| sembilan belas : Antara Awal dan Akhir

503 89 7
                                    

(Check out the playlist on my spotify — link on my bio —  or you can just swipe the multimedia)

Kota Adelaide terasa hampa dan kosong.

Banyak sekali perubahan selama dua tahun belakangan ini. Terutama pada sikap dan perilakunya, Bulan akui dia berubah secara signifikan. Mulai dari caranya bicara sampai caranya melihat dunia. Dia benar-benar berubah.

Sakit hatinya sudah dia tinggalkan di Jakarta, terhempas dan tak ada satupun yang terbawa. Ia pikir begitu pada awalnya. Dan setelah dua tahun, dirinya belum berubah soal perasaan itu, perasaannya tak kunjung usai. Dia ingin menyalahkan, tetapi tidak tahu siapa yang harus disalahkan.

"Bulan!" Seseorang memanggil dengan heboh, seperti biasa. Bulan menoleh dan memutar bola matanya jengah. "Tungguin gue, dong. Mau apa sih buru-buru banget?"

Bulan menggerutu, ah - sifat yang ini masih sama. Sepertinya sudah mendarah daging, enggan hilang. "Nanti telat, jadwalnya kan jam tujuh, sekarang udah setengah tujuh. Kamu ih kebiasaan banget."

"Iya, iya. Sorry."

Kopi panas di tangan pemuda itu hampir saja tumpah ketika gadis di depannya berhenti secara tiba-tiba.

"Kenapa, Lan?"

Lucas memandang seorang laki-laki yang terdiam memandang mereka berdua.

Tepat di depan pintu stasiun, Bulan seolah berbicara dengan pemuda itu lewat matanya. Hawanya seketika menjadi dingin dan beku, walau keadaannya salju memang sedang turun. Tapi entah kenapa atmosfer yang diberikan begitu dingin meski tatapan pemuda itu lembut dan hangat. Sesaat kemudian Bulan berbalik, menabrak Lucas yang berada di belakangnya. Kopi yang dipegang tumpah ke tubuh Bulan, membasahi pakaiannya.

"Aduh, maaf. Lo balik badan tiba-tiba ba-" Bulan meraih tangan Lucas dan bergegas menariknya, menjauhi pemuda yang baru saja memanggil namanya.

Ada apa?

__


Angin berhembus, membuatnya sedikit kesulitan mengatur rambutnya yang mulai panjang. Pohon kelapa melambai-lambai seolah menari untuk menyambutnya datang. Debur ombak terdengar sampai ke telinganya, sangat jelas dan menenangkan. Serta aroma laut yang menyeruak indra penciumannya.

Lagi-lagi, setahun hampir sempurna terlewat. Perasaannya masih sama, masih pada tempat yang sama, orang yang sama, dan kadar yang sama.

Hal tersulit selama menyukai seseorang menurutnya adalah ketika harus menahan perasaan sendiri untuk tidak berharap.

Ia tahu berharap adalah hal terlarang untuk setiap insan yang sedang jatuh cinta, akan tetapi ia juga tahu kalau harapan tidak akan pergi saat seseorang sedang jatuh cinta. Itu akan beriringan, selalu.

Rasa suka dan harapan akan selalu beriringan.

Tidak ada orang yang jatuh cinta tanpa berharap. Mungkin kalau pun ada, orang itu benar-benar orang yang ikhlas menyukai, tanpa mengharapkan orang tersebut menyukai kembali.

Ada, namun bukan Bumi orangnya.

Tentu saja dia mengharapkan Bulan kembali menjadi gadis yang ceria ketika melihatnya.

Perlahan ada suara pasir yang terinjak - seseorang sedang berjalan. Bumi menebak itu adalah salah satu anak angkatannya yang datang dari villa. Hari ini Bumi berkunjung ke pantai untuk merayakan kelulusan, bersama dengan teman-teman yang lain.

Seketika suara langkah kaki yang menginjak pasir itu terdengar cepat dan menjauh. Bumi menoleh sepenuhnya, melihat siapa yang berlari menjauh darinya.

Gadis itu ... tadi hampir saja menghampirinya, bukan?

"Bulan!" Benar saja, langkahnya terhenti, tapi tidak menoleh. Hanya bergeming di tempatnya. Tak lama kedua kaki gadis itu menuntunnya untuk berlari. Tanpa menjeda, Bumi ikut berlari. "Bulan!"

"Jangan pergi." Kata-katanya tidak digubris oleh gadis dengan dress selutut berwarna kuning. Rambut gadis itu dikepang dua, seketika perasaan ingin melihat wajah gadis itu membuncah - meledak-ledak di dadanya seperti kembang api di malam tahun baru.

"Kamu kenapa?" Bumi masih berjalan di belakang Bulan yang telah memperlambat langkahnya. "Kamu kenapa menjauh?"

Sunyi. Hanya debur ombak dan daun-daun bergesekan yang tertiup oleh angin yang terdengar. Jarak mereka lebar, dengan posisi Bulan membelakangi Bumi.

Bulan berbalik, jauh dari perkiraannya. Semakin jauh dari perkiraannya ketika mata yang dirindukan menatapnya balik. Tidak ada Bulan yang hangat, ia melihat Bulan, namun bukan Bulan yang ia kenal. Ini bukan Bulan, begitu pikirnya.

Tatapannya dingin dan kosong.

"Kamu nanya aku?" Suara gadis itu sedikit memecah atmosfer tegang dalam dirinya.

"Iya."

"Justru kamu harus nanya sama diri kamu sendiri."

"Maksudnya?"

"Kenapa kamu harus ngejar aku saat ini kalau yang kamu mau adalah menjauh dari aku, Bumi?"

Hatinya mencelos. Selama ini ... Bulan tahu?

"Kenapa kamu seolah ngejar aku? Kenapa kamu buat aku bingung terus, Bumi? Kenapa?"

Dadanya nyeri. Kata-kata itu memang tidak panjang dan banyak, meski begitu bisa menusuk sampai ke dada.

"Kamu bilang di depan Jeffri kalau kamu mau ngejauh, kan? Buktiin." Bumi tidak melihat jelas ekspresi yang ditunjukkan oleh gadis itu. "Buktiin kalau kamu mau ngejauh dari gadis yang nggak percaya sama Tuhan kamu."

Ia merasa dirinya hancur saat itu juga. Jadi selama ini, gadis itu tahu?

"Aku bukan bagian dari mereka... otomatis aku bukan bagian dari kamu."

"Jadi tolong tepatin kata-kata kamu sendiri. Janji kamu sendiri. Kalau kamu nggak mungkin jatuh cinta sama gadis yang nggak pernah percaya dengan Tuhan yang sama dengan yang kamu percaya."

"Dan satu-satunya cara untuk menghindari itu adalah dengan menjauh. Jauhi aku."

Bulan pergi. Punggung gadis itu menghilang sempurna dari matanya. Seperti sosoknya yang menghilang di hidupnya.

Payah, dirinya bahkan belum menepati janji mengajari gadis itu memetik gitar dengan tangannya sendiri.

Bumi masih terdiam di depan stasiun, menatap nanar gadis yang berlari pergi. Ia menghela napas. Saat yang bersamaan ia berada di dua waktu, pikirannya melayang ketika awal - setelah sekian lama - dan akhir mereka berbicara. Dan saat ini, awal pertemuan dan (harus) berakhirnya rasa di antara mereka.

Mereka terjerembab karena tak punya pijakan yang sama. Mereka terjerembab karena kesalahan mereka sendiri.

Dan akhirnya, Bumi harus ikhlas bahwa dirinya tak pernah diharapkan lagi.

[🌕⛪🕌🌍
END.]

Tenang, tenang. Masih ada bonus chapter-nya, aku nggak sejahat itu kok, gais:D but this is the ending, karena bonus chapter-nya itu bukan kelanjutan.

Aku sekalian mau promo, sebenernya bukan promo sih, mau bilang aja, eh tapi kayak promo sih, ya udahlah pokoknya itu.

Aku ikut giveaway dan aku buat cerita dengan cast Jinrene, so yang suka Jinrene atau btsvelvet bisa cek akun aku karena ada cerita baru!

Kalau tertarik silakan mampir ♡

Love you all,
From Deer.

✔️BUMI DAN BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang