Prolog

71 5 1
                                    

Di kamar yang dipenuhi buku-buku berserakan dan beberapa poster anime tertempel di dinding kamar yang warna catnya mulai memudar aku berbicara dengan seseorang dalam sambungan telepon. Aku selalu gugup tiap kali bicara dengannya. Padahal dia hanya seorang cowok berusia 20 tahun. Hari ini aku ingin mengatakan sesuatu padanya.

"Sebenarnya... aku pengen ngasih hadiah buat kamu. Makanya aku mau minta alamat kosan kamu." Kataku pada seseorang dalam telepon.

"Hadiah apa? Ulang tahunku itu masih lama."

"Aku juga tau ulang tahun kamu masih lama tapi seenggaknya aku udah ada persiapan." Aku berjalan menyalakan kipas angin. Udara di dalam kamar terasa panas meski diluar sedang ada angin. Aku duduk diantara buku-buku yang berceceran dimana-mana. "Untuk masalah aku ngado apa itu mah rahasia."

"Padahal kasih tau aja sih. Gausah ada kejutan segala."

"Ya gaboleh dikasih tau. Kalo dikasih tau engga seru donk.” Aku mengambil beberapa buku dimasukkan kedalam tas. Aku telponan sambil membereskan buku-buku yang ga kubaca. Cuma dibuat berantakan biar keliatan belajar padahal kagak. ”Aku gabakal ngasih bom ke kosan kamu ini ribet banget"  Aku menutup tas lalu aku menaruhnya di pojok lemari buku.

"Trus kamu mau ngirim hadiah itu kemana kalo ga ke kosan aku?"

Cuma minta alamat aja kok jadi kek acara interview yaa. Ditanya-ditanya terus dari tadi bikin kesel aja. Apa dia seperti itu agar aku cepat menyerah gausah ngirim hadiah buat dia? Jika itu pemikirannya maka aku akan terus berusaha walau dihalangi sekalipun.

"Hmm mungkin aku bakal ngirimnya pake alamat kantor kamu." Aku jawab asal.

Dia diam sejenak. Sepertinya dia terkejut denger jawaban "asbun" itu. Lalu ia menghela nafas. "Aku kasih tau yaa. Kalo kamu ngirimnya ke kantor bakal repot. Bisa aja pas paketnya nyampe aku lagi siaran diluar. Selain itu, namaku itu ga cuma aku doang di kantor. Banyak nama yang sama kek aku."

"Ahh masa sih? Bohong kamu ya?" Aku ga percaya sama perkataannya.

"Beneran serius. Banyak nama yang sama kayak aku." Ia berusaha meyakinkanku tapi aku tidak percaya sama omongannya.

Aku merasa terpojok saat ini. Aku gatau lagi harus membantah kayak apalagi. Mau gimana lagi akan ku buka kartu AS yang sedari dulu ku simpan.

"Yaudah aku bakal pergi ke Jakarta ketemu kamu." Ya. Aku mengatakan hal yang sangat tidak mungkin terjadi.

"Heh? Yang bener? Bukannya kamu tahun ini banyak ujian ya?"

"Emang sih sekarang lagi banyak ujian tapi bukan berarti aku gabisa ketemu sama kamu. Masih banyak waktu setelah selesai ujian." Aku berbicara dengan nada sedikit emosi. Aku gatau kenapa sensi banget hari ini padahal ga lagi pms. Aku kesal dengan perilakunya yang selalu mempermainkanku.

"Begitu. Aku tunggu kehadiranmu. Aku tutup ya soalnya aku harus lanjut bekerja."

"Oh yaudah. Maaf yaa aku ngeganggu waktu kerja kamu." Aku menutup telpon dan melemparkan handphone ke kasur.

Aku duduk merenungkan apa yang tadi aku katakan. Apa kata-kata tadi benar-benar keluar dari mulutku? Apa dia bakal percaya sama kata-kata itu?

Kebiasaan burukku adalah memutuskan sesuatu seenaknya tanpa pikir panjang. Ingin sekali ku tarik omonganku kembali tapi mana mungkin bisa. Segala sesuatu yang sudah terucap tidak akan bisa ditarik kembali. Menyesali sebuah keputusan juga takkan berguna. Yah karena aku sendiri yang memutuskan maka mau tidak mau aku akan melakukannya. Berhasil atau tidak urusan belakangan.

Aku tiduran di kasur ditemani handphone. Aku terus memikirkan mulai darimana aku melakukan hal tersebut. Memikirkannya saja membuatku pusing kepala.

***

Keesokkan hari aku menceritakan kejadian semalam pada Panjul di sekolah. Dia adalah orang yang selalu dengerin aku curhat di kelas. Dia satu kelas denganku tapi tubuhnya pendek. Maka ga heran kalo dia sering dikira anak kelas 1 bahkan dikira anak SMP kalo naik angkot sama orang. Aku duduk sama dia di kursi panjang atau disebut bale yang ada di belakang kelas. Aku gak tau kenapa kursi yang seharusnya diluar malah ada di dalam ruangan kelas. Ah peduli amat.

"Eh,mi lo beneran ngomong begitu ke dia?" Dia kayaknya tidak menyangka aku akan bertindak bodoh seperti itu.

"Iyaa gue juga gatau kenapa gue bilang begitu. Lo kalo ada di posisi gue pasti kesel bercampur bingung, jul."

"Lo udah tau dia tinggal dimana? Trus lo mau ketemuan sama dia dimana? Trus kapan ketemunya?" Panjul nanya-nanya kayak kek wartawan malah makin pusing.

"Hmm. Gue belum memikirkan sampe sejauh itu. Yang gue tau dia ngekos di daerah Jakarta selatan." Kataku sambil makan wafer coklat yang harganya dua rebuan.

"Eh serius lo,mi? Berani banget lo mau ketemuan sama dia sementara lo aja belum ada persiapan."

"Yaa begitulah. Gue cuma bisa berjuang sebisanya. Sekarang mah fokus ngumpulin duit dan juga ngumpulin info gimana caranya bisa kesana." Aku menyuruh Panjul tuk mengambil beberapa wafer coklat.

"Trus lo mau perginya kapan?" Tanyanya sambil memakan wafer coklat.

"Kemungkinan sehabis UN aja kan bisa bebas kemana-mana kalo udah lulus."

"Yaa apapun keputusan lo gue cuma bisa ngedukung aja. Gue harap enggak gagal lagi. Ayok semangat berjuang. Lo udah kenal sama dia hampir 3 tahun. Masa enggak bisa ketemu sih."

Kata Panjul benar. Aku harus berjuang demi dia. Dia yang selama ini aku cintai di dunia maya. Kalo aku diam saja tidak akan ada yang berubah. Bisa aja aku dan dia takkan bertemu jika aku hanya mengharapkan keajaiban Tuhan tanpa melakukan apapun. Aku tidak mau seperti itu. Aku ingin memperjuangan sesuatu yang bisa kulakukan. Meski hubunganku dengannya sudah lama berakhir tapi aku mau bertemu dengannya di dunia nyata. Makanya aku putuskan aku akan benar-benar berjuang buat ketemu sama dia.

******

Hayy para pembaca gimana prolog dari cerita ini? Apa kalian mulai penasaran sama kisah cinta antara Umi dan Riski?
Kalo kalian penasaran baca chapter selanjutnya yaa gaes.

Oh yaa jangan lupa kasih bintang, komen dan share cerita ini agar author makin semangat. Aku juga menerima kritik saran demi motivasi diri agar tulisanku lebih baik

Aku sangat senang jika kalian membaca ceritaku. Semoga kalian terus mendukungku.

Salam
Hanazawa Miu

*****

Aku Mencintaimu Sejauh 84, 1 KM (Cikampek - Jakarta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang