Saat jam masih menunjukan pukul 6:25 pagi. Dina sudah rapi dengan seragam olahraga SMA Angsana yang berwarna biru tua berpadu hitam. Ia sudah siap pergi ke sekolah.
Tante Lina yang baru pulang kerja seketika mengerenyitkan dahi saat melihat keponakan cantiknya yang memakai hijab hitam itu tengah memakai sepatu.
"Tumben, Din. Kamu tugas piket apa gimana? Kok, udah siap-siap aja."
Dina yang menyadari kedatangan Tante Lina mendongkak sambil menyeringai.
"Iya, Tan. Dina ada piket hari ini, hehe. Eh, kok Tante baru pulang kerja? Bukannya tempat Tante bekerja cuma sampe jam 10 malam yah?"
Tante Lina tersenyum sambil memegang kepalanya yang terasa sakit. "Oh itu. Tadi Tante harus gantiin teman Tante. Sudah kamu berangkat sana, nanti telat. Tante ke dalam dulu ya."
Dina hanya merespon dengan membentuk mulutnya menyerupai huruf O. Tapi ia lalu bersuara saat melihat gelakat sang Tante. "Tante nggak apa-apa, kan? Tante pusing? Apa mau Dina buatin teh hangat?" tawar Dina yang melihat Tante Lina seperti meringis seraya memegang kepala.
"Tante nggak apa-apa. Udah kamu berangkat aja nanti keburu telat. Uang jajan kamu masih ada apa udah habis?"
"Masih ada, Tan."
"Oke, kalau Qila mana? Udah ke sekolah?" tanya Tante Lina lagi.
"Iya udah. Tadi Dina udah antar dia ke rumah Arkan. Nanti dia berangkat sama Arkan dan ibunya." Arkan adalah teman Syaqila sekaligus adik angkat Gilang. Semenjak ayah Dina meninggal, ibu Arkan dan Gilang menawari tumpangan untuk Syaqila ke sekolah.
"Oh iyadeh. Kamu udah makan, kan?" Perhatian-perhatian kecil yang Tante Lina berikan adalah hal istimewa yang Dina dan Syaqila rasakan.
"Udaaah Tante sayang. Udah ah! Nanti Dina telat lagi. Assalamualaikum." Setelah menyalami tangan Tante Lina yang berkulit putih dan lembut itu, Dina langsung berangkat ke sekolah meninggalkan sang Tante yang kepalanya masih terasa pusing akibat bekerja semalaman dalam waktu berturut-turut.
***
Sebenarnya, piket bukan satu-satunya alasan kenapa Dina pergi ke sekolah sepagi ini. Ia bahkan rela bangun subuh untuk menyiapkan sarapan Syaqila lebih awal, lalu mengantarnya ke rumah Arkan agar Syaqila bisa pergi bersama Arkan dan ibunya.
Sebetulnya ada satu alasan tersembunyi yang menghantarnya berangkat sepagi ini. Rencananya ia akan menjadikan ini kebiasaan setiap seminggu sekali di waktu pagi.
Setelah naik angkot selama 5 menit. Dina akhirnya memilih turun. Tapi bukan di depan gerbang SMA Angsana, melainkan tempat pemakaman umun.
Ya, hari ini Dina akan mencurahkan semua keluh kesahnya di depan kedua orang tuanya. Ia berjalan pelan menyusuri makam-makam di TPU itu. Pertama, ia menuju makam sang ibu yang lebih dahulu meninggal. Setelah berdoa, ia lalu beralih ke kuburan ayahnya yang masih terlihat baru. Tanah yang masih basah dan bunga yang belum terlalu layu di makam itu sudah membuktikan hal tersebut.
Setelah sampai di makam sang ayah. Ia duduk tepat di depan makan ayahnya. Seketika senyumnya mengembang. Ada rasa rindu yang tidak bisa ia sembunyikan, tapi ia sudah bertekad untuk tidak menteskan air mata.
Dina kemudian memegang batu nisan yang menggoreskan nama sang ayah. Mulutnya mulai terbuka dan hendak mengatakan sesuatu. Ia mulai.
"Pa, Dina sudah terbiasa tanpa Papa. Jadi, Papa juga harus terbiasa tanpa Dina yah. Papa tenang saja. Dina dan Syaqila baik-baik di sini. Dina juga sudah bilang sama Mama kalau Dina sama Syaqila baik-baik saja," bibir Dina mulai bergetar saat menyebut nama adiknya. Karena sampai sekarang Syaqila belum tau apa yang sudah terjadi. Tante Lina dan Dina hanya mengatakan kepada Dina kalau papa sedang sibuk dan pergi dalam waktu lama. Syaqila memang ikut mengentar ayahnya, tapi apalah daya, ia masih belum paham.
"Dina bersyukur, Pa. Punya Tante sebaik Tante Lina. Dina nggak tahu apa yang terjadi kalau Tante Lina sampai pergi, Pa. Sekarang Tante Lina juga sudah tinggal sama kita. Ternyata Tante Lina pekerja keras. Dia sering pulang pagi karena pekerjaan dia." Dina menjeda kalimatnya. Ia jadi teringat sosok Tantenya itu. "Dina juga mau kayak Tante Lina. Pekerja keras dan baik," lanjut Dina.
"Oh iya, Pa. Papa tau Anisa, kan? Sahabat Dina yang ke rumah kita beberapa kali. Dia itu sahabat yang sangat baik, Pa ...." Apa pun yang ada di benak Dina semua ia keluarkan. Termasuk motivasi dari Gilang waktu itu.
Saking asiknya curhat, Dina tidak sadar kalau waktu sudah menunjukan pukul 7:5 Yang artinya 10 menit lagi bel akan berbunyi.
***
Dina dan Anisa berjalan menyusuri koridor sekolah dengan santai. Anisa tengah asik mengunyah kripik kentang sambil mengobrol dengan Dina.
Saat ini jam istirahat sekolah. Rencannya Dina akan ikut Anisa menuju gudang olahraga untuk bertemu dengan Aril yang sedang mempersiapkan diri untuk lomba silat itu.
Saat hendak melewati kelas 11 IPA B. Tiba-tiba tubuh Anisa bertubrukan dengan sesok makhluk berambut panjang. Saat mata Anisa dan Dina menatap sosok yang ternyata perempuan itu. Wajah mereka seketika berubah pucat pasi. Ini bencana!
"Aduh!" ucap perempuan itu. Rambut panjang berwarna sedikit emasnya ia kibaskan untuk melihat siapa yang bertubrukan dengannya.
"Ma ... maaf, Mir," decak Anisa.
"I ... iya maaf," timpal Dina.
Perempuan yang mereka tabrak adalah Almiranda Ghorbacev. Anak perempuan hits sekaligus anak pemilik yayasan SMA Angsana. Alimaranda atau biasa dipanggil Miranda itu adalah gadis blasteran Indonesia-Russia.
Karena merasa anak pemilik yayasan sehingga membuat sifatnya menjadi belagu dan sombong.
Di SMA Angsana, tidak ada murid perempuan yang berani beradu mulut dengannya, bahkan kakak kelas sekali pun. Salain karena takut berhadapan dengan anak pemilik yayasan. Miranda juga dikenal sebagai si tukang gosip, si mulut silet, dan si tukang buli. Jadi, siapa saja yang berurusan dengannya harus siap menerima itu semua.
"APAAN-APAAN LO? MAIN TABRAK! MATA LO BUTA, HAH!!" umpat Miranda dengan nada tinggi sambil berkacak pinggang.
Sontak, nada tinggi itu membuat semua murid yang ada di sekitar mereka bertiga menengok.
"Maaf, Mir. Kan sama-sama nggak sengaja," kata Anisa coba melembutkan suara.
"Maksud lo apa?! Lo yang nabrak gue duluan!!" sungut Miranda yang tidak terima.
Orang-orang di sekitar sudah mulai mengerumuni tiga siswi itu. Ada yang hendak membantu tapi takut, ada juga yang mengambil vidio. Miranda sangat menikmati saat seperti ini. Dengan begitu orang-orang bisa melihat dominasi dirinya di sekolah
Berbeda dengan Anisa dan Dina yang tidak nyaman menjadi pusat tontonan sehingga memilih untuk menyudahi adu mulut itu.
"Maaf, Mir, kan gue sama Dina nggak sengaja. Suaranya nggak usah keras-keras juga, dong." Anisa masih mencoba sabar dengan perlakuan Miranda yang nyolot.
"Lo udah berani ngelawan, hah!!" Sebuah dorongan Mirada lakukan sehingga membuat Anisa hampir goyah dan keripik yang ia genggam terjatuh.
Tentu saja, Dina yang melihat sahabat baiknya diperlakukan seperti itu tidak terima. Ia lalu berucap, "Nggak perlu kasar juga kali, Mir!"
"Eh diam lo. Dasar anak yatim piatu!"
Plak!
Tamparan keras dari Anisa mendarat tepat di wajah bule Miranda saat mendengar ucapan Miranda kepada Dina.
Wajah Miranda merah padam seperti kepiting rebus. Ia yang merasa di rendahkan langsung menjabak rambut pendek sebahu Anisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
How The Love Works
Novela JuvenilHow the love work. Bagaimana cara cinta bekerja? Mudah saja, kadang ia memisahkan pasangan paling romantis di dunia. Kadang pula, ia menyatukan musuh dalam satu ikatan.