ingin berpikir macam-macam dan tidak ingin menebak siapa yang mejadi lawan bicara Jeffri. Posisi pemuda itu membelakangi pintu.
Namun, sekuat apapun mengelak, ia sudah terlanjur mengenal punggung itu.
"Gue tanya sekali lagi, lo suka nggak sama Bulan?"
Hening sesaat. Bulan memilin baju pentasnya, napasnya tertahan. Tak sadar bibirnya sudah ia gigit dengan keras, meninggalkan bekas kemerahaan pada sudut bibirnya.
"Gue nggak mungkin suka sama gadis yang nggak percaya Tuhan gue, Jef."
Bulan masih mencoba berpikir positif. Di kelas yang beda agama bukan dia saja, kan? Iya, pasti bukan. Ia percaya itu bukan Bumi. Ia percaya Bumi tidak akan begitu.
"Oke, gue percaya lo. Mending sekarang lo nggak usah bantuin gue. Cukup menjauh aja dari Bulan, Mi."
Mi? Otaknya terus mengelak. Tak mungkin. Tak mungkin. Tak mungkin. Please, Bulan mohon spekulasinya salah.
"Gitu dong. Lo emang temen gue. Makasih ya, Bumi."
Seakan dunia Bulan runtuh saat itu juga. Moodnya hilang dengan mudah. Kalau ada analogi, gelas kaca yang pecah adalah yang paling tepat untuk perasaannya saat ini.
Orang yang paling kau percaya ternyata lebih bisa menyakitimu dibanding orang yang kau benci.
Ternyata itu maksud Bumi selama ini. Untuk tidak berspekulasi atas tindakannya.
Bulan, kau bodoh sekali, ya.
__
Aletta kebingungan saat Bulan kembali dengan wajah tak karuan – melamun, seperti ingin menangis, tapi dia tidak menunjukkannya. Lebih parah dari kata tak karuan sendiri, dia bahkan tidak bisa mengekspresikannya.
Pada akhirnya, hanya mereka berdua yang mendatangi ruang auditorium.
Mereka memenangkan lombanya, semua anak kelasan bersorak riang, termasuk Aletta.
Tapi mengapa, mengapa hanya dia yang merasa hancur ketika Bumi datang ke ruang auditorium dan melewatinya begitu saja.
Bulan rasa, kisahnya memang harus ditutup. Memang dari awal seharusnya ia mendengarkan perkataan Bumi berulang kali. Memang seharusnya... ah sudahlah.
Ternyata, hanya dia saja yang benar-benar menyukai pemuda itu.
[🌕⛪🕌🌍
To be continued...]
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️BUMI DAN BULAN
FanficSebagai manusia, mereka tak pernah sanggup mengatur perasaan mereka, Tuhan mereka yang mengatur. Lantas kalau begitu, kenapa dua makhluk yang Tuhan-nya pun berbeda disatukan dengan perasaan yang sama? Bulan harus mengikhlaskan ketenangan di masa SMA...