| tiga : Marah

526 130 13
                                    

Keheningan menyelimuti keduanya, tak ada yang berkeinginan untuk memulai percakapan. Berlawanan dengan kondisi kelas yang seperti sedang menyimulasikan keadaan pasar.

"Bulan," panggil Bumi, akhirnya memberanikan diri mengucapkan satu kata, namun Bulan tetap diam seribu bahasa. "Lo marah sama gue karena ucapan gue tempo hari?"

"Menurut kamu aja."

Sial sekali pikir Bulan. Giliran dia berharap sekelompok dengan Bumi, itu tidak terkabul. Sekarang, ia benar-benar tak ingin sekelompok dengan Bumi, malah disatukan. Sudah begitu, mereka hanya berdua lagi.

"Siapa sih yang nggak malu digituin," lanjut Bulan. Rasa malunya kalah sama perasaan kesal, bahkan sudah tidak peduli apa kata Bumi tentang dirinya yang mudah marah ini. Ya mau apa lagi? Toh, memang ini sifatnya.

Satu lagi, Bulan ini anaknya benar-benar blak-blakan kalau bilang tidak suka ya bilang di depannya. Ia sendiri juga bingung kenapa ia tidak bisa langsung bilang tempo hari, apa mungkin karena itu Bumi?

"Oke, gue minta maaf meskipun pernyataan yang gue nyatain bener."

Dih! Ini anak niat minta maaf nggak sih? Bukannya bikin seneng malah tambah bikin kesel.

"Kamu emang anaknya jujur banget apa gimana?"

"Setidaknya nggak muka dua."

"Tapi nyakitin orang dengan perkataan kamu juga nggak baik."

Ada yang aneh dengan kalimat Bulan. "Lo ... merasa tersakiti?"

"Nggak."

"Tadi katanya-"

"Nggak. Aku bilang enggak ya enggak!" Bulan meninggikan suaranya. Tak lama kata cie terdengar menggema sampai telinga Bulan, juga Bumi.

__

Caca yang memiliki nama panjang Candralia Cantika itu tertawa keras sambil memukul-mukul meja, menjadikan meja sebagai pelampiasannya. Bulan rasa suara tawanya bisa terdengar sampai ujung kantin. Mungkin juga orang-orang berpendapat bahwa Caca ini rada-rada. Tapi, setelah melihat orangnya pasti pendapat orang-orang berbeda, berganti dengan kalimat untung cantik.

Aletta hanya tersenyum tipis menanggapi cerita Bulan. Omong-omong, Aletta memang paling mirip Bulan - diam-diam menghanyutkan. Ya, walau sebenarnya Bulan tidak pendiam, hanya saja belum terlihat. Siapa sangka gadis pemalu (yang mereka pikir) seperti Bulan berani melakukan itu ke Bumi.

Beda lagi dengan Kate yang tertawa sama kencangnya dengan Caca. Tak lama kemudian dia tersedak makanan yang dia suap sebelum Bulan mengatakan klimaks ceritanya.

"Karma. Ngetawain aku sih." Bulan menyodorkan air mineral miliknya.

"Lagian kok lo berani-beraninya bilang langsung gitu?" Ujar Aletta. "Gak nyangka gue."

"Cuma mau bilang makasih, kok."

Caca membuka mulutnya. "Ya, tapi bener kata Bumi, Lan. Lo berspekulasi terlalu jauh, walaupun gue kalo jadi lo juga kepedean sih."

"Tapi, Lan. Bisa aja dia niatnya emang begitu, tapi dia nggak mau keliatan nolongin?" Asumsi Aletta sedikit menggoyahkan kejengkelannya. "Who knows?"

"Jangan bikin Bulan berharap, Ta." Katelyn yang telah rampung dengan acara tersedaknya. "Nanti dia bakal bengong selama pelajaran. Ya kan, Ca?"

Caca mengangguk, mengiyakan penuturan Katelyn yang 100% akurat.

"Ih, ngeselin."

Dari kejauhan Bumi memandangi wajah Bulan yang merengut. Tanpa berpikir apa-apa.


[🌕⛪🕌🌎
To be continued...]

Hai-hai!

Kalian nyadar gak sih work ini buru-buru banget?
Kalau iya, selamat kalian benar:) karena aku bener-bener mau buat satu work aku selesai. Aku malah takut justru jadi gak seru kalau buru-buru. Tapi partnya pendek banget sih asli, agak gimana gitu kan.

So, hari ini update lagi hehehe.

Absen dulu, yuk. Biar aku kenal pembaca aku, biar nggak dikira sombong nih:( Selalu kutunggu loh komen kalian. I have been and always be.

Selamat menyelami dunia Bumi dan Bulan!






Love you all,
from Deer.

✔️BUMI DAN BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang