Epilog

12 0 0
                                    

"Pada akhirnya kamu bukanlah pasangan hidup tapi hanya jadi pelajaran hidup."
-Umi Atmawati

4 tahun kemudian....

Aku berhasil lulus kuliah dengan ipk yang hampir mendekati sempurna hingga aku menjadi lulusan terbaik atau biasa disebut cumlaude. Tak hanya itu, aku sudah mendapatkan pekerjaan di salah satu stasiun televisi di Jakarta sebagai reporter. Aku begitu bersyukur telah mengalami banyak kepahitan yang tidak bisa kuceritakan disini tapi semua itu terbayar semua dengan tercapai cita-cita yang telah lama aku dambakan—jadi reporter.

Walau 4 tahun sudah berlalu setengah diriku mencari kabar Riski sekarang. Sebagian ingatan tentangnya mulai memudar seiring waktu karena aku menghapus nomor telepon dan berhenti mengikuti akun sosmednya. Yang Aku ingat hanya pertemuannya di Jakarta waktu itu. Pelukan dadakan dan berjalan sambil bergadengan tangan adalah hal yang masih membekas dalam benakku.

Sisa rasa cintaku untuknya juga masih tersimpan di dalam hati. Hingga saat ini aku tidak membuka hati lagi karena hatiku masih ada Riski. Selain itu, aku juga takut jatuh cinta dan memulai hubungan baru karena aku tau kisah cintaku tidak pernah berakhir bahagia. Aku hanya tak ingin mengulangi kesalahan yang sama dan beristirahat dalam dunia percintaan yang membingungkan juga menyakitkan.

Suatu ketika aku jalan mau masuk ke ruang lobi kantor dengan terburu-buru hingga pulpenku terjatuh di lantai. Seseorang memunggutnya lalu memanggilku.

"Anuu. Ini pulpennya jatoh." Ketika kepalaku menengok, seseorang itu memandang kaget lalu berkata, "kamu Umi bukan?"

Angin yang datang berhembus entah darimana menambah dramatis situasi ini. Mata kita saling memandang tidak terlalu dekat tapi menarik kita untuk kembali saling mengingat. Jaket warna biru tua bermotif batik yang bagian resletingnya terbuka serta alis nyaris tidak terlihat—semua itu mengingatkanku pada sosoknya yang hampir saja kulupakan.

Apa ini seperti cerita dalam komik? Dimana dua orang yang telah lama tidak berjumpa, kembali dipertemukan di tempat yang tak diduga. Apa maksudnya? Apa pertemuan ini sebagai tanda kalau kami terhubung oleh tali benang merah takdir atau ada hal lain dibalik ini semua?

Di keadaan yang seperti ini, aku hanya menganggukkan kepala tanda kalo aku beneran Umi—orang yang ia maksud. Disaat seperti ini aku tidak bisa berkata apa-apa. Sudah lama aku menghindar darinya tapi aku dipertemukan kembali dengannya.

Apa semesta dan Tuhan sedang menguji kebucinanku?

Dia pun tersenyum. "Oshisashiburi nee, Umi-chan. O genki desu ka?" Sambil menyodorkan pulpen. (Lama tidak berjumpa, umi. Apa kabar?)

"Ha'i. Watashi genki desu." (Iya. Aku sehat waalafiat.) Dengan muka yang tersipu, aku mengambil pulpen. Padahal cuma ambil pulpen dari tangannya kenapa jantungku terasa deg-degan? Ahh ternyata aku masih tidak berubah—selalu bersikap berlebihan bahkan baper sama dia.

"Kamu beneran kerja disini? Kok aku ga pernah liat kamu ya." Dia mempertanyakan keberadaanku. Dia mungkin tidak percaya aku mengenakan seragam yang sama dengannya.

"Diihh masa kamu gatau? Aku itu sekarang jadi reporter disini." Aku menjelaskan sambil memamerkan kartu nama yang tergengam di tangan.

Dia tertawa kecil sambil mengaruk kepalanya dan berkata, "meski kita satu kantor sepertinya kita baru ketemu ya?"

"Aku juga ga nyangka ternyata kamu masih kerja disini. Aku kira kamu pindah kerja ke tempat lain." Aku juga iku tertawa kecil. Mataku menangkap sebuah selembaran yamg dipegang olehnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Mencintaimu Sejauh 84, 1 KM (Cikampek - Jakarta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang