| enam : Lomba

399 112 17
                                    

Peluh meliputi hampir di seluruh badan Bulan. Tahun ini berbeda dari biasanya, kalau saat SMP dan SD dia selalu terpilih untuk lomba makan kerupuk, kali ini tidak. Bulan ikut lomba tarik tambang yang jelas-jelas berbeda 180⁰ dengan yang sebelumnya.

Sekarang Bulan sedang mengipasi dirinya dengan buku tulis Ekonominya. Bahkan saat seperti ini—berpeluh banyak—dua AC di kelasnya rasanya tidak cukup, belum lagi ada parasit-parasit kecil yang curang, malah menurunkan AC-nya ke arah diri mereka sendiri. Ingin marah sebenarnya, tapi nanti bukan hanya udara yang panas, suasananya juga akan panas nanti.

Begini-gini juga, Bulan jago bergelut, mulutnya tak kalah pedas dari cabai sejujurnya. Didikan kakaknya yang judes bukan main. Latihannya hampir dilakukan setiap hari – beradu argumen dengan topik sepele sekalipun. Meski kenyataan itu masih ia simpan rapat-rapat, masih ingin dikenal sebagai Bulan yang pendiam – ya, meski tidak benar-benar pendiam.

Dua orang dengan kardus besar dan plastik menyita seluruh atensi kelas, karena sudah jelas apalagi kalau bukan makanan, mengingat salah satu orang tua berjanji membawakannya. Tanpa aba-aba semua anak sudah mengerubungi mereka – menyerbu bak semut jika ada gula. Jelas saja postur tubuh Bulan yang kekurangan ini tidak akan bisa bersanding dengan teman-teman yang sudah mengerubungi, telalu jauh – membuatnya meloncat-loncat untuk melihat plastik tersebut.

Akhirnya Bulan menyerah karena tinggi badannya, ia memilih untuk berganti pakaian bersama Aletta.

__


Sekembalinya Bulan dari toilet hanya terdengar pekikannya sendiri – ia marah, tentu saja. Makanan dan minumannya sudah habis, tanpa sisa, tanpa ia mengambilnya. Menyebalkan sekali, padahal ia tidak ingin berteriak-teriak seperti ini.

Aletta hanya menghela napas dan menenangkan Bulan, sebenarnya ia juga tidak dapat, tapi daripada ada dua Bulan di kelas ini yang sedang mengomel, lebih baik satu saja. Satu saja, suaranya sudah menggelegar sampai ke ujung kelas, apalagi dua.

Perlu diingat, bahwa Bulan jago mengomel. Pokoknya semua tentangnya adalah mengajak ribut jika kau mencari masalah. Ya ampun.

Bulan melangkah kesal dan duduk di kursinya dengan perasaan jengkel bukan main. Seharusnya diprioritaskan yang mengikuti lomba dong! Kan sudah mewakilkan kelas, kenapa juga tidak dihargai?!

Bulan memasukkan bajunya ke kolong laci. Saat hendak mengeluarkan tangannya, ia merasakan beda asing di loker menyentuh permukaan kulitnya, sesegera mungkin dia mengeluarkan. Ada sebuah teh kotak dan spagetti. Bukan, ini bukan menu dari orang tua murid. Ini tentu saja menu dari kantin – menu kesukaannya. Pikirannya terlintas nama seseorang, ia menoleh ke arah kiri – ujung kelas dan melihat seorang pemuda yang mengalihkan pandangan darinya.

Bulan tersenyum dan mengatakan terima kasih tanpa suara, karena ia yakin pemuda itu pasti melihatnya dari ekor mata.

Di seberang sana, Bumi hanya menghela napas. Semakin ia melakukan ini, semakin rasa bersalah itu menyeruak di dadanya. Ia hanya ... takut.


[🌕⛪🕌🌍
To be continued...]

Halo!

Kali ini aku nggak akan banyak bicara, aku bingung juga mau ngomong apa, hiks.

Di real life jadwal aku lagi hectic banget serius:( ini aja besok aku ada TO😭 Doain ya temen-temen supaya aku bisa menjalankan kelas 12 ku dengan lancar dan tenteram wkwkwk.

Gimana chapter kali ini? Makin kepo atau justru biasa aja?

Jangan lupa vote dan komen untuk mengapresiasi karya aku. See you next week!




Love you all,
From Deer.

✔️BUMI DAN BULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang