ex.

203 20 0
                                    

Aku sudah membaik pikirku.

Dua minggu, tiga minggu hingga tak terasa sudah sebulan semenjak berpisah darinya. Iya itu Jimin memangnya mau siapa lagi.

Hubungan kami tidak lama-lama amat sih, tapi sejak kapan lamanya suatu hubungan menjadi penentu kadar patah hati seseorang?

Singkat pun bisa jadi luar biasa sakitnya, 'kan?

Lagi-lagi itu balik ke pribadi masing-masing.

Tapi,

"Argh, mau gila kok kepikiran lagi sih." Aku mengacak pelan surai blonde-ku tampak frustasi sekali padahal tadi rasanya sudah membaik tuh. Eh kok tau-tau jadi dipikirkan kembali.

Oh ya, galau membuatku memutuskan ada perubahan signifikan dari penampilanku. Tentu saja apalagi kalau bukan rambut yang tadinya hitam legam ini, aku bahkan bertekad tidak pernah memacam-macaminya, tapi sial, konon mengubah gaya ataupun warnanya bisa dikatakan sebagai bentuk ingin memulai kehidupan baru yang lebih baik lagi. Ya setidaknya memang begitu mauku.

Sukses mendapat cibiran dari orang rumah terutama Daniel yang tidak henti-hentinya mengejek betapa sadgurl-nya diri ini.

Ampun dah, mau dikata apalagi memang benar.

Huft.

Kenapa ya, hitung-hitung sebagai pengalaman pertama pacaran kok sesak sekali. Dari semua masalah, ini berat.

Mending berpisah karena bosan, saling mencampakan, atau entahlah masalah-masalah hubungan yang klise. Paling tidak itu kan memang kemauan dua pihak. Tapi ini? Ah.

Payah.

"Ibuku gasuka kamu kurang sopan."

"Hah?"

"Minta maaf sama ibuku ya?"

"Loh, jadi ini alasan ga pernah bisa keluar sama aku lagi? Selama sebulan ini? Baru bilang sekarang?"

Aku ingat sekali bagaimana suaranya memenuhi pikiranku. Waktu itu, pasrah sekali. Mana Jimin yang berapi-api tidak pernah mau putus?

Nyatanya aku syok berat.

Bukan masalah apa yang dipersoalkan sang ibu padaku, tapi kenapa baru sekarang aku harus tau? Kalian tau perempuan, 'kan? Intuisiku kuat sekali.

Terakhir kali bertemu ibunya aku yakin telah melakukan kesalahan hanya saja anak ibu kompak sekali. Jadi bagaimana aku bisa tau kesalahanku bila disembunyikan dariku? Apa mereka kira aku bisa baca pikiran ya, aku kan bukan roy kiyoshi astaga. Jadi gemas.

Lagipula pasangan apa yang tidak jujur seperti itu dan membuat keadaan semakin berlarut? Di saat sudah semrawut begini mau diapakan lagi, mama juga jadi tidak suka setelah tau ceritanya. Pagi itu aku nangis, aku yang di Bandung menelpon mama yang di Jakarta.

Mama bilang, kok tega ya. Harusnya kalau memang kamu salah dikasih tau jangan malah didiemin udah kayak gini kok malah kamu yang harus susah-susah minta maaf? Itu aja cara mereka juga salah.

Di saat seperti itu jadi sadar, bahkan pada kekuranganku di mata orang lain mama selalu membelaku. Benar-benar malaikat tanpa sayap.

Kemudian balik lagi ke intuisi perempuan, jadi kami benar-benar banyak bertengkar selama aku belum tau masalahnya. Hati sesak dan overthink sangat menyita energi di hari-hari yang harusnya indah. Memikirkan apa dia sudah tidak suka padaku lagi karena menghindar terus diajak pergi keluar atau entah bagaimana merasa hanya aku yang ingin mempertahankan hubungan ini. Aku rasa perempuan di seluruh dunia pun setidaknya satu kali pernah berpikiran demikian.

Walau dia bersikeras tidak ada yang berubah tapi entah bagaimana tau-tau kita merasakannya saja.

Omong-omong soal dianggap kurang sopan, aku pikir mungkin aku begitu. Ya walaupun sebenarnya balik ke culture keluarga masing-masing sih. Keluargaku tipe yang modern dan ya menyapa keluarga sewajarnya saja, tapi yang satu ini memang berbeda sekali. Hanya saja aku pikir, tidak dipermasalahkan serumit ini.

Tapi nyatanya lebih baik mengerjakan ujian sekolah ketimbang ini. Duh gusti.

Tuh kan, aku jadi memikirkannya lagi.

Aku harap, mantanku bisa lebih memperjuangkan orang yang dia inginkan. Tidak ada yang sempurna bukan? Suatu saat mungkin kekurangan pasangannya nanti akan ikut dipermasalahkan, dan aku harap dia tidak mundur untuk itu. Bukankah seorang lelaki harusnya memasang semua serba dua kali ya ketimbang wanitanya? Harusnya begitu, kan? Baik mental, fisik, pikiran, dan lainnya.

Aku juga, untuk perempuan di luar sana pun juga, aku harap kalian mencintai seseorang semestinya saja. Jangan terlalu banyak memakai hati sesekali coba pikirkan dengan matang. Dia membawaku pada angin yang baik apa sebaliknya ya?

Bila tidak maka lepaskan.

Atau kalian akan jadi bumerang untuk diri sendiri. Overthink, insecure, curiga yang berlebih, ngambek tidak jelas, mood hancur seharian. Bagaimana bisa kalian mencintai orang lain di saat kalian bahkan tidak cinta pada diri sendiri dan membiarkan racun tak kasat mata seperti itu memenuhi diri kalian?

Tidak apa aku juga pernah, maka jadilah itu patokan kuat untuk menjadi perempuan yang kuat, mandiri, dan bisa lebih bertanggung jawab dengan diri sendiri.

Jangan menggantungkan harapanmu pada seorang lelaki.

Bila dia pergi mungkin kau mau bunuh diri. Jadi lupakan saja, urself matters.

...

; ini teh curhat😂😂😂 maap aneh bgt huhu

ss; more than // ksg x pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang